Rabu, 13 April 2011

Setelah 50 Tahun, Kopra di Atas Beras

Jean Rizal Layuck

Laporan terakhir dari pasar-pasar komoditas hasil bumi Sulawesi Utara menyebutkan, harga kopra pada awal April 2011 cukup tinggi, mencapai Rp 9.500 per kilogram. Bahkan, sempat mencapai Rp 12.000 per kg di awal 2011.

Kenaikan signifikan harga kopra dari biasanya Rp 3.000- Rp 5.000 per kg dan terus bertahan di angka Rp 9.500 selama empat bulan memberi arti khusus bagi petani kelapa di Sulut, khususnya di sejumlah sentra produksi, seperti Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa Utara, Bitung, Bolaang Mongondow, serta Sangihe dan Talaud.

Daniel Karundeng (52), petani kelapa di Dimembe, Minahasa Utara, menyatakan kegembiraannya dapat menikmati bonanza kopra. ”Petani sekarang lega, ini masa yang indah,” katanya.

Makna yang lebih membanggakan adalah perjuangan para petani kelapa sejak 1960-an untuk mengupayakan harga kopra minimal sama dengan harga di atas titik impas (break even point) dan di atas harga beras akhirnya tercapai. Harga beras jenis medium satu kilogram di pasar Sulut berkisar Rp 7.000 per kg.

Pakar ekonomi regional Dr Noldy Tuerah mengatakan, indikator ahli perkelapaan di Sulut menyebutkan, harga kopra dianggap wajar apabila sama dengan harga satu kilogram beras. Di bawah itu, petani kelapa merugi, dan karena itu petani masih hidup di bawah standar.

”Bayangkan, hampir 50 tahun petani kelapa hidup di bawah standar,” katanya.

Menurut Tuerah, rumusan kehidupan wajar petani kelapa saat harga kopra di atas harga beras dinyatakan oleh tokoh perkelapaan regional Bonny Lengkong, pejabat ekonomi Pemerintah Provinsi Sulut pada dekade 1960-an. Pada dekade itu seluruh petani kelapa melakukan konferensi di Manado.

Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sulut Sanny Parengkuan menyatakan, harga kopra jarang dapat bertengger lama pada level harga Rp 9.500. Harga kopra pernah mencapai Rp 6.000 per kg pada dekade 1990-an selama dua pekan saat harga beras Rp 3.000 per kg.

Namun, yang terjadi selama lebih dari 50 tahun, harga kopra tidak pernah bertengger sama dengan harga beras. Karena itu pula, petani kelapa pada umumnya hidup pas-pasan.

Cuma karena kelapa sempat dipandang masyarakat sebagai sumber kemakmuran di era penjajahan Belanda, maka petani kelapa tetap mempertahankan kebun-kebunnya meski hidup pas-pasan. Untuk mengisi kekurangan ekonomi keluarga, petani pada umumnya mengembangkan kegiatan-kegiatan alternatif.

Di Sulut, umumnya petani kelapa juga petani cengkeh, sebagian menjadi nelayan, sebagian menjadi tukang kayu, atau buruh bangunan, sebagian menjadi pegawai negeri, sebagian lagi merantau.

Provokasi minyak sawit

Eksodus besar-besaran orang Minahasa ke luar Sulut terjadi saat harga kopra rontok total pada 1980-an, mencapai titik paling rendah, sekitar Rp 100 per kg, akibat naiknya pamor minyak sawit. Ketakutan terhadap bahaya kolesterol membuat bagian terbesar konsumen minyak kelapa beralih ke minyak nabati lain.

Namun, melalui sebuah perjalanan panjang, akhirnya kalangan ahli makanan dan gizi, termasuk ahli kesehatan, mengatakan, daging atau buah kelapa tidak mengandung kolesterol. Sejak tiga sampai empat tahun lalu bermunculan hasil-hasil penelitian yang berbasis perguruan tinggi menyimpulkan, minyak kelapa, juga buah kelapa, bisa dibuat minyak kelapa murni (virgin coconut oil) yang bisa menyembuhkan beragam penyakit.

Setelah era harga kopra Rp 100 per kg di awal 1980-an, harga kopra merangkak dan berfluktuasi pada tingkat Rp 500 per kg, dan sekali-sekali menerobos ke angka di atas Rp 1.000 per kg, serta tertinggi RP 4.000 per kg. Sementara itu, khususnya di Manado, kebutuhan terhadap kelapa muda meningkat tajam dan ikut mendorong naiknya harga kopra.

Menurut Herry Rotinsulu, mantan Kepala Dinas Pertanian Sulut, banyak hal mendorong kenaikan harga kopra, yakni adanya perubahan iklim.

Pertama, musim salju di Eropa yang berkepanjangan menjadi penyebab naiknya permintaan pasar terhadap minyak kelapa yang biasa dijadikan sebagai bahan pemanas ruangan. Kedua, akibat perubahan iklim, laut terus bergelora sehingga mengakibatkan suplai kopra atau kelapa, termasuk minyak kelapa menjadi tersendat-sendat. Akibatnya, harga melambung tinggi.

Faktor lain, kebutuhan terhadap buah kelapa semakin beragam. Dulu kelapa hanya untuk dibuat kopra (daging kelapa yang dikeringkan) dan minyak kelapa, tetapi belakangan ini volume pembuatan tepung kelapa meningkat. Juga semakin banyak bahan makanan terbuat dari kelapa.

Sayang, di tengah kenaikan harga kelapa, petani justru dihadapkan pada produksi kelapa yang menurun drastis akibat merosotnya kebun kelapa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar