Minggu, 27 Maret 2011

Menagih Lingkungan Lahan Persawahan Indonesia










Oleh: Ir. Fadmin Prihatin Malau

Menagih lingkungan lahan persawahan di Indonesia. Kepada siapa menagih lingkungan lahan persawahan di Indonesia itu? Jawabnya kepada pemerintah Indonesia. Mengapa menagih kepada pemerintah Indonesia? Jawabnya karena program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua ada sebelas prioritas nasional yang akan dilaksanakan. Dari sebelas prioritas nasional itu pada prioritas kelima adalah ketahanan pangan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta menteri Pertanian untuk mendata lahan pertanian dalam upaya mempertahankan, meningkatkan ketahanan dan swasembada pangan. Menarik, karena ada perintah, keinginan untuk mendata (mapping) lingkungan lahan pertanian di Indonesia, bukan sekadar perintah untuk meningkatkan produksi (pangan) pertanian di Indonesia.

Berdasarkan data dari Departemen Pertanian Republik Indonesia, saat ini Indonesia hanya memiliki 7,6 juta hektar sawah ditambah ratusan ribu hektar lahan kering lain. Bila disatukan total lahan itu belum mencapai luas 15 juta hektar. Benarkah ada lingkungan lahan persawahan, lingkungan lahan kering seperti data itu? Hal ini menjadi pertanyaan penting karena setiap saat lingkungan lahan persawahan, lingkungan lahan kering dapat berganti kegunaannya.

Lihat saja lingkungan lahan persawahan yang ada di Sumatera utara, secara kasat mata dapat dilihat dialih-fungsinya menjadi bangunan rumah, seperti di kota Medan dahulu masih mudah melihat sawah. Baik di daerah arah Belawan, Binjai, Tanjung Morawa dan Deli Tua. Kini lingkungan lahan persawahan itu sudah tidak ada lagi. Begitu juga pada sepanjang jalan lintas Sumatera dari Medan ke Tarutung. Tidak seperti 30 tahun yang lalu, sepanjang tepi jalan itu terbentang lingkungan lahan persawahan, kini berdiri bangunan rumah penduduk.

Perlu Undang-Undang

Data lingkungan lahan persawahan yang ada di Indonesia sangat perlu didata ulang secara tepat dan benar karena pemerintah belum membuat peraturan perundang-undangan yang tegas dalam melindungi lingkungan lahan sawah dari konversi sekaligus mendasari pencetakan area baru di Indonesia. Belum ada lahan lingkungan pertanian pangan abadi, keberadaannya dapat berubah setiap saat. Sudah waktunya, perlu ada Undang-Undang Lahan Pertanian Pangan Abadi (LPPA).

Beberapa kali penulis mengikuti seminar, lokakarya mengenai ketersediaan lingkungan lahan pangan bagi masyarakat Indonesia. Sudah banyak yang menyusulkan adanya lingkungan lahan pertanian pangan abadi dalam setiap seminar, lokakarya yang diikuti berbagai kalangan, mulai dari kalangan akademisi, pemerhati, pakar lingkungan.

Bagaimana program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua yang melakukan pendataan lingkungan lahan pertanian pangan yang sesungguhnya. Apakah sudah dilaksanakan dengan baik sehingga bila LPPA diundangkan maka sudah memiliki data yang benar.

Sesungguhnya UU LPPA sangat dibutuhkan sebab akan menegaskan larangan konversi lingkungan lahan persawahan dan tidak berbenturan dengan pembangunan ekonomi lainnya. Keinginan mewujudkan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan akan lebih mudah dilaksanakan. Hal ini karena pembangunan ekonomi strategis yang mengharuskan lingkungan lahan pertanian pangan harus dikonversi dengan memiliki kompensasi dan persyaratan yang jelas. Misalnya, penggantian lingkungan lahan pertanian pangan yang disebabkan sesuatu yang penting, pembangunan jalan harus ada kompensasi minimal dua kali lipat dari lingkungan lahan pertanian itu.

Sesungguhnya UU Lahan Pertanian Pangan Abadi sudah sangat mendesak dan terkait dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khusus pada pasal 48 ayat 1 huruf e dan ayat 2. Dalam pasal itu ditegaskan perlunya perlindungan terhadap kawasan lahan pertanian pangan abadi yang akan diatur dengan undang-undang.

Kini menjadi pertanyaan, bagaimana program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua untuk prioritas kelima yakni ketahanan pangan mendata ulang lingkungan lahan pertanian dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan ketahanan pangan. Sudah seharusnya menteri Pertanian Indonesia KIB jilid dua Ir. H. Suswono, MMA, yang lulusan S-2 Agribisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) ini "menggolkan" UU LPPA itu dengan terlebih dahulu melakukan pemetaan, pendataan lingkungan lahan pertanian pangan yang sesungguhnya kini ada di Indonesia.

Jawab Krisis Pangan

Indonesia dalam kondisi krisis pangan, hal ini berdasarkan fakta yang kuat, Indonesia terancam swasembada beras, swasembada pangan. Tulisan ini tidak mencari siapa yang salah, apa lagi menuding berbagai pihak, tetapi fakta tentang swasembada pangan Indonesia sangat kritis dan perlu ada antisipasi yang jelas dan tegas. Program seratus hari KIB jilid dua untuk mendata ulang lahan pertanian adalah langkah awal yang tepat agar kondisi krisis pangan tidak terjadi.

Pendataan ulang lingkungan lahan persawahan berkaitan erat dengan ketersediaan pangan yang sesungguhnya dengan turunannya seperti status petani, kepemilikan lahan lingkungan pertanian oleh petani, tingkat kesejahteraan petani yang semuanya bermuara kepada stabilitas keamanan dan kenyamanan negara.

Mantan Menteri Pertanian Indonesia, Anton Apriyantono pada Seminar dan lokakarya yang membahas tentang pangan beberapa waktu yang lalu di Medan memperhitungkan produksi pangan minimal harus memiliki 15 juta hektar lahan pertanian pangan baru untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia pada tahun 2030 yang diprediksikan berjumlah 280 juta jiwa.

Artinya, apa yang dikatakan mantan Menteri Pertanian Indonesia, Anton Apriyantono itu, kondisi lahan lingkungan pertanian pangan saat ini yang dimiliki Indonesia hanya 7,6 juta hektar sawah ditambah ratusan ribu hektar lahan kering lain masih sangat mengkhawatirkan untuk menyediakan pangan. Belum lagi pertumbuhan penduduk Indonesia hampir seperempat miliar jiwa. Pertumbuhan penduduk Indonesia, tahun 1900 sekitar 40 juta jiwa, lantas 120 juta jiwa (1970), 147 juta jiwa (1980), 179 juta jiwa (1990), 206 juta jiwa (2000) dan mencapai 225 juta jiwa (2007) ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS 2009).

Langkah awal untuk mendata ulang lahan lingkungan pertanian pangan di Indonesia sangat tepat guna menggali potensi besar dalam mewujudkan swasembada beras, swasembada pangan.

Hal ini cukup beralasan, karena berdasarkan data World Bank (2003), lahan kering di Indonesia ada 24 juta ha, lahan ini juga potensial untuk program diversifikasi pangan dan diversifikasi produksi pertanian dengan tanaman kehutanan, peternakan, dan perkebunan.

Ingat! Swasembada pangan bukan saja tergantung kepada (padi) beras, tetapi bahan pangan non-padi dapat diproduksi dari lahan kering non-sawah. Data yang ada kini tentang luas lahan lingkungan pangan non-sawah juga perlu didata ulang dengan baik, benar dan tepat dari data yang ada kini yakni untuk luas panen jagung 4,9 juta hektar, kedelai 701.000 hektar, ubi kayu 12,9 juta hektar, kacang tanah 629.000 hektar dan ubi jalar 181.000 hektar.

Data yang benar, tepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk meletakkan pondasi pembangunan lahan lingkungan pertanian pangan dan ini bukan kerja ringan. Tidak bisa dilakukan oleh pemerintah pusat saja, tetapi secara total dan menyeluruh. Pemerintah pusat dan daerah harus saling bersinergi serta membangun partnership untuk mendapatkan data yang baik, benar dan akurat serta dapat dipertanggungjawabkan.

Hal ini penting karena dari data yang baik, benar dan akurat program pembangunan pertanian pangan jangka menengah dan panjang dapat terwujud, maka program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua yang kini sudah lebih satu tahun lebih perlu ditagih. Apakah program mendata ulang lahan lingkungan pertanian pangan sudah terlaksana dengan baik. Bila sudah maka lingkungan lahan persawahan di Indonesia dapat menjadi abadi seiring dengan nanti diundangkannya Rancangan Undang-Undang Lahan Pertanian Pangan Abadi (LPPA).

Harus dan tidak ada pilihan lain selain menjadikan lingkungan lahan persawahan di Indonesia menjadi abadi karena dengan abadinya lingkungan lahan persawahan maka ancaman kekurangan pangan, ancaman kelaparan buat rakyat Indonesia dapat dihindari.

(Penulis adalah sarjana Pertanian, mantan guru Sekolah Pembangunan Pertanian (SPP) Putjut Baren Medan, pemerhati masalah lingkungan hidup pertanian).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar