Kamis, 31 Maret 2011

Peluang Usaha Pertanian : Mengeruk Rupiah dari Menyambung Kayu dan Batok Kelapa

Iwan Sutadji Menunjukkan Hasil Karyanya.

Surabaya. Iwan mengawali semuanya dari iseng. Selepas menyelesaikan studi di Sastra Inggris Unitomo, lajang 31 tahun ini bahkan sempat menjajal beragam pekerjaan dari perhotelan hingga rumah makan. Namun akhirnya ia banting setir berwirausaha.

“Saya lihat bahan baku yang selalu melimpah ya tempurung kelapa ini, dimana-mana ada sehingga harganya murah. Dibantu beberapa teman, saya memberanikan bikin kerajinan kecil-kecilan secara otodidak. Mulai beli alat penghalus batok, alat pemotong sampai teknik pembuatannya kami pelajari sendiri, sambil baca-baca buku panduan,” ujar Iwan, di bengkel kerajinannya, di Jl Kertajaya II KA, Kamis (24/3).

Berbeda dengan kerajinan batok kelapa umumnya, produk buatannya ia padupadankan dengan kayu atau bambu. Hasilnya, selain beda, juga terkesan unik. Namun, Iwan mengaku, belum memberi merek dagang untuk produk kreasinya ini. Biasanya, oleh pihak yang memasarkan diberi merek sendiri dan dijual dengan harga lebih tinggi sebagai marjin keuntungan.

Bermodal tak lebih dari Rp 5 juta, sulung empat bersaudara ini memulainya dua tahun silam. Tetapi soal memahat dan memotong, telah ia pelajari sejak lima tahun silam. “Orderannya lumayan, apalagi sejak saya iklankan di adjiopet.indonetwork.co.id pembelinya sampai luar pulau,” jelasnya.

Sekali dapat order minimal bisa Rp 1,5 juta. Pemasaran yang rutin hanya di Mirota Batik, Toko Buku Uranus dan Royal Plaza di stan milik Dekranasda. “Saya titip beberapa unit, sekali kirim 10 unit kalau habis dikirim lagi. Penjualannya nggak tentu tiap bulannya. Kadang Rp 500.000, kadang Rp 1 juta, tapi ini order yang rutin, belum termasuk yang order dalam jumlah partai sewaktu-waktu,” kata arek Suroboyo kelahiran 17 November 1980 ini.

Untuk produk lampu meja dijualnya Rp 75.000–100.000, kotak pensil Rp 20.000, tempat tissue Rp 15.000–20.000, asbak Rp 20.000, hiasan meja Rp 35.000–40.000, tempat lilin Rp 20.000, lampu dinding (bervariasi), vas bunga Rp 35.000. Harga juga bisa berbeda sesuai model, ukuran dan kerumitan pemahatan.

“Dalam sepekan, saya dibantu tiga teman, setidaknya bisa menghasilkan puluhan unit produk tergantung ukuran. Kalau modelnya rumit bisa lebih lama,” tambahnya.

Proses pembuatannya cukup standar, dari gelondongan tempurung dibersihkan dengan alat khusus, lalu menggambar pola dengan pensil untuk memudahkan pemotongan dan pengeboran. Jika memerlukan lem untuk menyambung potongan, bisa menggunakan lem resin. Namun hasilnya tidak perlu dijemur karena bisa merusak lem. Finishing-nya tinggal memoles dengan plitur.

Khusus untuk produk ekspor, bahan plitur dan resin harus dihindari, semua diganti bahan ramah lingkungan yang sesuai standar ekspor. Iwan mengatakan, siap menerima order model sesuai keinginan pemesan. “Tetapi, tentunya harga akan lebih mahal,” ujar pria yang bermukim di Sukodono bersama orangtuanya ini.

Bahan baku tempurung gelondongan ia dapatkan dari Kediri, Blitar dan Trenggalek. Sedangkan bahan baku kayu dan bambu limbah dari Surabaya. Sekarung tempurung yang masih utuh gelondongan dibelinya Rp 4.000, sedangkan yang sudah dalam bentuk remahan atau potongan hanya Rp 2.500 satu kresek besar.

“Saya ingin punya showroom sendiri, tetapi belum ada modal. Bank Mandiri pernah menawari pinjaman, tetapi akhirnya mereka mundur sendiri karena saya tidak punya agunan, sekarang ini saya sedang diprospek BRI. Sebetulnya sering juga diundang seminar ke Bali untuk ekspor, berhubung modal kesana-kemari cekak, jadi bertahan di Surabaya saja,” pungkas Iwan, yang berancang-ancang menggarap produk kerajinan tas menggunakan bahan baku yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar