Selasa, 17 Mei 2011

Peluang Usaha Pertanian : Legitnya Laba Jenang Manten

Jenang Tulungagung.

Di tengah gencarnya serangan junk food, makanan tradisional rupanya masih punya pasar potensial. Jenang dan madumongso, bisa jadi contoh camilan tradisional yang tetap bertahan dan diminati masyarakat. Dengan kemasan yang menarik, jajanan dari bahan tepung ketan dan beras ketan ini bahkan ‘melancong’ hingga ke negeri jiran.

Slamet Riyadi (43) dan Siti Wasitoh (40), pasangan suami istri asal Tulungagung ini berhasil membuktikan keandalan makanan khas ini hingga mampu menghidupi ketiga anak mereka. Tak hanya untuk keluarga sendiri, bisnis jenang dan madumongso yang diberi label Barokah ini bahkan menjadi tumpuan hidup bagi puluhan warga di kawasan Desa Ngipik Bono, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung.

Selain sebagai tenaga pengaduk, masyarakat setempat ikut dilibatkan dalam proses pembungkusan madumongso. Ongkos membungkus madumongso sebesar Rp 2.500 per orang per kg. “Tiap orang rata-rata bisa membungkus 10 kg madumongso per hari,” papar Slamet Riyadi, ketika Surya berkunjung ke rumahnya belum lama ini.
Sedang ongkos mengaduk jenang campur Rp 35.000 per orang per wajan. “Bila ada acara hajatan atau menjelang Lebaran, pasti lebih ramai lagi seiring meningkatnya permintaan,” tutur Slamet.

Menurut Slamet, bisnis jenang dan madumongso ini sebetulnya sudah berlangsung sejak puluhan tahun. Kegiatan ini bermula dari aktivitas yang dilakukan mertuanya, atau orangtua Siti Wasitoh. “Awalnya hanya membuat 5 kg setiap hari, jualannya pun ditawarkan dari pasar ke pasar,” kisah Slamet.
Seiring berjalannya waktu, penganan jenang dan madumongso ini kian disuka. Konsumen yang makin banyak pun akhirnya datang sendiri ke rumah. Meningkatnya permintaan ini otomatis tak cukup hanya digarap kedua orangtua Siti Wasitoh, sehingga ibu tiga anak itu mulai membantu proses pembuatan camilan ini di rumahnya.

Proses pembuatan jenang butuh waktu cukup lama dan melelahkan. Pasalnya, ketan sebagai bahan dasar makanan tradisional ini lebih dulu dicampur dengan 15 jenis bahan olahan lain seperti gula, kelapa dan beragam bumbu. Untuk setiap proses pengadukan diperlukan 0,5 kuintal bahan olahan.

Rata-rata, setiap hari dilakukan 4-5 kali proses pengadukan dengan tenggang waktu 4-5 jam. Hasil adukan dimasukkan dalam besek ukuran 1 kg dan 5 kg. Harga jenang ukuran 1 kg Rp 16.000, sedang yang 5 kg Rp 80.000. Bila setiap wajan bisa ditampung dalam 50 besek, maka setiap hari tersedia sekitar 250 besek jenang.
Untuk produksi jenang dan madumongso ini dilakukan di bangunan terpisah di sisi rumah induk. Bangunan ini terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian depan yang digunakan menyimpan bahan-bahan, bagian tengah untuk etalase hasil produksi, dan di belakang (dapur) yang cukup luas terdapat lima buah loyang (wajan raksasa) untuk mengaduk jenang.

Jenang yang semula ditawarkan dari pasar ke pasar, stasiun dan terminal di Tulungagung itu sekarang sudah merambah berbagai kota. Tak hanya di Jatim macam, Surabaya dan Malang, kehadiran Jenang dan Madumongso Barokah ini juga sampai ke pasar tradisional Jakarta dan Lampung. “Bahkan ada pula yang membawa ke Brunei untuk oleh-oleh,” tutur Slamet.

Di kalangan masyarakat, jenang Barokah ini lebih dikenal sebagai jenang manten. Pasalnya, penganan ini dipastikan ada dalam setiap hajat pernikahan di Tulungagung. Karena itu, produksi jenang di rumah Slamet nyaris tak pernah berhenti.
“Paling sepi biasanya bulan Suro atau Selo dan bulan puasa. Itu pun tak sepenuhnya tanpa kegiatan, sebab kami biasanya siap-siap menyambut pesanan yang cukup besar untuk Lebaran,” paparnya.
Selain pesanan untuk hajatan manten, konsumen jenang dan madumongso Barokah adalah instansi-instansi pemerintah di Tulungagung dan pabrik rokok Gudang Garam. “Biasanya pesan untuk bingkisan THR karyawan. Pesanan untuk bingkisan THR ini mencapai 7-8 ton,” ungkap Slamet.

Terkait pemasaran jenang dan madumongso buatannya, ia mengaku, tetap akan berjalan seperti biasa. Slamet tidak berani terlalu gencar memasarkan produk jajannya maupun memproduksi terlalu banyak. Pasalnya, kedua makanan tradisional itu dibuat tanpa bahan pengawet sama sekali. Otomatis, jenang hanya mampu bertahan paling lama seminggu, sementara madumongso bisa tahan hingga sebulan.

Belakangan, rumah Slamet tak hanya menyediakan jenang dan madumongso. Banyaknya konsumen yang datang lalu dimanfaatkan oleh relasi dan kerabatnya untuk titip makanan tradisional lain.
Di sebuah etalase di bangunan rumah yang khusus untuk produksi jenang ini terpajang sejumlah camilan khas, macam walangan coklat, walangan ungu, opak gambir, marning, kripik tempe, kripik jahe, enting-enting, kue satu, manco geti, dan sale pisang. Harga makanan kecil itu bervariasi mulai dari Rp 4.000 (walangan coklat) hingga Rp 20.000 (geti besar).

Siang Ngajar, Malam Bungkus Madumongso

Proses pembuatan madumongso tak kalah ribet dibanding jenang. Pasalnya, ketan sebagai bahan madumongso ini setelah dimasak (seperti menanak nasi biasa) lalu diberi ragi, sehingga jadi tape. Proses hingga jadi tape ini memerlukan waktu sehari semalam.

Untuk mendapat hasil peragian yang bagus, ketan yang sudah dimasak lebih dulu dibungkus daun pisang. “Saya pernah coba bungkus tanpa daun pisang, hasilnya tidak sebagus jika dengan daun pisang. Pembungkusan dengan daun pisang juga menimbulkan aroma khas,” tutur Slamet Riyadi.
Ketan yang sudah menjadi tape ini lalu dimasukkan dalam kuah santan yang sebelumnya dicampuri gula. Seperti jenang, proses pengadukan madumongso juga memakan waktu sampai empat jam.

Menurut Slamet, baik madumongso maupun jenang dijamin tanpa bahan pengawet. Meski begitu, Madumongso Barokah ini bisa tahan hingga satu bulan. Sedang jenang hanya sampai seminggu.
Seperti jenang, proses pengolahan (pengadukan) madumongso di loyang ini juga memanfaatkan tenaga masyarakat setempat. Ongkos pengadukan besarnya Rp 30.000 untuk 0,5 kuintal madumongso (satu wajan/loyang). Sementara ongkos mengaduk ketan Rp 40.000 per-loyang. “Setiap hari bisa sampai dua kali proses pengolahan madumongso,” jelas Slamet.

Setelah diolah dalam wajan, tugas selanjutnya diserahkan ke warga sekitar yang dengan antusias membantu membungkus kecil-kecil dalam kemasan kertas minyak. “Kami sering dibantu ibu-ibu guru yang tinggal di sini. Kalau siang mereka ngajar, malam bungkus madumongso,” paparnya.

Dari hasil olahan ini, harga madumongso per besek (1 kg) Rp 17.000, tetapi bila sudah dalam bentuk bungkus kecil-kecil Rp 23.000 per kg. Dengan harga jual yang lebih mahal, wajar bila keuntungan yang diperoleh dari penjualan madumongso juga lebih besar.
Jika laba penjualan jenang Rp 50.000 per wajan, maka keuntungan bersih penjualan madumongso adalah Rp 75.000 per wajan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar