Senin, 22 Agustus 2011

Nuraeni, Perempuan Pejuang di Tengah Nelayan Miskin

Tidak kuasa menyaksikan kemiskinan, membuat hati Nuraeni terketuk membantu warga. Melalui Yayasan Fatimah Az-Zahrah, sarjana ilmu politik itu mengajarkan istri para nelayan membuat produk makanan laut dari ikan hasil tangkapan suami mereka. Hingga kini, omzet istri-istri nelayan itu bisa mencapai Rp 80 juta per bulan.

Prihatin menyaksikan kondisi sosial masyarakat terkadang bisa menyentuh orang untuk berbuat kebajikan. Seperti dialami Nuraeni, perempuan asal Makassar, ini prihatin melihat kehidupan sosial nelayan yang menetap di pesisir Pantai Makassar tak jauh dari rumahnya.

Perempuan yang lahir 6 Agustus, 42 tahun lalu itu mengaku tidak bisa berdiam diri melihat kemiskinan melanda para nelayan itu. Lebih sedih lagi, ketika ia menyaksikan kaum perempuan isteri nelayan yang hidupnya terlilit utang.

Melihat kondisi itu, Nuraeni pun nekat menyingsingkan lengan baju untuk membantu warga. Meskipun ia menyandang gelar sarjana politik dari Universitas Hasanuddin, tidak membuat Nuraeni malu bergaul dengan nelayan miskin. "Ilmu saya justru terpakai untuk membantu mereka," kata Nuraeni.

Mulai 2007, Nuraeni mendirikan Yayasan Fatimah Az-Zahrah, tepatnya di kelurahan Pati Ngaloang, Kecamatan Ujung Tanah, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Lewat yayasan itulah, Nuraeni mengajar warga memproduksi makanan laut seperti: abon ikan tuna, bandeng tanpa tulang, bandeng presto, kerupuk jintang hingga kue-kue tradisional. "Yang saya ajari adalah istri-istri nelayan," terang Nuraeni.

Hingga kini, ada sekitar 20 istri nelayan yang berkreasi di bawah binaan yayasan. Produk mereka sudah merambah hingga ke Timika, Palu, bahkan sampai Jakarta. "Sebulan warga mampu meraih omzet hingga Rp 80 juta," kata Nuraeni yang menetap tak jauh dari kampung nelayan itu.

Dengan omzet puluhan juta itulah, sebagian keluarga nelayan berangsur bebas dari lilitan utang para punggawa atau akrab disebut dengan tengkulak. Para istri nelayan itu juga bisa membantu suami mereka mencari nafkah untuk keluarga.

Sebelum ada yayasan, banyak keluarga nelayan terlilit utang kepada tengkulak. Mereka terpaksa meminjam uang kepada tengkulak dengan bunga mencekik leher karena tak ada pilihan lain. Itulah yang membuat Nuraeni kesulitan berhadapan dengan mereka. Agar tidak berhadapan langsung dengan para tengkulak itu, Nuraeni hanya mau memberdayakan istri nelayan saja.

Tidak mudah bagi Nuraeni mengandeng istri nelayan itu. Ia mesti melakukan penyuluhan terlebih dahulu. Hingga kemudian, satu per satu istri nelayan itu sadar dan ingin terlepas dari jeratan kemiskinan.

Setelah itu, Nuraeni mengajak mereka mengolah hasil melaut suami merek. "Saya ajarkan mengolah hasil tangkapan menjadi barang yang lebih bernilai," ujar Nuraeni.

Selain mengembangkan ekonomi warga, Nuraeni juga mengajak istri nelayan untuk peduli dengan lingkungan mereka. "Warga juga menyisihkan dana untuk membiayai warga yang sudah lanjut usia," perinci Nuraeni yang juga menjabat sebagai Ketua RT itu.

Dalam hal produksi, mereka tidak mengalami kesulitan bahan baku. Sebab, hampir 60% warga di Kelurahan Pati Ngaloang itu berprofesi sebagai nelayan. Setiap tangkapan laut, bisa mereka olah kemudian dipasarkan lewat bantuan yayasan.

Saat ini, setiap bulan istri para nelayan itu bisa memproduksi 800 kilogram (kg) abon ikan tuna dan 1.600 ikan bandeng tanpa tulang. Sekarang tinggal menghitung berapa omzet istri para nelayan itu kalau harga abon ikan tuna Rp 100.000 per kg, sedangkan ikan bandeng tanpa tulang dijual Rp 15.000 per ekor.

Seiring dengan larisnya produk olahan ikan, para istri nelayan itu pun berinisiatif membuat koperasi, tempat mereka bisa menyimpan dan meminjam uang.

Setelah koperasi berdiri, warga mulai meninggalkan tengkulak dan beralih menyimpan dan meminjam uang lewat koperasi. "Sekarang saja ada 200 warga lagi yang ingin mendaftar jadi anggota baru," tutur Nuraeni.

Agar usaha warga kian berkembang, Nuraeni mengajak mereka ikut pameran, baik pameran makanan, usaha kecil hingga usaha kreatif. "Aturannya ikut pameran secara bergiliran," imbuh Nuraeni.

Nuraeni bilang, saat ini para istri nelayan itu tidak lagi diam di rumah menikmati melihat kemiskinan. Kini mereka sudah giat dan dengan gagah berani melawan kemiskinan.

Keprihatinan dalam hidup memang sudah menjadi bagian dalam diri Nuraeni. Sebab, ia sudah hidup sendiri sejak tujuh tahun lalu setelah suaminya meninggal dunia. Sejak itu, Nuraeni berjuang sendiri menafkahi tiga putranya termasuk membimbing warga supaya mandiri.

Meskipun sarjana, Nuraeni tidak berkecil hati berdampingan nelayan. Ia bahkan bangga menyimpan ijazahnya di lemari dan menerapkan ilmunya langsung ke masyarakat. "Pemberdayaan warga itu juga bagian dari ilmu politik," katanya.

Selain 20 orang istri nelayan yang aktif bersama yayasan, Nuraeni juga mengajak 200 warga dalam hal distribusi makanan laut hasil produksi istri nelayan itu.

Dalam usahanya untuk kemandirian ekonomi warga itu, Nuraeni sempat risau dengan ulah tengkulak yang tidak senang dengan kehadiran dia. Beruntung, tengkulak tidak memiliki alasan kuat melawan Nuraeni. "Hidup itu risiko, kalau tidak dilalui kapan lagi warga bisa mengubah hidup mereka?" tegas Nuraeni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar