Tampilkan postingan dengan label persawahan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label persawahan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 14 Juni 2011

Sawah Warga Bengkulu Terancam Kering








Taman Nasional Kerinci Seblat menyimpan sejumlah kekayaan alam. Salah satunya adalah Air Terjun Lumpo yang terletak di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Di provinsi ini tercatat 17 titik potensial untuk tempat wisata
yang terletak di areal Taman Nasional Kerinci Seblat.

MUKOMUKO. Warga Desa Sungai Ipuh, Kecamatan Selagan Raya, Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, khawatir sawah mereka kekurangan air, jika jalan tembus Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) terwujud. Kekhawatiran mereka muncul, karena hulu Sungai Selagan yang selama ini mengairi sawah mereka berada di kawasan TNKS.

Kepala Desa Sungai Ipuh, Azwir, Selasa (14/6/2011), mengatakan, sebagian masyarakat cemas dengan rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kerinci, Provinsi Jambi, dan Pemkab Mukomuko, membuat jalan tembus TNKS. "Siapa yang akan menjamin kalau jalan tembus TNKS dibuat, tidak ada perambah yang merusak hutan TNKS," katanya.

Luas sawah yang optimal berproduksi di Selagan Raya sekitar 1.000 hektar, dan tersebar di 12 desa, di antaranya Desa Talang Buay, Sungai Ipuh, Pondok Baru, dan Surian Bungkal. Hamparan sawah itu mendapat pasokan air dari irigasi Sungai Selagan, Sungai Payang, dan Sungai Gading. Hulu ketiga sungai itu berada di TNKS.

Sekitar 80 persen warga Desa Sungai Ipuh merupakan petani sawah. Walaupun memiliki kebun sawit atau karet, mereka tetap menjadikan bersawah sebagai andalan utama ekonomi keluarga .

Seperti diketahui, Pemkab Kerinci dan Pemkab Mukomuko mengusulkan pembuatan jalan baru Sungai Ipuh-Lempur, Kabupaten Kerinci, melintasi TNKS yang diperkirakan sejauh 20 kilometer. Dalih pembuatan jalan menembus taman nasional itu untuk jalur ekonomi dan evakuasi bencana.

Warga Desa Pondok Baru, Tarangi (40), berpendapat, akan lebih baik pemerintah daerah memperbaiki jalan dari Selagan Raya ke kebun-kebun warga sejauh lebih kurang 12 kilometer, daripada membuat jalan baru di tengah TNKS.

"Langkah pemerintah tidak masuk akal. Masak mau membuat jalan baru di tengah hutan, sementara jalan desa menuju kebun yang dekat TNKS masih hancur," kata Tarangi.

Jalan menuju kebun yang bagus, ungkap Tarangi, akan sangat membantu masyarakat membawa hasil panen dari kebun.

"Dua tahun lagi saya panen sawit. Kalau jalan masih hancur, kami para petani sulit membawa hasil panen ke desa, apalagi pas musim hujan. Jalannya licin, sepeda motor saja tidak bisa lewat. Kalau sawit terlalu lama tidak dibawa, bisa busuk," tuturnya.

Kondisi jalan desa dari Sungai Ipuh menuju batas TNKS, Selasa ini terlihat hancur. Jalan tersebut melintasi lahan warga yang sebagian besar masih berupa hutan.

Dari panjang jalan 12 kilometer, tiga kilometer di antaranya hanya dilapisi batu koral hasil swadaya masyarakat. Sisanya berupa jalan tanah yang sangat becek dan licin jika hujan. Pada saat licin, sepeda motor pun akan sulit melaluinya.

Lebar jalan tersebut tidak merata, menyesuaikan kontur bukit dan hutan yang dilaluinya. Jalan yang melintasi dua sungai yakni Sungai Petai dan Barau serta tiga aliran air kecil itu, berakhir sekitar dua kilometer sebelum TNKS dan berganti dengan jalan setapak.

Ketua Generasi Sungai Ipuh Sekitar (Genesis), Barlian, menyampaikan, selain jalan yang hancur di Kecamatan Selagan Raya pun listrik PLN belum masuk. Karena itu, alangkah bermanfaatnya jika anggaran daerah dialokasikan untuk memperbaiki jalan desa yang hancur, dan menyediakan sambungan listrik desa.

Selasa, 26 April 2011

Berita Pertanian : Petani Wonosari Terpaksa Mengairi Sawah dengan Sumur Bor

Tanjungmorawa. Para petani di Desa Wonosari sudah 10 tahun mengairi persawahannya dengan mengambil air dari sumur bor.
“Sudah 10 tahun kami mengairi sawah kami dengan menggunakan air dari sumur bor karena air dari sungai Batu Gingging tidak sampai ke Desa Wonosari, karena banyaknya petani ikan di aliran sungai tersebut,” kata Wahidin Sitorus saat ditemui wartawan di Desa Wonosari, Selasa (26/4).

Untuk itu kata dia, mereka berharap kepada Pemerintah Daerah Deliserdang dapat menyelesaikan masalah perairan ini mengingat persoalan perairan dari Sungai Batu Gingging sudah lama namun tak pernah selesai. “Kami sudah melaporkan hal ini ke DPRD Deliserdang dan kepada dinas terkait, tetapi tanggapannya hingga saat ini masih belum jelas juga,” katanya lagi.

Saat ini kata Sitorus, mereka sudah memasuki masa tanam karena mengejar waktu untuk Lebaran. “Jika ini tidak dipercepat maka pada saat Lebaran nanti kami bisa-bisa jaga burung,” jelasnya.

Dikatakannya, sumur bor tersebut sangat membantu petani dalam mengairi tanaman mereka. “Di Desa Wonosari luas areal persawahan berkisar 600 hektare. Jadi, jika tidak menggunakan sumur bor air tidak akan sampai ke lokasi persawahan kami. Sawah akan kering yang akhirnya bisa membuat petani gagal panen,” ujar Sitorus.

Fambudy, Kasi Pemerintahan Desa Wonosari mengharapkan kepada pemerintah Deliserdang agar bertindak tegas terhadap pemilik kolam ikan karena sudah menyusahkan petani padi. “Jika masyarakat tidak menanam padi bagai mana nantinya,” katanya.

Sementara itu, Nasam, salah seorang petani sawah mengatakan, sanggang yang biasa masyarakat petani di Wonosari menyebutnya adalah padi yang sudah dipanen dan tumbuh, setelah itu dipanen kembali ini dapat menopang perekonomian keluarganya.

Nasam berserta istrinya melakukan panenan pada tanaman padi yang tumbuh kembali setelah dipanen. Menurutnya, hasil panen yang diperoleh dapat menghasilkan gabah kering panen sebanyak 10 kg.

Minggu, 27 Maret 2011

Menagih Lingkungan Lahan Persawahan Indonesia










Oleh: Ir. Fadmin Prihatin Malau

Menagih lingkungan lahan persawahan di Indonesia. Kepada siapa menagih lingkungan lahan persawahan di Indonesia itu? Jawabnya kepada pemerintah Indonesia. Mengapa menagih kepada pemerintah Indonesia? Jawabnya karena program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua ada sebelas prioritas nasional yang akan dilaksanakan. Dari sebelas prioritas nasional itu pada prioritas kelima adalah ketahanan pangan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta menteri Pertanian untuk mendata lahan pertanian dalam upaya mempertahankan, meningkatkan ketahanan dan swasembada pangan. Menarik, karena ada perintah, keinginan untuk mendata (mapping) lingkungan lahan pertanian di Indonesia, bukan sekadar perintah untuk meningkatkan produksi (pangan) pertanian di Indonesia.

Berdasarkan data dari Departemen Pertanian Republik Indonesia, saat ini Indonesia hanya memiliki 7,6 juta hektar sawah ditambah ratusan ribu hektar lahan kering lain. Bila disatukan total lahan itu belum mencapai luas 15 juta hektar. Benarkah ada lingkungan lahan persawahan, lingkungan lahan kering seperti data itu? Hal ini menjadi pertanyaan penting karena setiap saat lingkungan lahan persawahan, lingkungan lahan kering dapat berganti kegunaannya.

Lihat saja lingkungan lahan persawahan yang ada di Sumatera utara, secara kasat mata dapat dilihat dialih-fungsinya menjadi bangunan rumah, seperti di kota Medan dahulu masih mudah melihat sawah. Baik di daerah arah Belawan, Binjai, Tanjung Morawa dan Deli Tua. Kini lingkungan lahan persawahan itu sudah tidak ada lagi. Begitu juga pada sepanjang jalan lintas Sumatera dari Medan ke Tarutung. Tidak seperti 30 tahun yang lalu, sepanjang tepi jalan itu terbentang lingkungan lahan persawahan, kini berdiri bangunan rumah penduduk.

Perlu Undang-Undang

Data lingkungan lahan persawahan yang ada di Indonesia sangat perlu didata ulang secara tepat dan benar karena pemerintah belum membuat peraturan perundang-undangan yang tegas dalam melindungi lingkungan lahan sawah dari konversi sekaligus mendasari pencetakan area baru di Indonesia. Belum ada lahan lingkungan pertanian pangan abadi, keberadaannya dapat berubah setiap saat. Sudah waktunya, perlu ada Undang-Undang Lahan Pertanian Pangan Abadi (LPPA).

Beberapa kali penulis mengikuti seminar, lokakarya mengenai ketersediaan lingkungan lahan pangan bagi masyarakat Indonesia. Sudah banyak yang menyusulkan adanya lingkungan lahan pertanian pangan abadi dalam setiap seminar, lokakarya yang diikuti berbagai kalangan, mulai dari kalangan akademisi, pemerhati, pakar lingkungan.

Bagaimana program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua yang melakukan pendataan lingkungan lahan pertanian pangan yang sesungguhnya. Apakah sudah dilaksanakan dengan baik sehingga bila LPPA diundangkan maka sudah memiliki data yang benar.

Sesungguhnya UU LPPA sangat dibutuhkan sebab akan menegaskan larangan konversi lingkungan lahan persawahan dan tidak berbenturan dengan pembangunan ekonomi lainnya. Keinginan mewujudkan pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan akan lebih mudah dilaksanakan. Hal ini karena pembangunan ekonomi strategis yang mengharuskan lingkungan lahan pertanian pangan harus dikonversi dengan memiliki kompensasi dan persyaratan yang jelas. Misalnya, penggantian lingkungan lahan pertanian pangan yang disebabkan sesuatu yang penting, pembangunan jalan harus ada kompensasi minimal dua kali lipat dari lingkungan lahan pertanian itu.

Sesungguhnya UU Lahan Pertanian Pangan Abadi sudah sangat mendesak dan terkait dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khusus pada pasal 48 ayat 1 huruf e dan ayat 2. Dalam pasal itu ditegaskan perlunya perlindungan terhadap kawasan lahan pertanian pangan abadi yang akan diatur dengan undang-undang.

Kini menjadi pertanyaan, bagaimana program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua untuk prioritas kelima yakni ketahanan pangan mendata ulang lingkungan lahan pertanian dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan ketahanan pangan. Sudah seharusnya menteri Pertanian Indonesia KIB jilid dua Ir. H. Suswono, MMA, yang lulusan S-2 Agribisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) ini "menggolkan" UU LPPA itu dengan terlebih dahulu melakukan pemetaan, pendataan lingkungan lahan pertanian pangan yang sesungguhnya kini ada di Indonesia.

Jawab Krisis Pangan

Indonesia dalam kondisi krisis pangan, hal ini berdasarkan fakta yang kuat, Indonesia terancam swasembada beras, swasembada pangan. Tulisan ini tidak mencari siapa yang salah, apa lagi menuding berbagai pihak, tetapi fakta tentang swasembada pangan Indonesia sangat kritis dan perlu ada antisipasi yang jelas dan tegas. Program seratus hari KIB jilid dua untuk mendata ulang lahan pertanian adalah langkah awal yang tepat agar kondisi krisis pangan tidak terjadi.

Pendataan ulang lingkungan lahan persawahan berkaitan erat dengan ketersediaan pangan yang sesungguhnya dengan turunannya seperti status petani, kepemilikan lahan lingkungan pertanian oleh petani, tingkat kesejahteraan petani yang semuanya bermuara kepada stabilitas keamanan dan kenyamanan negara.

Mantan Menteri Pertanian Indonesia, Anton Apriyantono pada Seminar dan lokakarya yang membahas tentang pangan beberapa waktu yang lalu di Medan memperhitungkan produksi pangan minimal harus memiliki 15 juta hektar lahan pertanian pangan baru untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia pada tahun 2030 yang diprediksikan berjumlah 280 juta jiwa.

Artinya, apa yang dikatakan mantan Menteri Pertanian Indonesia, Anton Apriyantono itu, kondisi lahan lingkungan pertanian pangan saat ini yang dimiliki Indonesia hanya 7,6 juta hektar sawah ditambah ratusan ribu hektar lahan kering lain masih sangat mengkhawatirkan untuk menyediakan pangan. Belum lagi pertumbuhan penduduk Indonesia hampir seperempat miliar jiwa. Pertumbuhan penduduk Indonesia, tahun 1900 sekitar 40 juta jiwa, lantas 120 juta jiwa (1970), 147 juta jiwa (1980), 179 juta jiwa (1990), 206 juta jiwa (2000) dan mencapai 225 juta jiwa (2007) ini berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS 2009).

Langkah awal untuk mendata ulang lahan lingkungan pertanian pangan di Indonesia sangat tepat guna menggali potensi besar dalam mewujudkan swasembada beras, swasembada pangan.

Hal ini cukup beralasan, karena berdasarkan data World Bank (2003), lahan kering di Indonesia ada 24 juta ha, lahan ini juga potensial untuk program diversifikasi pangan dan diversifikasi produksi pertanian dengan tanaman kehutanan, peternakan, dan perkebunan.

Ingat! Swasembada pangan bukan saja tergantung kepada (padi) beras, tetapi bahan pangan non-padi dapat diproduksi dari lahan kering non-sawah. Data yang ada kini tentang luas lahan lingkungan pangan non-sawah juga perlu didata ulang dengan baik, benar dan tepat dari data yang ada kini yakni untuk luas panen jagung 4,9 juta hektar, kedelai 701.000 hektar, ubi kayu 12,9 juta hektar, kacang tanah 629.000 hektar dan ubi jalar 181.000 hektar.

Data yang benar, tepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk meletakkan pondasi pembangunan lahan lingkungan pertanian pangan dan ini bukan kerja ringan. Tidak bisa dilakukan oleh pemerintah pusat saja, tetapi secara total dan menyeluruh. Pemerintah pusat dan daerah harus saling bersinergi serta membangun partnership untuk mendapatkan data yang baik, benar dan akurat serta dapat dipertanggungjawabkan.

Hal ini penting karena dari data yang baik, benar dan akurat program pembangunan pertanian pangan jangka menengah dan panjang dapat terwujud, maka program seratus hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid dua yang kini sudah lebih satu tahun lebih perlu ditagih. Apakah program mendata ulang lahan lingkungan pertanian pangan sudah terlaksana dengan baik. Bila sudah maka lingkungan lahan persawahan di Indonesia dapat menjadi abadi seiring dengan nanti diundangkannya Rancangan Undang-Undang Lahan Pertanian Pangan Abadi (LPPA).

Harus dan tidak ada pilihan lain selain menjadikan lingkungan lahan persawahan di Indonesia menjadi abadi karena dengan abadinya lingkungan lahan persawahan maka ancaman kekurangan pangan, ancaman kelaparan buat rakyat Indonesia dapat dihindari.

(Penulis adalah sarjana Pertanian, mantan guru Sekolah Pembangunan Pertanian (SPP) Putjut Baren Medan, pemerhati masalah lingkungan hidup pertanian).