Minggu, 27 Maret 2011

Kayu Putih, Urat Nadi Buru


Petani Desa Karang Jaya, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru, Maluku, memanen kayu putih, Minggu (20/3). Sejak satu tahun terakhir, harga jual kayu putih membaik, yang sebelumnya di bawah Rp 100.000 per kg kini mencapai Rp 115.000 per kg.

Oleh A Ponco Anggoro

Di antara hamparan tanaman kayu putih di perbukitan yang mengitari Desa Karang Jaya, Kecamatan Namlea, Pulau Buru, Provinsi Maluku, Ayudi (23) bersama 14 rekannya sibuk ”urut daun”, sebutan bagi warga setempat untuk kegiatan memetik daun kayu putih. Panas yang terik tidak menyurutkan aktivitas mereka.

Mereka juga nyaris tidak letih dan lelah meski harus naik turun bukit membawa daun hasil petikan ke tempat pengolahan. Sudah hampir dua minggu, ”urut daun” mereka lakukan setelah sekitar enam bulan berhenti. ”Tanaman baru bisa dipanen lagi setelah menunggu lima sampai enam bulan,” ujar Ayudi.

Setiap hari dari pukul 07.00 hingga pukul 16.00 WIT selama lima sampai enam bulan, mereka memetik daun. Hasil petikan kemudian dikumpulkan di bak yang terbuat dari rotan yang berada di gubuk kecil beratapkan daun sagu dan berdinding kayu.

Di gubuk itu terdapat dua ketel tradisional berbentuk seperti ember besar yang terbuat dari kayu kuning. Satu ketel untuk merebus daun kayu putih, sedangkan satu ketel lagi untuk menampung uap kayu putih.

Untuk menghasilkan minyak kayu putih, salah satu ketel yang sudah diisi daun kayu putih itu dipanaskan dengan kayu bakar. Uapnya lalu disalurkan ke ketel lain yang berisi air. Setelah itulah, minyak kayu putih terbentuk.

”Bisa 24 jam lamanya koki (sebutan bagi pengolah kayu putih di ketel) bekerja,” kata Ayudi.

Daun yang sudah dipetik memang harus segera dimasak agar minyaknya tidak berkurang. Karena itu, koki sering kali harus tidur di rumah ketel.

Dalam sehari, koki maksimal tiga kali memasak daun kayu putih. Dari proses itu dihasilkan 7 kilogram minyak kayu putih atau setara empat botol berukuran 620 mililiter.

Sudah sejak usia 12 tahun Ayudi mengolah kayu putih. Dia memperoleh hasil sekitar Rp 5 juta-Rp 6 juta untuk upah kerja selama lima sampai enam bulan. Baru setahun terakhir, pendapatannya bisa meningkat menjadi Rp 7 juta seiring kenaikan harga minyak kayu putih.

Harga di tingkat petani menembus Rp 100.000 per kg, bahkan bisa sampai Rp 120.000 per kg, padahal sebelumnya hanya sekitar Rp 70.000 per kg.

Tingginya permintaan menjadi penyebab utama. Ini pula yang memicu harga jual minyak kayu putih di pengecer naik sekitar Rp 10.000, dari Rp 90.000 menjadi Rp 100.000 per botol ukuran 620 mililiter.

Dari penghasilan itulah, Ayudi yang tidak lulus sekolah dasar (SD) bisa membantu orangtuanya menyekolahkan ketiga adiknya. Dua adiknya duduk di bangku sekolah menengah atas dan satu lagi masih SD.

Bahkan, Sauri (32), rekan Ayudi yang 12 tahun bekerja mengolah kayu putih, kini sudah bisa memiliki rumah sendiri. Adapun Wendi, rekan Ayudi lainnya, bisa melanjutkan kuliah di Namlea.

Hal serupa dialami para petani yang tersebar di seluruh (lima) kecamatan di Buru. Tak heran, mereka rela berjalan kaki berhari-hari ke areal tanaman kayu putih yang berada di hutan. Bahkan, mereka rela menginap hingga masa panen usai.

Padat karya

Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Buru mencatat, ada 267 unit usaha pengolahan minyak kayu putih dengan total pekerja 1.939 orang. Volume produksi rata-rata 90 ton per tahun dengan nilai sekitar Rp 9 miliar.

Selain menyerap banyak tenaga kerja, minyak kayu putih juga menyumbang pendapatan asli daerah (PAD). Setidaknya sekitar Rp 1 miliar dari total PAD Rp 8 miliar didapat dari sekitar 110 ketel milik pemerintah yang disewakan ke pihak ketiga.

Minyak kayu putih di Pulau Buru memang dikenal memiliki kualitas unggul. Penelitian Balai Riset dan Standardisasi Industri di Ambon menyebutkan, minyak kayu putih Buru memiliki standar mutu utama karena kadar cineol-nya bisa mencapai 76 persen atau lebih besar dari standar minimal mutu utama yang hanya 55 persen.

Tak heran, minyak yang banyak bermanfaat untuk kesehatan ataupun digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan obat-obatan itu banyak dicari di pasaran nasional, bahkan internasional.

Kepala Seksi Bina Usaha Industri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Buru Effendi Latief mengatakan, setiap tahun pemerintah selalu mengalokasikan dana untuk pengembangan minyak kayu putih. Dana itu sering kali dipadukan dengan bantuan yang diberikan pemerintah pusat.

Tahun 2010 lalu, misalnya, pemerintah pusat menyerahkan bantuan 15 ketel senilai Rp 100 juta untuk petani. Pemkab Buru juga mengalokasikan dana Rp 70 juta untuk melatih petani meningkatkan produksi sekaligus menjaga kualitas minyak kayu putih yang dihasilkan.

Bentuk koperasi

Menurut Wakil Bupati Buru Ramly Umasugi, pemerintah setempat menjadikan minyak kayu putih sebagai produk unggulan daerah. Bahkan, pemerintah setempat akan membentuk koperasi untuk mengurangi ketergantungan petani pada pedagang sekaligus menstabilkan harga jual minyak. ”Sudah turun-temurun, petani membuat perjanjian dengan pedagang meski mereka tahu (langkah) itu merugikan,” ujarnya.

Di tempat Ayudi bekerja, misalnya, sebelum masa panen 2010, petani membuat perjanjian bahwa 245 kg minyak kayu putih akan diberikan cuma-cuma ke pedagang minyak kayu putih. Adapun sisanya, 939 kg, dijual ke pedagang tersebut dengan harga yang ditentukan. Dengan cara itu, pedagang bisa mendapatkan margin keuntungan Rp 15.000-Rp 30.000 per kg.

Para petani mau terikat perjanjian itu karena mereka bisa meminjam uang kepada pedagang untuk kebutuhan operasional mengolah kayu putih seperti membeli kayu bakar. Petani pun bisa meminjam uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam sistem ijon seperti itu, petani harus melunasi utangnya dari hasil produksinya.

”Sering kali banyak kebutuhan keluarga muncul selama masa panen, sedangkan uang dari hasil panen sebelumnya sudah habis sehingga kami butuh pinjaman itu,” kata Sauri.

Jerat utang ini, menurut petani kayu putih di Mansinam, Kecamatan Waplau, Udin (28), membuat petani terjebak. ”Bahkan tidak jarang, ketel petani dijual untuk menutup utang,” ujarnya.

Lebih dari itu, para petani yang tidak punya jaringan pasar itu mau tidak mau harus menerima sistem ijon yang mencekik itu. Sebab, para pedaganglah yang memasarkan minyak kayu putih ke luar Buru, bahkan ke perusahaan-perusahaan pembuat minyak kayu putih di Jawa.

Bantuan pemerintah memang perlu, tetapi pemberiannya harus tepat guna. Bantuan ketel tahan karat (stainless steel) dari pemerintah pusat pada 2008 dan 2009, misalnya, tidak digunakan karena minyak kayu putih yang dihasilkan tidak sebaik ketel tradisional.

Bantuan bibit kayu putih untuk 10 hektar lahan di Desa Sawa, Namlea, juga sia-sia. ”Minyak kayu putih yang dihasilkan tidak sebagus tanaman kayu putih yang tumbuh liar,” ujar Abu Duila (43), petani kayu putih di Sawa, yang akhirnya lebih memilih memetik daun kayu putih liar di Waeteli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar