Senin, 07 Maret 2011

Berita Pertanian : Minyak Jarak Telantar

Tanaman jarak pagar (Jatrophacurcas) tampak kurang terurus di Kebun Percobaan Natar, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian di Lampung, Kamis (3/3). Gaung program energi alternatif dengan peng embangan minyak biji jarak pagar tidak jelas nasibnya.

Jakarta. Sejumlah kebun jarak di sejumlah wilayah di Tanah Air telantar. Padahal, bahan bakar nabati berbasis pada biji jarak ini sangat andal menjadi alternatif bahan bakar minyak, bukan saja di saat harga tinggi, melainkan juga saat bahan bakar minyak berbasis fosil habis.

Fakta yang ada, harga minyak mentah jenis Brent untuk pelepasan bulan April, pada perdagangan pada hari Jumat (4/3) di New York, AS, mencapai 115,97 dollar AS per barrel. Naik 1,18 dollar AS per barrel dari posisi hari Kamis. Minyak light sweet juga untuk pelepasan bulan April mencapai 104,42 dollar AS per barrel. Naik 2,51 dollar AS per barrel dari posisi sebelumnya.

Pemerintah sudah mengampanyekan program tanaman jarak pagar sejak tahun 2006 sebagai antisipasi kondisi bahan bakar minyak. Namun, kenyataan di lapangan, program ini semakin tidak jelas. Pemerintah boleh dikatakan sudah melupakan program yang dikampanyekan itu.

Melihat tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) di Kebun Percobaan Natar, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung, dibiarkan telantar. Ini terjadi seiring tenggelamnya gaung program energi alternatif minyak jarak.

Pohon-pohon jarak pagar yang mulai ditanam sejak 2005 dibiarkan tumbuh tanpa perawatan berarti. Tingginya bahkan mencapai hampir 3 meter dengan sedikit buah, itu pun ukurannya mayoritas kecil, menandakan tidak produktifnya lagi tanaman. Areal kebun jarak pagar yang dikelola Balitbang Kementerian Pertanian ini mencapai 3,5 hektar.

Rohman Fauzi, Kepala Kebun Percobaan Natar BPTP, membenarkan bahwa selama bertahun-tahun tanaman jarak pagar di tempatnya itu tidak ada lagi yang mengurusi. ”Dulunya, ini memang merupakan riset khusus. Tetapi, sehabis itu (2005–2007), ya dibiarkan saja,” ujarnya.

Dua bulan terakhir, sebanyak 3 hektar areal tanaman jarak pagar di Kebun Percobaan Natar itu diambil alih pengelolaannya oleh perusahaan pengembangan energi alternatif, PT Jedo Indonesia. Semenjak diambil alih, tanaman jarak ini dipangkas untuk diperbarui kembali.

Demikian pula nasib industri pengolah minyak jarak di Desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, yang diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Februari 2007, selama beberapa tahun ini terbengkalai.

Dua pekan lalu, tanaman jarak di lahan dan pabrik milik PT Energi Hijau Lestari (Enhil) seluas 1,25 hektar itu terlihat tak terawat. Tumbuhan gulma tumbuh di sela-sela jarak pagar.

Suwi Mustofa (40) dan Sardi (58), petani Desa Tanjungharjo, yang tak jauh dari pabrik PT Enhil tersebut, masih ingat bagaimana bersemangatnya penduduk desa saat ditawari menanam jarak pagar. ”Presiden sendiri datang ke sini, makanya kami percaya waktu itu,” ujar Sardi.

Menurut Kepala Penelitian Surfaktan dan Bioenergi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor Erliza Hambali, pengembangan minyak jarak terkendala rendahnya produktivitas.

Saat ini produktivitas tanaman minyak jarak per hektar baru 3-4 ton. Pada penelitian bisa 7-8 ton. Kalau diolah menjadi minyak kadar rendemennya hanya 25 persen. Padahal, untuk skala industri paling produktivitas bisa mencapai 15 ton.

Erliza menyatakan, arah kebijakan pengembangan energi minyak jarak sudah tepat. Tinggal bagaimana sekarang meningkatkan produktivitas dan kadar rendemen dalam setiap bijinya.

Kalau pemerintah mau, produktivitas bisa ditingkatkan. Memang ini membutuhkan waktu 5-15 tahun. Perlu ada perhatian khusus pada riset pengembangan tanaman jarak. Biayanya tidak begitu mahal dengan memanfaatkan teknologi pemuliaan modern, seperti biomolekuler.

Hal itu tinggal memanfaatkan pusat riset di Institut Pertanian Bogor, misalnya. Lalu semua pemulia dikumpulkan menjadi satu fokus mengembangkan tanaman jarak. Anggaran yang butuhkan juga hanya Rp 10 miliar per tahun.

Tidak ada masalah

Sementara itu, Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Informasi, Energi, dan Material (TIEM) Unggul Priyanto di Jakarta menegaskan, pemanfaatan energi terbarukan sudah dipersiapkan melalui berbagai riset dan pengembangan rekayasa teknologi selama beberapa tahun terakhir ini. Tatkala dibutuhkan, aplikasi teknologinya sudah siap mendukung.

”Tidak ada masalah dengan kesiapan teknologi untuk mendukung penggunaan sumber-sumber energi terbarukan, seperti bahan bakar nabati (biofuel), panas bumi, energi angin, atau energi matahari,” katanya.

Unggul mengatakan, periset BPPT mengembangkan riset teknologi produksi bahan bakar nabati (BBN) di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang. Teknologi itu siap diaplikasikan untuk industri produsen biodiesel maupun bioetanol.

”Dengan sumber keanekaragaman hayati yang dimiliki, Indonesia berpotensi menjadi produsen bahan bakar nabati terbesar di dunia,” kata Unggul. (kompas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar