Tampilkan postingan dengan label bisnis kompos. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label bisnis kompos. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Mei 2011

Manfaatkan Kiambang Danau Jadi Pupuk Kompos Organik











Tebingtinggi
. Pesona Danau Laut Tador yang berlokasi di Kecamatan Sei Suka, Kabupaten Batubara semakin hari kian redup. Ribuan hektare kawasan air danau yang dulunya pernah menjadi salah satu objek wisata daerah itu saat ini nyaris ditutupi tumbuhan kiambang (savanna maulisca) sehingga bentuknya bagai lapangan rumput hijau yang luas.

Hanya Tuhan yang tahu, apakah jutaan tumbuhan kiambang yang menutupi hamparan air Danau Laut Tador itu sebagai “musibah” karena telah kehilangan “pesona” sebagai objek wisata atau malah sebaliknya, menjadi “berkah” bagi warga dan pemerintah daerah setempat. Namun yang jelas tumbuhan air itu kini dimanfaatkan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Batubara untuk diolah sebagai bahan baku pupuk kompos organik.

Para pekerja pengolah tumbuhan kiambang menjadi pupuk kompos organik saat ditemui di lokasi pengolahan, Kamis (19/5) terlihat sibuk dengan bagian pekerjaannya masing-masing. Ada yang terlihat mengangkut kiambang dari danau ke darat, ada yang sibuk merajang kiambang dengan mesin giling. Ada juga yang sedang sibuk menjemur pupuk kompos organik yang telah diolah dan siap untuk dipasarkan.

“Sebelum dijadikan pupuk kompos organik, tumbuhan kiambangnya harus diolah dulu melalui beberapa proses dan tahapan, baru bisa dijadikan pupuk organik,” kata Hendi, salah seorang pekerja yang mengaku ditugasi Dinas Pertanian Kabupaten Batubara untuk mengolah tumbuhan kiambang menjadi pupuk kompos organik.

Dijelaskannya, untuk memproses tumbuhan kiambang menjadi pupuk memerlukan waktu sekitar dua minggu dan melalui sejumlah tahapan. “Setelah kiambang diangkat dari danau lalu dirajang dengan mesin penggiling dan dicampur dengan kotoran sapi, selanjutnya dijemur untuk proses fermentasi,” paparnya.

Menurut Hendi, dalam seminggu mereka hanya sanggup mengolah sekitar dua ton pupuk kompos organik sebab pengolahannya masih dengan cara manual dan tergantung cuaca. “Produksi pupuk kompos organik ini tergantung cuaca, kalau cuaca bagus (cerah) dalam seminggu bisa menghasilkan sekitar dua ton, sedangkan pemasarannya dijual kepada pihak perkebunan (Perkebunan NPK Bahilang dan Paya Pinang) dan kepada kelompok-kelompok tani juga ke masyarakat,” jelasnya.

Hendi yang mengaku hanya pekerja kasar (buruh lepas– red) ini mengungkapkan bahwa pupuk kompos organik yang siap pasar itu dijual ke konsumen seharga Rp 1.000 per kg yang dikemas ke dalam goni (karung) seberat 50 kilogram.

“Pupuk kompos organik yang sudah siap untuk digunakan ini dimasukkan ke dalam goni 50 kilogram dan dijual Rp 1.000 per kg sehingga petani bisa membeli,” ujar Hendi.(MB)

Rabu, 13 April 2011

Peluang Usaha Pertanian : Bisnis Pengolahan Kompos dari Sampah Kota




Irene terbiasa mengumpulkan barang bekas

Kesuksesan Irene Holle dalam bisnis pengolahan sampah menjadi pupuk kompos berawal dari kebiasaannya yang suka mengumpulkan barang-barang bekas di rumah sejak kecil. Kini, Irene mengumpulkan 20 meterkubik sampah per hari dari klien-klien yang berasal dari hampir seluruh wilayah Jakarta Selatan.

Irene Holle menjalani bisnis pengolahan sampah dan barang bekas dengan suka cita. Keluarga pun mendukungnya melakoni usaha ini. Lagi pula, sejak kecil ia sudah terbiasa mengumpulkan barang-barang bekas mulai dari koran hingga kardus untuk kemudian dijual ke tukang loak. "Orang tua saya sudah membiasakan sejak kecil untuk bisa mengolah barang-barang tak terpakai," ujarnya.

Kebiasaan ini sangat berguna ketika ia memutuskan untuk berkonsentrasi menggeluti bisnis pengolahan sampah menjadi pupuk kompos dan pakan ternak. Irene berprinsip bahwa pekerjaan apa pun asalkan positif harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh rasa cinta. Karena ketika melakukan pekerjaan dengan cinta hasilnya akan selalu optimal.

Perempuan kelahiran Jakarta 29 April 1974 ini mengambil kuliah di Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti, jurusan Transportasi Udara. Setelah lulus tahun 1997, ia sempat bekerja di kafe dan hotel hingga tahun 2003. Jabatan terakhirnya adalah manajer operasional.

Di masa akhir bekerja di hotel, Irene sudah mulai mencari informasi soal sampah. Bekerja di hotel membuatnya mengetahui berapa banyak sampah yang menumpuk tiap harinya. Tentu akan sangat berarti jika sampah itu bisa diolah dan menjadi barang berguna.

Setelah mendapatkan informasi yang cukup, ia pun memulai langkah mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bisnis hijau dengan nama PT Recycle Indonesia Utama Mandiri (Recyclindo). Dengan modal Rp 200 juta Irene membeli truk bekas pengangkut sampah beserta perlengkapan lainnya.

Ia pun sukses mengembangkan bisnis hingga mendapat klien yang memasok sampah hampir di seluruh Jakarta Selatan, mulai dari Pondok Indah, Kemang, hingga Radio Dalam.

Saat ini Irene memiliki tiga truk yang beroperasi mengangkut sampah dari klien. PT Recyclindo menyediakan tempat pengangkutan yang sudah dibedakan antara sampah organik dan non-organik. Ada juga klien yang memang sudah memisahkan antara keduanya. "Salah satu masalah di Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat pentingnya tidak mencampur sampah organik dan nonorganik," ujar Irene.

Sampah-sampah diangkut ke tempat operasional di Parung untuk kemudian disortir antara sampah organik dan non organik.

Setiap hari, Irene mendapatkan sekitar 20 meterkubik sampah dari para klien. Bahkan pada musim liburan, Irene bisa mengangkut sampah dua kali lebih banyak dari hari biasa.

Dari 20 meterkubik sampah yang terkumpul per hari, hanya sekitar 60% di antaranya berupa limbah organik yang bisa diolah lagi. Dari persentase itu, sampah yang bisa diolah menjadi pupuk kompos 60% dan 40% lagi menjadi makanan ternak seperti lele. Para pembeli pupuk kompos dan pakan ternak berasal dari pengelola apartemen, hotel, penthouse, restoran kecil, sekolah, dan perkantoran.

Irene dengan profesional juga menerapkan bonus pada karyawannya yang bekerja lembur. "Profesionalitas dalam pengelolaan bisnis ini adalah kunci keberhasilan," ujarnya.

Irene juga menerapkan sanksi yang tegas bagi karyawan yang melanggar aturan. Ia menceritakan bahwa suatu waktu karyawannya tidak menyetorkan sampah secara keseluruhan tapi menjual sebagian ke pihak lain. Namun, karena sudah ada sanksi yang jelas hal itu tidak pernah terulang.

Irene menyadari bahwa pekerjaan mengurusi sampah masih menjadi sesuatu yang dianggap rendah oleh banyak pihak. Karena itu, ia selalu memberikan motivasi ekstra dan perlakuan yang adil pada para karyawan.

Tidak hanya dari karyawan yang mengalami itu, para kliennya juga masih banyak yang menganggap demikian. Meski pun sudah memberikan harga kompos cukup murah, yakni Rp 1.500 per kg, masih banyak pembeli yang menganggap angka itu terlalu mahal. "Pandangan mereka yang namanya bekas sampah itu tetap sesuatu yang kotor dan harus semurah mungkin," ujarnya.

Senin, 11 April 2011

Integritas Ternak dan Pertanian



Pupuk kompos yang diproduksi Hasyim hingga saat ini masih tergolong kecil, berkisar tiga ton per bulan dengan merek Reksa. Sementara pemasarannya juga masih terbatas, selain lokal juga sebagian dipasarkan ke Aceh dengan harga jual Rp 1.000 per kg.

Produksi pupuk kompos itu masih bersumber dari kotoran padat sapi saja, sementara Hasyim juga sudah memproduksi pupuk cair organik dari ternak, baik sapi maupun domba. Yang tiap bulannya dapat memproduksi pupuk cair sebanyak 50 – 70 liter atau tergantung permintaan. Dan, tiap liternya pupuk cair organik itu dijualnya seharga Rp 10.000-an.

Namun, menurut Hasyim, permintaan akan urine sapi dan domba dalam bentuk segar artinya belum diolah sama sekali, cukup banyak. “Bisa mencapai ribuan liter untuk tiap kali pengambilan. Biasanya, urine segar tersebut dibeli oleh petani dari Kabupaten Karo seharga Rp 500 per liter,” katanya.

Dalam sehari domba yang dimiliki Hasyim sebanyak 48 ekor tersebut dapat menghasilkan urine sebanyak 10 – 15 liter. Inilah yang dikumpulkan Hasyim untuk selanjutnya diolah untuk pupuk cair organik dan sebagian lagi dijual dalam segar.

Mengenai proses pengolahan pupuk cair organik, menurut Hasyim tidak terlalu sulit bahkan bahan baku yang digunakan sangat mudah ditemukan di lingkungan sekitar. Sebut saja, bawang putih dan daun sirsak. Kedua bahan tersebut dihaluskan kemudian disaring dan dicampur dengan urine.

Namun, sebelumnya urine ternak tersebut telah dicampur dengan Kom A yang fungsinya sama dengan EM4. Kemudian dilakukan fermentasi sekitar satu minggu. Untuk kemudian, pupuk siap digunakan. “Jadi, produk ini tidak hanya berfungsi sebagai pupuk saja tapi juga sebagai pestisida nabati,” jelasnya.

Menanggapi pengolahan dan penggunaan pupuk kompos dari kotoran ternak yang dilakukan Hasyim, Kepala Dinas Pertanian Sumut, M Roem melalui Kabid Pengelolaan Lahan, Air (PLA) dan Sarana Adam Brayun Nasution, sangat mengapresiasinya. Bahkan menurut Adam, petani lain harus bisa memberdayakan potensi yang ada untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan.

Apalagi pemerintah pusat telah mencanangkan pertanian Go Organik. Sehingga untuk menunjang program tersebut banyak bantuan yang telah diberikan pemerintah kepada petani, seperti pengadaan alat pengolahan pupuk organik (APPO) dan unit pengolahan pupuk organik (UPPO). Khusus untuk UPPO, di dalamnya ada pengadaan ternak sapi sebanyak 33 ekor yang diberikan kepada kelompok tani.

Dengan harapan, petani dapat memproduksi sendiri pupuk kompos dari kotoran sapi tersebut. “Yang jelas, pupuk kompos yang mereka produksi untuk dipakai sendiri pada tanaman padinya atau komoditas lainnya dan sisanya kalau memang ada dan memungkinkan untuk dipasarkan mengapa tidak. Dengan begitu, ada peningkatan pendapatan petani,” jelas Adam kepada MedanBisnis.

Terciptanya sinergi atau integritas antara peternakan dan pertanian memang sangat diharapkan, seperti yang dilakukan Hasyim dan petani lainnya. “Hasil pertaniannya bagus dalam hal ini ada peningkatan produksi dan penurunan biaya produksi dari pengurangan pemakaian pupuk anorganik yang akhirnya pendapatan petani meningkat. Bukan itu saja, petani juga bisa menjual pupuk kompos yang diproduksinya sendiri serta menjadi peternak,” ucapnya.

Adam juga sangat menyayangkan minimnya kemampuan dan kemauan petani dalam menggunakan pupuk organik. Petani masih tetap menginginkan produk yang instan dalam bercocok tanam. Padahal, sebagaimana diketahui harga pupuk anorganik di luar dari subsidi sangat mahal. Dan, yang lebih parah lagi kata Adam, kondisi tanah pertanian secara umum sudah mengalami degradasi.

Tanah sudah gersang dan tidak gembur lagi. Sehingga untuk merangsang kesuburan tanah, petani harus mengunakan pupuk dalam jumlah yang lebih. “Kondisi ini bukan membantu tingkat kesuburan tanah melainkan sebaliknya makin memperparah. Biaya produksi juga makin tinggi.

Kecuali, petani menggunakan pupuk organik, maka lambat laun tingkat kesuburan tanah makin baik, produksi pertanian makin tinggi dan yang paling penting lagi pendapatan petani makin bertambah,” terangnya.

Begitupun, pihaknya akan tetap menyosialisasikan penggunaan pupuk organik tersebut sehingga petani benar-benar mengerti dan memahami pentingnya penggunaan pupuk organik dalam pertanian serta bagi kesehatan manusia.

Hasyim yang hanya memiliki ternak sapi satu ekor saja namun memiliki domba sebanyak 48 ekor itu tidak mau menyerah begitu saja. Tiap hari ia mengangkut sekitar 100-an kilogram kotoran sapi dari rumah-rumah tetangga yang memiliki ternak sapi. Kotoran sapi dalam bentuk padat itu kemudian dimasukkan ke dalam kolam khusus yang memang sudah dirancang sedemikian rupa.
Ada empat kolam yang disediakan dan masing-masing kolam memiliki ukuran dan kedalaman yang berbeda tergantung kegunaannya. Kolam pertama yang sebagai penampungan kotoran sapi dibuat berukuran 2,5 x 4 meter persegi, kolam kedua 3 x 1,5 meter persegi, kolam ketiga berukuran 60 x 60 cm2 dan kolam terakhir berukuran 1,5 x 1 m2.

“Jadi, kotoran-kotoran sapi yang saya angkut sebanyak 100 kg itu saya masukkan ke dalam kolam pertama hingga penuh. Untuk selanjutnya akan terjadi pemisahan kotoran dan air yang memang mengandung gas. Cairan yang mengandung gas ini akan mengalir ke dalam bak satunya.

Begitulah selanjutnya, yang akhirnya gas yang dikeluarkan akan dialirkan melalui pipa hingga ke dalam rumah atau tempat yang akan kita gunakan untuk pemanfaatannya,” papar Hasyim.

Dari 100 kg kotoran sapi yang diangkut itu, gas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk memasak selama tujuh jam non stop. “Itu kalau masakan kita banyak. Tapi kalau untuk skala rumah tangga dua atau tiga jam saja sudah cukup dalam sehari. Dan, sisanya bisa digunakan untuk keperluan memasak besok harinya atau kapan saja kita perlu,” ucapnya.

Sedangkan untuk pengadaan sarana tersebut investasi yang dikeluarkan menurut Ketua Kelompok Tani Bangun Tani ini berkisar Rp 14 jutaan. Namun, untungnya sarana yang digunakan Hasyim untuk menampung gas kotoran sapi tersebut merupakan bantuan dari Dinas Peternakan Sumut tahun 2008 lalu.

Begitupun, Hasyim mengaku alangkah indahnya bila sarana tersebut bisa juga dimanfaatkan peternak lainnya. Karena menurut Hasyim dengan investasi yang lumayan besar, gas yang dialirkan bisa dibagi ke warga atau tetangga lainnya. Hanya saja, pengaturannya harus dirancang sedemikian rupa antara kolam penampung kotoran dengan kandang ternak. “Antara kandang ternak dengan bak penampungan harus berdekatan, sehingga system kerjanya bisa lebih efektif,” ujarnya.

Sayangnya, Hasyim sendiri tidak memiliki ternak sapi yang memadai. Karena idealnya, untuk menghasilkan sekitar 100 kg kotoran sapi paling tidak harus ada sapi dewasa sekitar lima ekor. Sementara Hasyim sendiri hanya memiliki satu ekor sapi. Dan, untuk menghasilkan gas ia harus mengangkut kotoran sapi milik tetangga.

Karena itu, untuk melengkapi biogas yang dihasilkannya, ia berharap Dinas Pertanian baik Kabupaten Langkat maupun Propinsi Sumut dapat memberikan bantuan UPPO atau unit pengolahan pupuk organik yang di dalamnya ada pengadaan ternak sapi.

Memang, kata dia, dirinya pernah mendapat bantuan dari Dinas Pertanian berupa pengadaan rumah kompos satu unit, hand tractor dan alat mesin pertanian lainnya. “Tahun 2009-2010, saya memperoleh bantuan tersebut. Tapi, kalau masih dibolehkan, saya berharap ada bantuan UPPO diberikan guna melengkapi biogas yang saya hasilkan. Itu juga kalau ada dan boleh,” katanya tertawa namun penuh harap.

Hasyim lebih jauh mengatakan, ampas atau sisa kotoran sapi yang telah terbebas dari kandungan gas tadi dapat langsung digunakan sebagai pupuk kompos. “Jadi, kita tidak perlu repot lagi mengolahnya seperti biasa. Karena dengan sendirinya, kotoran yang sudah habis kandungan gasnya bisa langsung dijadikan pupuk,” ujarnya.

Minggu, 27 Maret 2011

Beda Tanamannya, Beda Asal Komposnya


Dalam pengolahan kompos, H Rusmin mengambil bahan baku berupa kotoran ternak baik sapi, domba, ayam maupun itik dari pemilik ternak yang ada di daerahnya. Tentu saja dengan cara membeli. Untuk kotoran sapi misalnya, harga tiap truk atau sekitar 6 ton berkisar Rp 400 ribu, dalam keadaan basah atau segar.
Sedangkan dalam pembuatan kompos yang dilakukan Rusmin bersama anggota kelompok taninya, tidaklah rumit. Menurutnya, bahan-bahan berupa kotoran ternak dipisahkan masing-masing jenisnya. Kemudian kotoran ternak sebanyak satu ton dicampur dengan serbuk kayu, abu sekam, jerami, dedaunan atau rumput dan biostater berupa stardec.

Untuk bahan campuran sebanyak satu ton, stardec yang digunakan sebanyak 3 kilogram yang ditaburkan ke dalam campuran tadi. Kemudian diperam selama 21 hari untuk selanjutnya dianginkan antara 3 – 4 hari. Kemudian digiling dengan alat mesin pencacah kompos. Selanjutnya, kompos siap dipasarkan atau digunakan. “Biasanya, kompos yang dihasilkan dari bahan sebanyak satu ton menjadi 600 – 700 kg,” jelas Rusmin.

Dalam pemasaran, kompos yang mereka produksi dijual seharga Rp 1.000 per kg dengan catatan diambil di tempat. Itu berarti, dengan produksi sebanyak 700 kg, omset yang diperoleh Rusmin bersama anggota kelompok taninya sebesar Rp 700.000. Sementara dalam sebulan, kompos yang mereka produksi berkisar antara 600 – 700 ton. Dengan begitu, omset yang terkumpul berkisar antara Rp 600 juta hingga 700 juta per bulan.

Sementara biaya produksi yang mereka keluarkan dalam memproduksi satu ton berkisar Rp 200 ribu dan itu belum termasuk upah kerja. Dalam sehari, upah kerja yang dibayarkan Rp 40.000 per hari per orang. Sedangkan pekerja yang dipakai sebanyak enam orang dalam sehari. “Memang, pekerja yang kita pakai adalah anggota kelompok tani sendiri tapi tetap kita bayar,” jelas Rusmin.

