Selasa, 10 Mei 2011

Penanganan Krisis Pangan dan Energi, Tantangan bagi Asia

DESAKAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada KTT ASEAN ke-18 yang baru berakhir di Jakarta agar membentuk ASEAN Integrated Food Security Framework, perlu ditanggapi secara serius dengan aksi segera.

Krisis pangan belakangan ini kelihatan semakin parah. Menurut statistik Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, indeks harga pangan dalam Pebruari 2011 mencapai 236 poin, tingkat tertinggi dalam sejarah, lebih tinggi dari masa puncak krisis pangan dunia awal 2008.

Pemerintah negara-negara berpenduduk besar seperti China, India dan Indonesia lebih peduli akan krisis pangan dan energi yang jelas akan memicu inflasi, kemiskinan bahkan kerawanan sosial.

Penyebab krisis pangan dan energi bermacam-macam. Sebagian disebabkan oleh kondisi alam atau iklim ekstrem. Namun ulah manusia dan kekeliruan kebijakan pemerintah yang kurang antisipatif dan lambat memberi respon juga tak dapat dikesampingkan.

Pengalihan lahan pertanian untuk urbanisasi dengan sendirinya akan mengurangi produksi pangan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat mendorong konsumsi energi. Tipisnya stok strategis dalam negeri mengakibatkan terganggunya suplai dan mendongkrak harga. Kerusuhan politik di negara-negara produsen minyak utama di Afrika Utara dan Timur Tengah mempengaruhi produksi minyak dan mendorong membubungnya harga minyak yang pada gilirannya memicu inflasi.

Impor beras bagi operasi pasar, hanya dapat memenuhi permintaan sesaat, tidak menjamin keamanan pangan.Di masa krisis, tak mengherankan kalau negara-negara produsen beras membatasi atau menolak order pembelian. Inisiatif pembentukan cadangan beras bersama ASEAN+ 3 sebesar 878.000 ton dinilai sebuah gagasan baik. Indonesia komited memberikan kontribusi 12.000 ton yang kemudian siap ditambah menjadi 25.000 ton. Hanya dikhawatirkan, bila fenomena paceklik melanda sebagian besar kawasan Asia, betapa besar vo-lume dari cadangan bersama tersebut dapat digunakan Indonesia yang berpopulasi ketiga terbesar di kawasan ini?

Restrukturalisasi Bulog nasional, pembenahan strategi penggudangan dan perencanaan antisipatif krisis pemerintah, di samping meningkatkan produksi dalam negeri, sebenarnya lebih aman dan efektif untuk mengatasi krisis.

Pendekatan pada sumber penyebab krisis sebetulnya lebih penting daripada operasi darurat. Impor beras oleh sebuah negara yang sebelumnya menyumbar akan swasembada bahkan eksportir beras sesungguhnya sebuah ironi bahkan mendapat kecaman dari petani.

Adalah langkah positif bahwa sejumlah BUMN pertanian akan dialokasi dana senilai Rp.4,1 triliun dari pemerintah untuk menopang keamanan pangan melalui peningkatan produksi dan sinergi petani.

Perlu dicatat kiranya, terlepas dari perluasan lahan pertanian, produktivitas pun harus turut ditingkatkan dengan pemanfaatan teknologi, bibit unggul resistan hama, perbaikan sistem irigasi dan infrastruktur serta distribusi. Dalam konteks ini, peningkatan investasi dalam produksi pangan dan energi dan penggenjotan penelitian dan pengembangan harus didorong.

Sementara penanganan krisis energi lebih diarahkan kepada pengembangan energi terbarukan dan alternatif, termasuk pembangkit listrik tenaga air, panas bumi dan sebagainya. Namun pengurangan konsumsi BBM benar-benar dianjurkan, selain karena soal biaya dan juga kepedulian lingkungan hidup.

Masalah penggunaan tenaga nuklir masih kontroversial, terutama pasca krisis nuklir di Jepang baru-baru ini.

Beberapa kali penundaan pemerintah dalam implementasi pembatasan pemakaian BBM bersubsidi oleh masyarakat pengguna kendaraan, menandakan keraguan pemerintah terhadap implikasi kebijakannya atas laju inflasi dan penghidupan rakyat kecil.

Dengan terus tumbuhnya jumlah penduduk dunia, maka masalah krisis pangan dan energi juga adalah masalah global yang perlu secepatnya diatasi bukan oleh ASEAN saja. Negara-negara produsen, lembaga-lembaga terkait dunia lainnya, seperti FAO PBB, Bank Dunia dan institut-institut penelitian internasional hendaknya turut terlibat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar