Jumat, 29 April 2011

Derita Buruh Sawit

Oleh : Amin Siahaan

Tepat satu abad lalu industri perkebunan kelapa sawit dirintis di Sumatera Timur, tepatnya di Tanah Itam Ulu oleh perusahaan Olipalmen Cultuur dan di Pulau Raja oleh perusahaan Huileries de Sumatera.

Kini, Indonesia dikenal sebagai pemasok utama crude palm oil. Hasilnya, di tahun 2009, Indonesia mendapatkan 10 miliar dolar dari perdagangan CPO. Tanggal 28-30 Maret 2011 lalu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) beserta pemerintah merayakan peringatan 100 tahun komoditi kelapa sawit di Indonesia. Kota Medan dipilih untuk menjadi tuan rumah acara ini. Namun, cerita sukses ini meninggalkan derita tak terperi bagi ribuan buruh perkebunan kelapa sawit.

Pelanggaran Hak NormatifTahun lalu, Greenpeace merilis berita yang menyebutkan bahwa perusahaan Sinar Mas Group melakukan pelanggaran ekologi dalam proses produksi sawitnya. Akibatnya, perusahaan internasional Nestle dan Unilever menghentikan pembelian CPO untuk sementara waktu. Pengusaha sawit dan pemerintah pun segera mengambil sikap dengan mengatakan pemberitaan negatif atas sawit Indonesia adalah bentuk black campaign Barat. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mencatat luas perkebunan sawit nasional mencapai 9,2 juta hektar. Rata-rata seorang buruh sawit bekerja di atas lahan 5 hektare. Dengan demikian terdapat 1.840.000 buruh yang menggantungkan nasibnya terhadap tumbuhan asli Afrika ini.

Citra negatif perkebunan sawit tidak hanya identik dengan kerusakan lingkungan. Buruh sawit, yang bekerja mulai pagi hingga sore, bahkan malam, merupakan bagian dari masyarakat marjinal. Kehidupan buruh sawit sangat identik dengan kemiskinan. Ini dapat kita lihat dari buruh sawit asal Jawa di Sumatera yang sudah hidup tiga sampai empat generasi. Mereka biasanya dikenal dengan istilah Jawa Kontrak (Jakon). Kemiskinan buruh sawit diakibatkan sistem yang didesain secara sistemik dan terstruktur yang berujung hilangnya akses hidup buruh perkebunan. Manifestasi kemiskinan buruh sawit berupa, antara lain, pelanggaran atas hak-hak normatif.

Pertama, pelanggaran status kerja. Di mana buruh sawit kebanyakan berstatus harian lepas (harlep) atau kontrak. Implikasinya adalah mereka mendapatkan upah di bawah standar. Hanya Rp 10.000-Rp 15.000 per harinya. Ironisnya, sebagian besar di antara mereka bekerja di bagian produksi utama: pemanen dan perawatan. Hal ini jelas melanggar UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 56 ayat 1; 59 (2); dan 66 (1). Selain itu terdapat juga buruh brondolan sawit yang umumnya dikerjakan perempuan dan anak-anak. Meskipun bekerja dari awal sampai selesai, mereka tidak mendapatkan upah sama sekali.

Kedua, pelanggaran keselamatan kerja. Buruh perkebunan sawit bekerja tanpa dilengkapi alat pelindung kerja (APD). Helm, kacamata, masker, sarung tangan, sepatu boot, dan seragam amat minim diberikan. Ini melanggar UU No 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja khususnya pasal 3 ayat 1 (f). Padahal, bekerja di perkebunan sawit sangat rentan terjadinya kecelakaan kerja seperti tertimpa buah sawit ataupun gigitan binatang buas (ular). Ketiga, pelanggaran alat kerja. Buruh kebun sawit pada umumnya harus membeli sendiri peralatan kerja mereka. Jika pun disediakan oleh perusahaan, maka harus membayar setengah harga yang dipotong dari gaji mereka. Sedangkan biaya perawatan atau kerusakan harus ditanggung sendiri.

Keempat, eksploitasi denda atau sanksi. Di perkebunan kelapa sawit berlaku denda berupa potongan gaji atas kesalahan kerja di lapangan. Misalnya, ketika ada buah sawit yang masak tapi tidak dipanen. Atau jika brondolan sawit banyak tertinggal di areal tanaman. Akumulasi denda ini akan dipotong dari gaji. Buruh tidak diberikan kesempatan membela kesalahannya. Umumnya kesalahan terjadi karena beratnya target kerja dan minimnya alat kerja. Kelima, pelanggaran atas kebebasan berserikat dan berkumpul. Perkebunan telah mematikan kehidupan sosial-politik buruh dengan melarang berdirinya serikat buruh selain yang ditetapkan oleh perkebunan. Ancaman mutasi dan pemecatan segera diberlakukan jika ada buruh yang mencoba masuk atau mendirikan serikat buruh yang tidak direstui perkebunan. Di sisi lain, serikat buruh dukungan perkebunan lebih merupakan perpanjangan tangan perusahaan untuk mengawasi gerak-gerik buruh perkebunan.

Kelima, pelanggaran fasilitas. Hanya buruh berstatus tetap yang bisa mendapatkan fasilitas seperti perumahan, air, dan listrik. Itupun dengan kualitas sangat memprihatinkan. Perumahan umumnya terbuat dari kayu papan. Air berwarna hitam kecoklatan dan berkeruh karena perkebunan sawit berdiri di atas lahan gambut. Fasilitas sekolah kebanyakan hanya sampai tingkat sekolah dasar. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya anak buruh yang tidak sekolah karena ketiadaan biaya. Orangtua mereka "lebih suka" anaknya membantu bekerja di perkebunan.

Keenam, pelanggaran proses kerja. Tiap harinya buruh sawit bekerja dengan tiga target kerja sekaligus yaitu, jam kerja, luas areal dan target produksi. Buruh di bagian pemanen harus bekerja mulai pagi sampai sore dengan luas areal 5 hektar dan beban tandan buah segar (TBS) sebesar 1-2 ton. Ketiganya harus tercapai jika tidak ingin dikenakan denda atau sanksi. Pola inilah yang mengakibatkan istri dan anak buruh terpaksa harus ikut bekerja untuk meringankan pekerjaan dan menghindari sanksi.

Ketujuh, pelanggaran gender. Buruh perempuan, juga anak-anak, sangat rentan terhadap eksploitasi seksual. Pelakunya bisa berasal dari unsur pimpinan seperti Mandor ataupun sesama buruh. Lokasi kerja yang jauh dan sepi mendukung tindakan kriminal ini. Bahkan bukan rahasia lagi, praktek prostitusi inheren pada setiap perkebunan.

Pelanggaran hak-hak normatif merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Karena telah melanggar hak ekonomi, sosial, dan budaya serta hak sipil-politik buruh perkebunan. Kondisi yang tidak jauh berbeda seperti yang dikisahkan oleh Johanes Van den Brand dalam brosur Millioenen Uit Deli 109 tahun lalu.

Makna Perayaan

Dari paparan di atas patut kita pertanyakan apa korelasinya bagi buruh, dan keluarganya, gelaran satu abad sawit di Indonesia diadakan? Perayaan yang mengambil tema "Sawit Sahabat Rakyat" ini tidak akan mengubah sedikit pun kehidupan buruh sawit. Kemiskinan akan terus diwariskan ke generasi selanjutnya. Jelas bahwa industri sawit hanya menguntungkan segelintir pemodal. Lalu di mana peran pemerintah? Setali tiga uang. Pemerintah lebih nyaman duduk bersama pengusaha. Peran mensejahterakan rakyat (buruh) menjadi alpa karena begitu kuatnya intervensi pemodal.

Bukti terkini dapat kita lihat dalam draf moratorium yang ternyata hanya berlaku di obyek hutan primer. Perkebunan sawit yang sudah berdiri di atas hutan lindung atau lahan gambut tetap bisa beroperasi. Oleh karenanya, kebanggaan Indonesia sebagai pemasok utama CPO dunia adalah semu. Karena tidak berimplikasi pada perbaikan ekonomi jutaan buruh sawit. ***

Penulis aktif di NGO Lentera Rakyat (Bergerak di Bidang Pendidikan dan Pengorganisasian Buruh Perkebunan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar