Selasa, 22 Maret 2011

Berita pertanian : Petani Jeruk Toni Surbakti, Memilih Organik Setelah Harga Jeruk Anjlok














Bila dahulu petani mengandalkan tenaga ternak sapi atau kerbau untuk mengolah lahannya, maka saat ini sudah tergantikan oleh mesin bajak. Demikian juga halnya dengan berbagai kebutuhan produksi pertanian yang saat ini sudah serba kimia dan hal ini efektif mendongkrak produksi pertanian. Akan tetapi, saat ini kian disadari pengaruh negatif dari berbagai bahan kimia yang digunakan dalam pertanian. Sehingga banyak orang yang kembali beralih kepada bahan pangan yang dihasilkan dari proses budidaya non-kimia atau sering disebut pertanian organik.
Kabupaten Simalungun, sebagai salah satu sentra pertanian di Sumatera Utara (Sumut), sejak lama telah menggunakan ilmu pengetahuan modern di bidang pertanian. Simalungun yang dan 60% penduduknya adalah hidup dari sektor pertanian. Sehingga tidak mengherankan bila Simalungun menjadi salah satu lumbung pangan Sumut.

Toni Surbakti adalah salah seorang warga Simalungun yang menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Ayah 4 orang anak ini mengandalkan tanaman jeruk sebagai komoditas pertanian yang ia budidayakan di Pamatangraya. Sebagaimana petani lainnya, pada awalnya, Toni juga menggunakan berbagai bahan kimia untuk tanaman jeruknya.

Namun seiring kian mahalnya bahan kebutuhan pertanian, akhirnya Toni beralih ke dalam pertanian organik dan sekaligus menjadi pioner pertanian jeruk organik di Simalungun. Ternyata sistem pertanian organik ini justru jauh lebih menguntungkan dan ekonomis dari dari segi biaya produksi.

Toni yang memiliki lahan 4.000 meter per sehi ini mulai melakukan penanaman jeruk pada tahun 2002 silam. Saat itu, selain menanam jeruk ia juga melakukan sistem pertanian tumpang sari dengan tanaman sayuran, seraya menunggu pohon jeruknya tumbuh maksimal dan menghasilkan pada usia 2,5 tahun.

Ketika usia jeruknya sudah mencapai 1 tahun, harga berbagai kebutuhan sarana dan produksi (saprodi) pertanian mulai melonjak. Namun saat itu, Toni masih mampu memenuhinya dari hasil tanaman tumpang sari tadi. Hingga tanaman jeruk tersebut berbuah perdana, hal ini juga masih dapat ia penuhi, mengingat harga jeruk saat itu masih mampu menghasilkan untung yang memadai.

Tanaman jeruk pun yang kian tumbuh besar, sistem tanam tumpang sari tidak lagi dapat dilakukan. Sehingga untuk kebutuhan budidaya jeruknya, murni mengharapkan dari hasil produksi jeruk itu sendiri. Pada tahun 2006, setelah panen kedua, harga saprodi kembali melambung. Hal ini membuat Toni kewalahan dan terpaksa mengikat janji kepada supplier saprodi untuk melakukan pembayaran kebutuhan saprodinya saat panen tiba.

Sialnya, saat panen yang dinantikan tiba, harga jeruk di pasaran malah anjlok hingga Rp 1.000 per kg. Akibatya, Toni tidak dapat memenuhi seluruh pembayaran yang dijanjikan tadi. Namun berkat hubungan baik dengan supplier tadi, Toni masih diperkenankan untuk melakukan sisa pembayaran pada panen berikutnya. Bahkan, ia masih diperbolehkan menggunakan kembali saprodi, dengan sistem pembayaran yang sama.

Nasib mujur belum menghampiri Toni. Pada panen tahun 2007, kondisi harga jeruk belum berubah jauh, sehingga Toni kembali tidak dapat membayar lunas saprodi yang telah digunakan. “Harga jeruk inilah yang membuat banyak petani melakukan pergantian komoditas tanaman. Bahkan petani jeruk di Tanah Karo banyak yang menebang tanamannya kala itu. Sehingga menurut saya saat ini Simalungun lebih banyak memproduksi jeruk dibanding mereka. Namun pemasarannya banyak ditampung pembeli dari Tanah Karo, sehingga daerah tersebut tetap terkesan sebagai sentra jeruk,” kenangnya.

Toni sempat putus asa, bahkan ia sempat menelantarkan tanaman jeruknya beberapa waktu. Namun seiring kebutuhan hidup yang kian mendesak dan tidak ingin terus terlilit dalam masalah yang sama, akhirnya ia berpikir untuk mencari solusi dalam mengatasi kebutuhan saprodi pertaniannya.

