Minggu, 27 Maret 2011

Beda Tanamannya, Beda Asal Komposnya


Dalam pengolahan kompos, H Rusmin mengambil bahan baku berupa kotoran ternak baik sapi, domba, ayam maupun itik dari pemilik ternak yang ada di daerahnya. Tentu saja dengan cara membeli. Untuk kotoran sapi misalnya, harga tiap truk atau sekitar 6 ton berkisar Rp 400 ribu, dalam keadaan basah atau segar.
Sedangkan dalam pembuatan kompos yang dilakukan Rusmin bersama anggota kelompok taninya, tidaklah rumit. Menurutnya, bahan-bahan berupa kotoran ternak dipisahkan masing-masing jenisnya. Kemudian kotoran ternak sebanyak satu ton dicampur dengan serbuk kayu, abu sekam, jerami, dedaunan atau rumput dan biostater berupa stardec.

Untuk bahan campuran sebanyak satu ton, stardec yang digunakan sebanyak 3 kilogram yang ditaburkan ke dalam campuran tadi. Kemudian diperam selama 21 hari untuk selanjutnya dianginkan antara 3 – 4 hari. Kemudian digiling dengan alat mesin pencacah kompos. Selanjutnya, kompos siap dipasarkan atau digunakan. “Biasanya, kompos yang dihasilkan dari bahan sebanyak satu ton menjadi 600 – 700 kg,” jelas Rusmin.

Dalam pemasaran, kompos yang mereka produksi dijual seharga Rp 1.000 per kg dengan catatan diambil di tempat. Itu berarti, dengan produksi sebanyak 700 kg, omset yang diperoleh Rusmin bersama anggota kelompok taninya sebesar Rp 700.000. Sementara dalam sebulan, kompos yang mereka produksi berkisar antara 600 – 700 ton. Dengan begitu, omset yang terkumpul berkisar antara Rp 600 juta hingga 700 juta per bulan.

Sementara biaya produksi yang mereka keluarkan dalam memproduksi satu ton berkisar Rp 200 ribu dan itu belum termasuk upah kerja. Dalam sehari, upah kerja yang dibayarkan Rp 40.000 per hari per orang. Sedangkan pekerja yang dipakai sebanyak enam orang dalam sehari. “Memang, pekerja yang kita pakai adalah anggota kelompok tani sendiri tapi tetap kita bayar,” jelas Rusmin.

Rusmin yang telah meraih berbagai penghargaan dari pemerintah baik kabupaten, propinsi maupun pusat termasuk Kementerian Pertanian ini mengaku keuntungan yang diperoleh lumayan banyak. Dan, keuntungan itu dibagikan ke anggota kelompok taninya. “Jadi, penghasilan yang diperoleh dari pengolahan kompos ini sangat membantu petani dan warga sekitarnya dalam penambahan pendapatan,” akunya.

Rusmin juga mengatakan tiap pupuk kompos organik yang dihasilkan dari kotoran ternak, tidak semua bisa dugunakan untuk tanaman. Kompos yang dihasilkan dari kotoran sapi misalnya, sangat baik digunakan untuk tanaman padi, cabai, kakao dan kelapa sawit. “Untuk tanaman cabai, kompos yang digunakan dari kambing juga baik,” jelasnya.

Sedangkan dari kotoran ayam, untuk tanaman cabai menurut Rusmin tidak terlalu baik karena dapat menyebabkan daun tanaman cabai menjadi keriting. Karena kandungan N atau nitrogen dari kotoran ayam sangat tinggi. Tetapi untuk sayuran lainnya, kompos dari kotoran ayam sangat baik. “Jadi, kompos yang dihasilkan dari kotoran ternak tidak semua dapat digunakan untuk tanaman. Beda kotoran beda tanamannya,” kata Rusmin.

Jumiran adalah salah seorang petani di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat yang mendapat pembinaan dari H Rusmin tentang pembuatan kompos organik. Kegiatan itu dimulainya sejak tahun 2008. Selain memanfaatkan kotoran ternak sapi miliknya ia juga memanfaatkan kotoran ternak sapi milik warga sekitarnya yang memang tidak dimanfaatkan.
Dari kemampuannya dalam mengolah kotoran tersebut menjadi pupuk kompos, Jumiran pun mendapat bantuan dari Dinas Pertanian Langkat berupa satu unit alat pengolah pupuk organik (APPO). Tidak hanya itu, tahun 2010 Jumiran yang juga Ketua Kelompok Tani Sri Sari Wangi yang berjumlahkan 28 orang itu kembali mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian Sumut berupa satu unit APPO multi guna.

Kemudian di tahun yang sama, melalui APBN-P, Jumiran mendapat bantuan lagi. Kali ini, bantuan yang diterima pun tidak tanggung-tanggung, yakni satu unit pengolah pupuk organik (UPPO), yang terdiri dari alat angkut tiga roda sebanyak satu unit, mesin APPO satu unit, rumah kompos ukuran 8 x 10 meter persegi, sapi dara sebanyak 35 ekor.

Tapi, oleh Jumiran dan anggota kelompok taninya lewat swadaya mereka sendiri menukar sapi dara bantuan tadi ke sapi induk. Bahkan saat berkunjung ke lokasi pengolahan komposnya, sebagian sapi-sapi induk tadi sudah ada yang melahirkan. “Ada enam ekor anak sapi yang sudah lahir, sehingga sekarang jumlah sapi bertambah menjadi 41 ekor,” jelasnya.

Mengenai produksi kompos yang mereka hasilkan, Jumiran mengatakan, hingga sekarang mereka bisa memproduksi sekitar 25 ton per hari. Namun, dengan adanya bantuan tersebut mereka menargetkan produksi ditingkatkan menjadi 30 ton per bulan. Pupuk kompos tersebut selain digunakan anggota kelompok juga dijual. “Untuk anggota kelompok, kompos dijual seharga Rp 500 per kg sedangkan di luar anggota Rp 1.000 per kg,” jelasnya.

Setelah dikurangi biaya produksi, 10% dari keuntungan yang diperoleh dibagi ke anggota kelompok dengan memasukkan dana tersebut ke dalam kas kelompok tani mereka. “Rata-rata kenutungan yang kami peroleh dari penjualan kompos organik ini berkisar Rp 3 jutaan,” kata Jumiran sembari menambahkan bantuan yang mereka terima sangat bermanfaat dalam meningkatkan pendapatan petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar