Sabtu, 23 Juli 2011

BUDIDAYA ASHITABA : Tanaman obat dari Jepang penangkal kanker











Ashitaba tanaman obat asal Jepang untuk penangkal kanker


Tanaman obat ashitaba (Angelica keiskei) sangat populer di negara asalnya, Jepang. Tanaman berdaun mirip seledri ini dipercaya memiliki kandungan antiaging, antiinflamasi, dan pencegah kanker. Getah pohon ini bermanfaat untuk terapi penyakit kanker.

Walaupun memiliki manfaat berjibun, di Indonesia tanaman ashitaba masih belum sepopuler di Jepang. Karena itulah sebagian besar produksi tanaman ini diekspor ke luar negeri.

Salah satu petani yang membudidayakan tanaman ashitaba adalah Nizar Zulmi di Sembalun, Lombok Timur. Dengan luas lahan mencapai 1 hektare (Ha), Nizar dalam sebulan mengaku mampu menghasilkan 100 kilogram (kg) daun ashitaba kering.

Selain dijual dalam bentuk daun kering, ashitaba juga dijual dalam bentuk bubuk. "Biasanya yang meminta bentuk bubuk adalah pasar luar negeri. Dengan dimensi lebih kecil, biaya angkut lebih murah," kata Nizar.

Daun ashitaba kering dijual dengan harga Rp 150.000 per kg, sedangkan dalam bentuk bubuk harganya Rp 160.000 per kg. Daun kering seberat 1 kg dihasilkan dari daun basah 15 kg.

Tak hanya daun, getah tanaman ashitaba juga memiliki nilai ekonomis tinggi. "Harganya mencapai Rp 600.000 per liter," katanya. dalam sebulan, Nizar mampu mengumpulkan empat liter getah dengan omzet mencapai Rp 17,4 juta per bulan.

Daun kering, bubuk, dan getah tanaman ashitaba dijual Nizar ke pengepul di Bali. Oleh pengepul di Bali, produk tanaman obat itu selanjutnya diekspor ke Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia. "Hampir semua produk ashitaba di Bali berasal dari Lombok," tandas Nizar.

Sayangnya, pasca gempa dan tsunami yang melanda Jepang, membuat produknya yang berbau Jepang ikut terimbas. Walhasil, ekspor langsung ke Malaysia dihentikan karena kekhawatiran terkena imbas radiasi nuklir.

Selain Nizar, Ruslan Abdul Gani juga membudidayakan ashitaba. Lelaki yang juga asal Lombok Timur ini memiliki lahan mencapai 1 ha.

Dari lahan itu, Ruslan mampu mengumpulkan getah sebanyak 5 liter. Dari getah tersebut, dia mendapat penghasilan Rp 3,5 juta per bulan, sebab harga jualnya mencapai Rp 700.000. "Itu sudah termasuk ongkos kirim," kata Ruslan yang telah menjadi petani ashitaba sejak sembilan tahun lalu.

Selain pendapatan dari getah tanaman, Ruslan juga mampu memproduksi 50 kg daun ashitaba kering dalam sebulan. Daun ashitaba kering dijual seharga
Rp 300.000 per kg termasuk ongkos kirim.

Dengan harga jual tersebut, dia mendapat omzet per bulan mencapai Rp 15 juta. Produk-produk ashitaba lebih banyak dijual ke Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). "Saya jual ke pengepul di Mataram. Oleh mereka kemudian akan dijual lagi" ujarnya.

Karena belum banyak dikenal masyarakat Indonesia, sampai saat ini baik Nizar maupun Ruslan masih mengandalkan penjualan melalui pengepul. Sama seperti pengepul di Bali, pengepul di Mataram juga mengekspor daun dan getah ashitaba ini. "Penjualan asithaba memang masih tergantung pada pasar ekspor" ujar Nizar.

Ashitaba sudah bisa panen ketika pohon berumur satu tahun

Perawatan pohon ashitaba tidak boleh menggunakan zat kimia. Untuk menanggulangi serangan hama, pembudi daya pun menggunakan cara manual, yakni dengan cara membuangnya. Satu hal yang menguntungkan, mereka bisa memanen ashitaba mulai umur satu tahun.

Ashitaba berarti daun hari esok. Tanaman yang memiliki nama latin Angelica keiskei ini tumbuh baik di ketinggian 200 kaki dari permukaan air laut. Seorang pembudi daya ashitaba di Lombok Timur, Ruslan Abdul Gani mengaku penanaman ashitaba tidak memerlukan perlakuan khusus.

Menurut pria yang akrab disapa Ulin ini, penanam ashitaba hanya cukup memberinya air dan pupuk supaya tanaman tumbuh besar. "Pupuk yang diberikan adalah pupuk organik, seperti pupuk kandang, sehingga sangat murah," terangnya.

Ia juga mengingatkan, dalam pemeliharaan selanjutnya, ashitaba juga tak membutuhkan pestisida. Maklum, negara yang menjadi tujuan ekspor tanaman ini adalah Jepang dan Korea Selatan. "Mereka menolak tanaman yang menggunakan pestisida," jelas Nizar, seorang pembudi daya ashitaba lainnya di Lombok Timur.

Pria yang kini menanam sekitar 1.000 pohon ashitaba di lahan seluas hampir satu hektare ini hanya mengandalkan pupuk organik berbahan tumbuhan, seperti jerami dan kayu. Berdasarkan pengalamannya, pupuk kompos kurang baik bagi tanaman ini karena terlalu panas.

Hama yang menyerang ashitaba biasanya adalah hama penggerek yang menyerang akar tanaman. Karena menghindari pestisida, Nizar pun mengupah orang untuk mencangkul tanah agar gembur dan membunuh penggerek.

Bila ada pohon yang terserang hama, tak ada pilihan lain, selain membuangnya. Lahan bekas tanaman itu dicangkul kembali dan didiamkan selama dua minggu.

Untunglah, selama ini serangan penggerek belum menjadi wabah. "Dalam satu hektare, yang terkena penggerek mungkin hanya 50 pohon," kata Nizar.

Daun-daun ashitaba mulai bisa dipetik ketika pohon berumur satu tahun. Saat itu, para petani bisa memanen, baik dari daun dan menyadap getahnya.

Nah, ketika pohon berumur lima tahun, lanjut Nizar, justru daunnya makin sedikit. Sebaliknya, getah yang dihasilkan akan bertambah banyak. Pada umur empat tahun, pohon ini sudah mencapai tinggi satu meter dan pada umur 15 tahun, tinggi pohon mencapai dua meter.

Meski begitu, Nizar tak memiliki pohon yang umurnya lebih dari lima tahun. Pasalnya, banyak pembeli yang menginginkan pohon dengan banyak daun. "Kalaupun ada yang ingin ashitaba lebih dari lima tahun, biasanya untuk tanaman bibit," ujarnya.

Prospek budi daya pohon ashitaba memang cerah. Ulin melihat, belum banyak orang yang menanam pohon yang punya banyak khasiat bagi kesehatan ini. "Penanaman baru di sekitar Lombok dan daerah di Nusa Tenggara Barat," ujarnya.

Ia mengingat, saat pertama kali menanam ashitaba tahun 1994 lalu, orang yang membudidayakan pohon ini masih bisa dihitung dengan jari. Namun, sekarang, hampir semua tetangganya menanam ashitaba. "Saya berharap, makin banyak orang menanam ashitaba di lahan-lahan atau pekarangannya," katanya.

Tapi, harapan ini agaknya sulit terwujud. Pasalnya, kata Nizar, pembudi daya yang menjual bibit ashitaba masih sangat jarang. "Mereka takut pasarnya terganggu," ujarnya. (KONTAN)

1 komentar:

  1. Selamat Sore Pak,
    postingya mantap sekali pak, sangat membantu kami untuk tetap membuat ashitaba di Negeri sendiri tetap exist dan memperkenalkan ashitaba sebagai solusi berobat murah dan mensehatkan negeri.

    silahkan berkunjung ke blog dan website ashitaba kami pak.
    skepat lombok
    rinjaniashitaba.com

    BalasHapus