Rusmin yang telah meraih berbagai penghargaan dari pemerintah baik kabupaten, propinsi maupun pusat termasuk Kementerian Pertanian ini mengaku keuntungan yang diperoleh lumayan banyak. Dan, keuntungan itu dibagikan ke anggota kelompok taninya. “Jadi, penghasilan yang diperoleh dari pengolahan kompos ini sangat membantu petani dan warga sekitarnya dalam penambahan pendapatan,” akunya.

Rusmin juga mengatakan tiap pupuk kompos organik yang dihasilkan dari kotoran ternak, tidak semua bisa dugunakan untuk tanaman. Kompos yang dihasilkan dari kotoran sapi misalnya, sangat baik digunakan untuk tanaman padi, cabai, kakao dan kelapa sawit. “Untuk tanaman cabai, kompos yang digunakan dari kambing juga baik,” jelasnya.

Sedangkan dari kotoran ayam, untuk tanaman cabai menurut Rusmin tidak terlalu baik karena dapat menyebabkan daun tanaman cabai menjadi keriting. Karena kandungan N atau nitrogen dari kotoran ayam sangat tinggi. Tetapi untuk sayuran lainnya, kompos dari kotoran ayam sangat baik. “Jadi, kompos yang dihasilkan dari kotoran ternak tidak semua dapat digunakan untuk tanaman. Beda kotoran beda tanamannya,” kata Rusmin.

Jumiran adalah salah seorang petani di Desa Tanjung Ibus, Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat yang mendapat pembinaan dari H Rusmin tentang pembuatan kompos organik. Kegiatan itu dimulainya sejak tahun 2008. Selain memanfaatkan kotoran ternak sapi miliknya ia juga memanfaatkan kotoran ternak sapi milik warga sekitarnya yang memang tidak dimanfaatkan.
Dari kemampuannya dalam mengolah kotoran tersebut menjadi pupuk kompos, Jumiran pun mendapat bantuan dari Dinas Pertanian Langkat berupa satu unit alat pengolah pupuk organik (APPO). Tidak hanya itu, tahun 2010 Jumiran yang juga Ketua Kelompok Tani Sri Sari Wangi yang berjumlahkan 28 orang itu kembali mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian Sumut berupa satu unit APPO multi guna.

Kemudian di tahun yang sama, melalui APBN-P, Jumiran mendapat bantuan lagi. Kali ini, bantuan yang diterima pun tidak tanggung-tanggung, yakni satu unit pengolah pupuk organik (UPPO), yang terdiri dari alat angkut tiga roda sebanyak satu unit, mesin APPO satu unit, rumah kompos ukuran 8 x 10 meter persegi, sapi dara sebanyak 35 ekor.

Tapi, oleh Jumiran dan anggota kelompok taninya lewat swadaya mereka sendiri menukar sapi dara bantuan tadi ke sapi induk. Bahkan saat berkunjung ke lokasi pengolahan komposnya, sebagian sapi-sapi induk tadi sudah ada yang melahirkan. “Ada enam ekor anak sapi yang sudah lahir, sehingga sekarang jumlah sapi bertambah menjadi 41 ekor,” jelasnya.

Mengenai produksi kompos yang mereka hasilkan, Jumiran mengatakan, hingga sekarang mereka bisa memproduksi sekitar 25 ton per hari. Namun, dengan adanya bantuan tersebut mereka menargetkan produksi ditingkatkan menjadi 30 ton per bulan. Pupuk kompos tersebut selain digunakan anggota kelompok juga dijual. “Untuk anggota kelompok, kompos dijual seharga Rp 500 per kg sedangkan di luar anggota Rp 1.000 per kg,” jelasnya.

Setelah dikurangi biaya produksi, 10% dari keuntungan yang diperoleh dibagi ke anggota kelompok dengan memasukkan dana tersebut ke dalam kas kelompok tani mereka. “Rata-rata kenutungan yang kami peroleh dari penjualan kompos organik ini berkisar Rp 3 jutaan,” kata Jumiran sembari menambahkan bantuan yang mereka terima sangat bermanfaat dalam meningkatkan pendapatan petani.