Toni memutuskan untuk memenuhinya dengan bahan-bahan yang ada pada alam. Namun hal ini tidak semudah membalikkan tangan, mengingat ia tidak memiliki pengetahuan dalam meramu berbagai bahan alami, untuk menggantikan saprodi dari bahan kimia tadi.

Meski demikian, ia tidak menyerah. Toni mencoba mencari informasi dari masyarakat di sekitarnya, bagaimana petani terdahulu melakukan pemenuhan saprodi, sebelum berbagai bahan kimia saat ini muncul.

Awalnya ia hanya mendapatkan informasi yang minim, sehingga penerapan sistem pertanian organik yang ia lakoni tidak membuahkan hasil. Bahkan pada tahun pertama ia melakoni pertanian organik di tahun 2008, tanaman jeruknya tidak sehat bahkan mengalami banyak serangan hama yang berakibat pada gugurnya buah.

Ia kembali putus asa dan sempat berpikir untuk melakukan pergantian komoditas tanaman. Namun pada saat yang sama, ia bertemu dengan seorang teman lama dari lembaga Pelayanan Pembangunan (Pelpem) GKPS, Jonni Silalahi. Saat ia mengeluhkan permasalahannya, ternyata menurut Jonni, Pelpem yang berorientasi dalam pelayanan terhadap masyarakat, akan mengadakan seminar tentang pertanian organik.

Toni pun diminta hadir dan menanyakan langsung permasalahan yang dihadapinya. Mendengar keterangan tersebut, Toni merasa seperti mendapatkan air di tengah gurun. Usai mengikuti seminar yang dilakukan Pelpem, mereka melakukan kerja sama dan pihak Pelpem mengunjungi lahan yang ia punya, untuk melihat langsung kondisi pertanian Toni. Sejak saat itu, ia menjalin hubungan yang erat ke lembaga pelayanan ini.

Bahkan ketika ia mengeluhkan permasalahan modal, Pelpem bersedia membantu dan hanya perlu mengembalikan 50% dari bantuan, setelah panennya berhasil. Dengan syarat, Toni harus 100% tidak menggunakan bahan kimia sintetik lagi. Mendengar hal ini, ia langsung menyetujui persyaratan tersebut.

Sehingga mulailah mengalir transfer teknologi organik dan dana yang ia butuhkan tadi. ”Saya benar-benar berterimakasih kepada Pelpem yang banyak membantu dan memberi motifasi. Sehingga saya mampu untuk bangkit dan berhasil seperti saat ini,” katanya mengingat masa-masa sulit di awal melakoni budidaya pertanian organik.

Dengan pengalaman dan berbagai bimbingan dari Pelpem GKPS, serta pengetahuan yang diperoleh dari berbagai buku, saat ini Toni menjadi salah seorang ahli pertanian organik. Ternyata kondisi ini membawa nuansa lain dalam kehidupan ayah yang telah mampu menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi tersebut.
Setelah dikenal banyak pihak sebagai petani organik dan telah menjadi mitra baik dari Pelpem GKPS, ia pun sering diundang untuk menjadi tutor dalam berbagai seminar pertanian organik. Baik yang dilakukan oleh Pelpem sendiri, maupun lembaga lain yang meminati pertanian organik. Hal ini menambah pendapatan Toni, lewat honor yang diberikan padanya.

Bahkan saat ini, Toni sering melayani beberapa universitas, dalam melaksanakan kuliah praktik lapangan terhadap mahasiswanya. Menurutnya, dalam membantu beberapa universitas tersebut, dirinya diminta menjelaskan berbagai proses dalam melakukan pembuatan bahan-bahan organik kebutuhan produksi pertanian.

Selain itu, ia juga diminta memaparkan proses perkembangan tanaman yang dibudidayakan secara organik. “Saya senang membagikan pengalaman saya kepada para mahasiswa. Sehingga mereka juga dapat mengerti dan mengetahui cara-cara pertanian organik. Seperti mahasiswa UISU yang beberapa waktu lalu datang kemari. Selain mendapatkan pengetahuan pertanian organik, mereka juga membeli jeruk saya ketika hendak pulang,” katanya tertawa.

Banyaknya informasi pertanian yang diperolehnya selama ini, membawa Toni untuk melakoni pertanian terpadu. Ia menjalankan beberapa jenis usaha dalam wadah budidaya yang sama. Saat jeruknya masih kecil, Toni melakoni pertanian tumpang sari. Dan, kali ini, ia melakukan pemeliharaan ratusan ekor ayam. Selain menghasilkan telur dan daging, ternak peliharaan ini juga membantunya dalam melawan berbagai hama, serta menghasilkan salah satu bahan baku bokashi yang dibutuhkan dalam pertanian organik tadi. (MB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar