Senin, 09 Mei 2011

Membangun Bisnis dari Hutan yang "Sakit"

Kondisi hutan yang semakin memprihatinkan yang gundul akibat ulah segelintir manusia yang tak bertanggung jawab kerap menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan manusia akhir-akhir ini. Banjir di mana-mana bahkan hampir terjadi setiap hujan turun. Tidak hanya itu, longsor juga menjadi pemandangan yang sudah tidak asing lagi untuk dilihat. Ribuan nyawa pun melayang tiap kali bencana itu datang.

Hutan yang tadinya dapat menjaga keseimbangan alam kini tak lagi mampu bekerja sebagaimana mustinya. Tak tahu siapa yang harus dipersalahkan, semuanya sudah terjadi. Namun, apakah semuanya sudah terlambat? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Tetapi yang jelas, dunia sudah menunjukkan perhatian yang ektra serius untuk membenahi fungsi hutan kembali, termasuk yang tengah dilakukan oleh Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu, Sumatera Utara (Sumut).

Di bawah kepemimpinan Prof Dr Ir Abdul Rauf MP, Forum DAS Wampu mencoba mengumpulkan orang-orang yang peduli terhadap lingkungan, dalam hal ini hutan dan daerah pinggiran sungai. Dengan membentuk kelompok-kelompok swadaya masyarakat (KSM), anggota-anggota kelompok ini diharapkan dapat membantu menjaga kelestarian hutan. Tidak hanya itu, anggota kelompok juga diharapkan ikut serta berperan aktif dalam melakukan reboisasi atau penghijauan kembali baik melalui program pemerintah maupun di luar program.

"Saat ini sudah ada delapan kelompok swadaya masyarakat yang telah terbentuk, yakni di Kabupaten Deliserdang dua kelompok, Karo dua kelompok dan Kabupaten Langkat empat kelompok. Kelompok-kelompok ini adalah yang berada di daerah aliran Sungai Wampu. Dan, nantinya akan dibentuk kelompok yang sama di daerah Simalungun dan Taput yang juga bagian dari aliran Sungai Wampu," jelas Rauf, akhir pekan lalu usai diskusi dengan para anggota kelompok masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat, di Balai Desa Jalan Letjen Jamin Ginting, Desa Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deliserdang.

Menurut Rauf yang didampingi Penasehat KSM N Akalaras, dalam kegiatannya kelompok-kelompok KSM yang terbentuk tersebut dilatih atau dibina menjadi penangkar-penangkar berbagai jenis bibit tanaman, baik komoditas hutan, perkebunan maupun hortikultura. "Yang jelas, komoditas yang dominan atau potensi yang ada di daerah itu untuk kemudian dikembangkan menjadi sumber pendapatan masyarakat setempat khususnya anggota kelompok," ujarnya.

Kelompok Masyarakat Pelestari Lingkungan Mata Air Panas yang ada di Desa Peria-ria, Kecamatan Sibiru-biru Kabupaten Deliserdang misalnya. Kelompok ini telah mengembangkan penangkaran bibit pisang barangan, durian Bangkok, matoa dan kakao. Bibit-bibit tersebut nantinya, selain di tanam di daerah aliran sungai juga akan dikomersilkan atau dijual kepada konsumen yang memerlukan bibit termasuk dalam pengisian proyek di pemerintahan khususnya dalam pengadaan bibit untuk penghijauan atau pelestarian hutan.

Jadi, lanjut Rauf, instansi pemerintah yang mengadakan program penghijauan, tidak usah lagi capek mencari bibit yang bermutu untuk dikembangkan. Karena sudah ada masyarakat sekitar dalam hal ini kelompok masyarakat yang mengembangkan bibit. Karena selama ini, pengadaan bibit di tingkat pemerintahan selalu didatangkan dari luar daerah.

"Nah, dengan adanya kelompok masyarakat pelestari lingkungan ini yang telah menyediakan bibit dapat diberdayakan sebagai pemasok bibit yang diperlukan," katanya.

Apalagi lanjut Rauf, antarkelompok telah dibangun suatu sinergitas, sehingga permintaan bibit nantinya dapat terpenuhi. Sebagai contoh kata Rauf, Kelompok Mata Air Panas mereka tidak ada mengembangkan bibit karet, tetapi permintaan ada. Kelompok ini tinggal berkordinasi dengan kelompok lain yang ada di daerah lain yang mengembangkan bibit karet,

Dalam penangkaran bibit, para kelompok masyarakat pelestari lingkungan ini mendapat pembinaan langsung dari ahlinya. Misalnya, dalam melakukan perbanyakan bibit melalui okulasi ataupun sambung pucuk, dibantu oleh penangkar tanaman yang memang sudah ahlinya, yakni N Akalaras. Sedangkan untuk mengatasi hama dan penyakit tanaman, Forum DAS Wampu juga menurut Rauf bekerja sama dengan Universitas termasuk mahasiswa pasca sarjana Fakultas Pertanian, USU, Medan.

Rauf berharap, semua kelompok di akhir tahun 2011 atau di awal tahun 2012, sudah mulai memasarkan bibit-bibit tanaman yang dikembangkan. Sehingga kelompok tersebut dapat membantu aktifitas pemerintah dalam pengadaan bibit maupun tenaga dalam program penghijauan yang sedang dilaksanakan.

"Untuk tahun ini, ada proyek pengadaan Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang jumlahnya lumayan besar sekitar Rp 50 juta per kelompok untuk program penghijauan. Nah, kelompok ini bisa saja memanfaatkan program tersebut. Namun, untuk pengadaan bibit masih harus didatangkan dari luar dan mereka tinggal menanamnya di daerah aliran sungai atau sesuai dengan petunjuk pemerintah," jelasnya.

Hal-hal seperti inilah kata Rauf peranan dari kelompok-kelompok tersebut namun orientasinya tidak semata-mata mengejar proyek. "Proyek KBR itukan hanya untuk pembelian bibit saja, sedangkan untuk pengerjaannya bisa dilakukan secara swadaya kelompok tersebut. Tokh, mereka sudah mendapat keuntungan dari pembelian bibit yang mereka tangkarkan sendiri. Inilah peranan dari kelompok-kelompok itu nantinya," katanya lagi.

Usai kegiatan diskusi itu, masyarakat yang tergabung dalam kelompok tersbeut melakukan peninjauan di kebun pembibitan yang dikelola KSM Lestari Alam, di Desa Bandar Baru. Di sana, kelompok itu telah mengembangkan bibit petai lokal. "Kecamatan Sibolangit termasuk salah satu daerah penghasil petai di Sumatera Utara. Jadi, kami mencoba untuk membuat pembibitan petani ini," kata Ketua KSM Lestari Alam Nurmansyah Dalimunthe.

Didampingi Sekretaris Laksana Ginting, Dalimunthe mengatakan, untuk permintaan bibit petai saat ini lumayan banyak, meskipun pihaknya belum kebanjiran order. "Tapi yang jelas, orang yang melihat pembibitan petai kami ini langsung tertarik dan membelinya meskipun dalam partai kecil. Itu menandakan, petai ini mulai diminati untuk dikembangkan. Apalagi harga petai saat ini lumayan mahal, satu ikatnya berkisar Rp 25.000 per ikat yang tiap ikatnya berisi 20 papan," jelasnya. (MB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar