Kamis, 10 Maret 2011

Jahe Gajah Menjanjikan Peluang Segede Gajah



Jahe gajah termasuk jenis jahe yang paling banyak diminati kalangan industri. Tak hanya pasar dalam negeri, permintaan pasar ekspor juga tinggi. Bahkan, akibat cuaca tak menentu, para produsen harus impor lantaran pasokan jahe menurun.

Sejak dulu, jahe (Zingiber officinale) termasuk produk rempah yang paling banyak dicari untuk aneka kebutuhan. Tak hanya untuk industri makanan dan minuman, jahe juga banyak dicari untuk industri pengolahan obat. Karena memang dibutuhkan banyak industri, budidaya tanaman ini selalu menjanjikan.

Di Indonesia, keluarga jahe dibagi dalam tiga kelompok besar: jahe merah, jahe gajah, dan jahe emprit atau jahe kuning dengan ukuran kecil. Dari ketiganya, jahe gajah merupakan jenis yang paling banyak dicari. Seperti namanya, jahe ini memiliki ukuran lebih besar ketimbang jahe lain. Jika ruas jahe biasanya hanya berberat maksimum 200 gram, berat ruas jahe gajah bisa mencapai 500 gram.

Permintaan jahe gajah tak cuma untuk kebutuhan industri dalam negeri. Jahe gajah juga banyak diekspor ke negara lain. Misalnya, India, Singapura, Jepang, Hongkong, Amerika Serikat, Jerman, Prancis, dan Belanda. Di sejumlah negara Eropa, industri minuman seperti bir, produsen kue, dan bumbu masak membutuhkan jahe sebagai bahan pencampur.

Untuk pasar dalam negeri, permintaan akan jahe gajah banyak berasal dari perusahaan jamu dan farmasi, sebutlah Sidomuncul, Air Mancur, Nyonya Meneer, Jamu Jenggot, dan Indo Farma.

Sutomo, Managing Director PT Semesta Alam Petro, salah satu produsen jahe gajah, mengakui hampir semua industri obat tradisional di Indonesia membutuhkan jahe gajah sebagai bahan baku produksi. Tak hanya perusahaan besar, permintaan juga datang dari usaha kecil menengah (UKM). Industri jenis ini umumnya memproduksi permen jahe sampai minuman bandrek kemasan.

Pasar dalam negeri, umumnya menyerap jahe gajah dalam bentuk irisan jahe kering. Adapun pasar ekspor umumnya menyerap jahe dalam bentuk jahe segar yang sudah dibersihkan. Selain dalam bentuk jahe utuh, baik kering maupun basah, para produsen ini juga menjual jahe dalam bentuk minyak dan bubuk.

Sebagai salah satu pemain besar bisnis jahe gajah, Semesta Alam Petro mengekspor produk ke Bangladesh, Turki, dan Eropa. Permintaan untuk pasar ekspor bisa mencapai satu ton per hari. “Berapa saja yang kami sediakan, semua diserap habis oleh pasar,” tandas Sutomo.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri saja, Semesta Alam Petro harus menyediakan hingga 150 ton sehari. “Kami sampai menolak permintaan,” kata Sutomo.

Muntoha, pemilik CV Jahe Merah di Jakarta, merupakan pemasok jahe gajah untuk aneka industri. Dalam sebulan, Muntoha hanya sanggup memasok kebutuhan hingga 120 ton. Sebab, belakangan ini, pasokan dari petani dalam negeri terus menurun. Padahal, tren permintaan terus naik dari tahun ke tahun.

Ironisnya, lantaran pasokan dari petani cenderung turun, beberapa pemasok besar terpaksa cari cara instan agar tetap bisa memenuhi permintaan industri makanan minuman, jamu, dan kosmetik. “Kami terpaksa impor jahe dari India dan Vietnam,” kata Sutomo.


Cuaca buruk

Padahal, dalam kondisi normal, Indonesia merupakan negara yang memiliki iklim dan cuaca yang sangat baik untuk membudidayakan jahe gajah. Tanaman ini dapat tumbuh di ketinggian 800 di atas permukaan laut (dpl). Ari Ferdiyansyah, petani jahe gajah, menjelaskan, jahe gajah bisa ditanam secara monokultur ataupun tumpang sari. Di lahan yang sama bisa ditanam bawang atau cabai. Pola ini cocok bagi petani untuk meningkatkan pendapatan.

Menjelang musim hujan merupakan saat yang paling baik untuk menanam jahe gajah. Sebab, tanaman ini memerlukan pengairan yang teratur dan rentan terhadap hama yang bisa menyebabkan pembusukan. Setelah tanam, jahe gajah bisa dipanen pada usia sembilan hingga 12 bulan.

Bagi petani jahe, menanam jahe gajah relatif menguntungkan lantaran tanaman ini mampu menghasilkan hingga 10 ton per hektare (ha). Jika menggunakan teknologi intensif yang modern, satu hektare bahkan bisa menghasilkan hingga lebih dari 30 ton.

Sayangnya, belakangan panen tanaman jahe gajah cukup terganggu oleh cuaca yang tak beraturan. Hujan yang terus-menerus menyebabkan akar tanaman busuk, sehingga produksi jahe terganggu. “Hasil kebun turun hingga 40%,” kata Sutomo. Saat ini, Sutomo memiliki total 700 hektare kebun jahe di Temanggung, Pekalong-an, Blora, dan Yogyakarta.

Kondisi ini berbalik dengan permintaan yang terus tumbuh minimal 10% per tahun. Menurut Muntoha, untuk tetap memenuhi kebutuhan pasar, para produsen jahe gajah terpaksa mengimpor jahe dari sejumlah negara seperti Vietnam dan India. Sutomo, misalnya, mengimpor jahe dari China.

Dan ironisnya lagi, jahe impor malah jauh lebih bagus ketimbang produk lokal. Selain lebih bersih, ukurannya lebih besar. Harganya pun lebih kompetitif. Jika di petani lokal harga jahe gajah bisa mencapai Rp 14.000 per kilogram (kg), harga jahe impor cuma Rp 7.000 per kg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar