Rabu, 16 Februari 2011

Berita Pertanian : Kedelai Mahal Tapi tak Menarik Minat Petani

Bila mendengar kedelai, semua orang akan terbayang dengan produksinya tahu dan tempe. Karena memang kedua makanan sehat khas Indonesia tersebut terbuat dari biji kedelai yang mengandung gizi yang tinggi. Inilah yang seharusnya membuat tanaman kedelai bukan hanya sekadar dikembangkan atau tanaman selingan di lahan petani sesudah panen padi.
Peluang investasi pada masa depan semakin cerah yang semamin sadar akan protein nabati dan kedelai juga dapat mengurangi penyakit darah tinggi dan serangan jantung sehingga diperkirakan konsumsi kedelai per kapita nya akan terus bertambah.

Apalagi saat ini selain menjadi bahan baku tahu dan tempe, telah berkembang pula berbagai produk olahan kedelai berupa susu cair dan bubuk serta minuman siap saji yang telah dijual. Dengan melihat kebutuhan biji kedelai dalam negeri yang terus meningkat baik sebagai bahan baku industri pangan dan nonpangan maupun pakan ternak, seharusnya ini dapat dimanafaatkan petani di Indonesia khususnya Sumatera Utara (Sumut) dan menjadikan kedelai peluang yang sangat besar.

Sayang, tanaman subtropis ini belum banyak dikembangkan petani di Indonesia. Tanaman ini masih dijadikan tanaman selingan di lahan padi yang telah usai atau sebelum panen. Dengan harga jual yang belum menguntungkan, membuat petani enggan meningkatkan produksi kedelai sehingga luas lahan tanaman pun terus menyusut.

Meskipun, upaya pemerintah mengembangkan produksi kedelai terus dilakukan salah satunya melalui pemberian benih unggul kepada petani, tapi tetap saja, gairah untuk meningkatkan produksi kedelai itu belum ada. Karena masih rendahnya harga jual kedelai lokal dibandingkan kedelai impor yang memang sudah membanjiri pasar.

Kondisi ini diakui Sugito, petani kedelai di Desa Celawan Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai). Ia yang mempunyai luas lahan satu hektar, hanya menanam kedelai setelah usai panen padi untuk memanfaatkan lahan yang sudah kosong serta dengan tujuan tanah menjadi subur untuk ditanami padi selanjutnya.

“Biasanya petani menanam kedelai untuk memanfaatkan lahan kosong bekas panen padi. Apalagi di desa kami biasanya setelah panen padi, siklus air ditutup sehingga lahan cocok ditanami kedelai atau komoditas lain seperti jagung, dan kacang hijau,” jelasnya kepada MedanBisnis.

Bayangkan saja, untuk tanaman kedelai yang dikembangkan Sugito hanya bisa menghasilkan produksi kedelai sekitar 1,5 hingga 1,8 ton dengan harga jual kedelai basah maksimal Rp 4.000 per kg. Padahal biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk membeli bibit saja sudah mencapai Rp 15.000 per kg dengan kebutuhan bibit mencapai 40 kg.

Ditambah lagi harus membeli pestisida untuk membasmi serangan hama ulat penggerek batang. Jika ditotalkan, biaya produksi dikeluarkannya dalam satu hektar mencapai Rp 600.000 untuk bibit saja ditambah lagi membeli obat dengan menunggu waktu masa panen selama 60 hingga 65 hari.

“Uang jual kedelai yang kita dapat hanya sekitar Rp 6,4 juta per hektarnya. Dipotong dengan biaya produksi sekitar mencapai Rp 1 juta, maka yang didapat hanya sedikit saja. Tapi lumayan untuk membeli modal bibit padi pada tanaman selanjutnya,” jelasnya.

Minimnya pendapatan yang diperoleh , Sugito melihat petani di desanya sudah sedikit mengembangkan tanaman kedelai dan mengalihkannya ke tanaman lain seperti jagung, kacang hijau dan jenis hortikultura seperti cabai merah, tomat, dan bayam.

Memang, petani menyadari kalau lahan bekas tanaman kedelai menjadi subur dan bagus untuk menanam padi sehingga penggunaan pupuk bisa diminimalisir. Begitu juga sebaliknya, tanaman kedelai tidak perlu lagi Tanpa Olah Tanah (TOT) dan pupuk. “Kedelai masih merupakan tanaman sela karena belum menguntungkan. Tapi lahan bisa menjadi subur sehingga menguntungkan bagi tanaman setelahnya seperti padi,” ucap Sugito.

Menanam kedelai tidaklah begitu sulit. Ia bersama petani lainnya mau saja mengembangkan asal pemerintah dapat menjamin harga jualnya. Dengan harga Rp 6.000 per kg saja, petani akan bergairah meningkatkan produksi karena masih mendapatkan keuntungan setelah dipotong biaya operasional. Karena petani hanya menanam satu komoditas yang menguntungkan dan kepastian harga sepantasnya menjadi gairah sendiri.

Tantangan menambah produksi kedelai ini, lanjut Sugito semakin bertambah karena belum tersedianya benih unggul yang memiliki produktivitas diatas 2 ton per hektarnya. Ditambah lagi dengan kebijakan pembebasan Bea Masuk (BM) pangan yang didalamnya termasuk komoditas kedelai akan menjadi hambatan dalam persaingan usaha kedelai lokal.

“Kedelai kita pasti akan terus kalah dibandingkan impor. Meski kualitas kedelai lebih bagus, tapi penampilan kedelai impor bagus dengan bulir biji besar dan rata. Jadi dengan pembebasan BM pangan, pasti kedelai impor semakin banyak dan membanjiri,” tuturnya.

Upaya Peningkatan
Kepala Cabang PT Pertani Persero Wilayah Sumut, Alhani Yandi mengatakan, target swasembada kedelai secara nasional dapat tercapai jika tersedia lahan permanen untuk menanam kedelai. Sebab selama ini, tanaman kedelai masih merupakan tanaman sampingan atau tanaman sela setelah atau sesudah bertanam padi dan jagung.

"Padahal kedelai ini makanan utama masyarakat Indonesia dan semua menyukainya untuk dikonsumsi. Tapi memang petani masih belum tertarik mengembangkannya karena harga dan produktivitas tanaman yang rendah," ujarnya.

Lahan permanen tanaman kedelai dapat dilakukan dengan pemanfaatkan lahan milik PTPN. Peningkatan produksi juga dapat dicapai dengan menemukan varietas benih yang memiliki produktivitas diatas 3,5 ton per hektar serta diperlukan ikut campur pemerintah terhadap jaminan harga pemasaran sehingga dapat menguntungkan petani.

"Kalau menguntungkan, petani akan mau mengembangkannya. Tapi saat ini harga kedelai hanya berkisar Rp 4.000 perkg dan bersaing dengan kedelai impor yang banyak dipasaran," katanya.

Pemerintah pusat melalui Departemen Pertanian Indonesia telah menemukan dan mengambangkan beberapa varietas benih kedelai yang memiliki produktivitas tinggi yakni varietas Merubetiri bisa menghasilkan 3 ton per hektar, varietas Baluran dengan produktivitas 2,5 hingga 3,5 ton per hektar dan varietas Rajabasa dengan produktivitas 3,90 ton per hektar serta varietas Argopuro 3,05 ton per hektarnya. (MB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar