Minggu, 06 Februari 2011

Sukses Dari Pelepah Pisang


Lamongan. Sebagian masyarakat masih menganggap pohon pisang tidak banyak nilai manfaatnya. Ini menyebabkan pelepah pisang belum banyak disentuh. Padahal, dari bahan baku ini bisa dihasilkan karya kerajinan yang unggul dan punyai nilai jual cukup tinggi.

Batang pisang atau pelepah pisang yang mudah didapatkan dan tak mengenal musim itu mengilhami H Romli (37) warga Dusun Pengaron, Desa Pangumbulandadi, Kecamatan Tikung, Lamongan, untuk memanfaatkan menjadi kerajinan.

Ketertarikannya mengolah pelepah pisang ini sebenarnya bukan kebetulan saja. Perajin tas yang sehari-hari berkutat dengan enceng gondok ini, memang tengah mencari bahan baku alternatif untuk pembuatan tas.
“Pasar kerajinan tas dari enceng gondok terus menurun pasarnya. Karena itu, saya mencoba mencari alternatif bahan baku yang mudah didapat dan harga yang murah,” terang Romli, yang mengaku telah mempertahankan usaha tas dari enceng gondok sejak 2000 silam.

Menurutnya, enceng gondok tidak mudah didapatkan. Biasanya hanya ada pada musim penghujan saja, selain pengolahannya terlalu susah. Beda dengan pelepah pisang, yang cara mendapatkannya juga lebih mudah.

Inisiatif mendesain tas dari pelepah pisang dimulainya sejak 2007. Pengalaman membuat tas dari enceng gondok, ia kembangkan ke bahan baku dari pelepah pisang. “Ternyata, peminat tas pelepah pisang lebih banyak dan berkembang,” tutur Romli, yang akhirnya mengurangi pembuatan tas dari enceng gondok dan dialihkan ke tas pelepah pisang.
Bukan hanya bahan baku yang beralih, perajin yang mendirikan Pengaron Craft ini, juga memanfaatkan tenaga kerja yang sebelumnya membantunya membuat tas dari enceng gondok. Bahan baku banyak dipasok dari warga sekitarnya yang mengambil dari Desa Pelang, Cekel dan Kalikapas.
Ingin praktis, ia hanya menerima pelepah pisang kering dengan harga Rp 1.500/kg. Namun jika musim penghujan, harganya meningkat hingga Rp 2.500/kg. “Kalau penghujan kan petani repot mengeringkan dan butuh waktu lama. Jadi wajar jika ada kenaikan harga saat musim penghujan,” ujar suami Nurhayati ini.
Pelepah pisang kering itu ia beli dalam kondisi bersih, tinggal menganyam dan membentuk tamparan. Besar kecilnya tamparan tergantung dari bentuk dan ukuran tas. Romli memang tidak menempatkan pekerja di rumahnya, tapi bahan baku diambil perajin selanjutnya dikerjakan di rumah masing-masing.

Mereka terbagi, penganyam 20 orang, 4 tukang jahit dan vanishing 4 pekerja. Cara kerjanya, sama dengan pembuatan tas dari enceng gondok. Bentuk tas sudah ditentukan sesuai ukuran yang terbuat dari kain, spon topi, busa angin dan juga benang.

Sementara 20 pekerja anyaman khusus mengerjakan anyaman pelapah pisang yang dibentuk menjadi bahan setengah jadi atau tamparan. Jahitan tas dan tamparan disetor para pekerja yang kemudian dikirim oleh Romli ke tenaga vanishing.

Di tempat ini, tamparan pelepah pisang dan spon, serta tas setengah jadi, dibalut atau dililitkan dengan anyaman pelepang pisang menggunakan lem dan sebagian dijahit. “Kalau perlu agar tampil lebih cantik, tas-tas itu ditambah borji berbagai ukuran dan warna,” jelas Romli.

Dulu kali pertama membuat, pelepah hanya berbentuk lembaran yang langsung ditempel. Tapi setelah dilinting menjadi berbentuk tamparan menghasilkan motif lebih bagus dan peminatnya lebih banyak.

Ia mengakui, tidak ada cara teknis mengawetkan pelepah pisang sebelum dianyam, hanya sebatas pengeringan dengan memanfaatkan sinar matahari. Sebenarnya ada cara pengawetan dengan bahan kimia, namun belum dicoba.
Hanya, para pemasok ‘diwajibkan’ setor pelepah pisang yang benar-benar sudah kering. Selama ini tidak ada pemasok yang mengelabuinya dengan setor pelepah masih setengah basah.
”Dari awal saya tekankan kalau masih belum kering betul akan saya kembalikan,” tegas bapak dua putra ini. Selain pelepah kering, untuk pengawetan biasanya disemprot dengan milamin untuk menghasilkan tas agar tahan jamur dan mengkilat.

Penggajian pada pekerja secara borongan, atau tergantung dari jumlah yang mereka kerjakan. Dengan harga tas bervariasi mulai Rp 15.000 hingga Rp 70.000, saat ini omzet yang berhasil dikantongi rata–rata mencapai Rp 20 juta per bulan.

Tas–tas cantik produksi Pengaron Craft hingga kini belum dipasarkan ke mancanegara. Pasalnya, Romli masih fokus memenuhi pesanan domestik. Hasil kerajinannya 70 persen di kirim ke Bali, selebihnya ke Bandung, Tarakan, Kalimantan dan Surabaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar