Senin, 26 September 2011

Jeruk Medan yang Semakin Ditinggalkan

Siapa yang tidak mengenal dengan kejayaan Jeruk Medan, jeruk lokal asal Sumatera Utara (Sumut) ini sudah menguasai pasar hingga luar Pulau Sumatera. Namun sayangnya, jeruk manis yang banyak dikembangkan di Kabupaten Karo ini sudah mulai punah akibat serangan virus lalat buah yang dapat menurunkan 50% produktivitas tanaman.

Seperti dikatakan Domino, petani jeruk di Desa Nangbelawan Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, sebelum virus lalat buah menyerang tanaman jeruk petani sejak enam tahun yang lalu, daerahnya merupakan salah satu sentra penghasil jeruk. Namun beriring waktu dan hingga tahun ini, hanya tinggal 50 orang saja yang menanam jeruk dari total 300 rumah tangga yang sebelumnya bertanam jeruk.

"Sudah tidak ada yang mau lagi mengembangkan tanaman jeruk. Virus lalat buah semakin membuat biaya produksi tanaman jeruk bertambah, sedangkan keuntungan tidak banyak," ujarnya kepada MedanBisnis beberapa waktu lalu.

Domina yang kini masih mempertahankan tanaman jeruknya seluas setengah hektare, tidak lagi mengharapkan keuntungan dari tanaman tersebut. Bahkan untuk memeliharanya agar memiliki produktivitas yang baik pun sudah enggan, karena virus lalat buah yang sulit dikendalikan.

"Dulu saya punya lahan satu hektare tanaman jeruk, tapi sekarang tinggal setengahnya saja. Ini pun saya sudah mulai malas merawatnya karena modal terlalu besar dan virus lalat buah tidak bisa dibasmi," akunya.

Mengembangkan tanaman jeruk ini, dijelaskan Domino membutuhkan biaya produksi yang tidak murah. Dalam perbatang pohon memerlukan biaya Rp 50.000 pertahun atau Rp 25 juta perhektare pertahun dengan jumlah 500 batang tanaman jeruk.

Ini belum lagi biaya untuk pengutipan jeruk yang akan panen, ditambah lagi perawatan lainnya untuk mendapatkan buah yang maksimal. Biaya semakin menggunung, datangnya virus lalat buah dapat menggugurkan buah bahkan mengakibatkan tanaman tidak lagi produktif. "Bayangkan saja, dari perkiraan 10 ton buah yang berbuah, hanya sekitar 100 kg saja yang bisa dipanen dan dipasarkan. Ini sangat merugikan, apalagi dilihat dari biaya produksi yang begitu tinggi," jelasnya.

Biasanya perpohon bisa menghasilkan 40 kg buah jeruk untuk tanaman yang sudah berusia delapan tahun ke atas. Tapi karena adanya serangan lalat, bisa menurunkan hingga 50% produksi.
"Musim panen jeruk dua kali dalam setahun atau sekitar Juli dan Desember. Jika tidak ada serangan hama, maka buah bisa banyak yang dihasilkan," ujarnya.

Tidak menguntungkannya mengembangkan tanaman jeruk, membuat banyak petani mengalihkan tanaman ke komoditas lain seperti jagung, coklat dan kopi. Selain harga jual yang tinggi, biaya produksi tidak terlalu besar. "Untuk tanaman kopi harga jualnya mencapai Rp 25.000/kg dan jagung Rp 2.500/kg. Ini sudah sangat lumayan karena tanaman tidak terlalu merepotkan dan biaya produksinya juga tidak banyak," kata Domino.

Tidak hanya Domino yang merasakan rugi mengembangkan tanaman jeruk, petani jeruk lainnya di Desa Gurusinga Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo, Aturan Gurusinga (37) pun mengaku hal yang sama. Menurutnya, serangan virus lalat buah sudah menjadi momok menakutkan buat petani menanam jeruk. Belum lagi, dengan panjangnya mata rantai pendistribusian penjualan jeruk manis dari petani, pedagang pengumpul, toke, agen besar hingga ke tangan konsumen membuat keuntungan petani semakin sedikit.

"Hal ini diperparah dengan naiknya harga pupuk, anti hama dan tingginya biaya perawatan, menyebabkan petani jeruk di Tanah Karo lambat laun mulai terpuruk," imbuhnya.

Terpuruknya jeruk lokal asal Sumut ini, membuat pamor jeruk impor dari China semakin kinclong. Produksi buah lokal yang semakin sedikit dan membanjirnya jeruk impor di pasaran, membuat masyarakat lebih memilih jeruk impor yang memang memiliki tampilan bagus dengan harga lebih murah.

Sebenarnya, harga jeruk lokal masih bisa dipertahankan meskipun bersaing dengan jeruk impor. Namun, kata Aturan, pemerintah harus dapat menyediakan industri hilir atau pusat pengolahan seperti pabrik juice jeruk, tomat dan juice buah-buahan lainnya. Karena untuk jeruk yang berukuran kecil atau biasanya dijual dengan harga Rp300 hingga Rp500 perkg ini sering tidak laku di pasaran hingga harus dibuang ke jurang oleh petani.

Petani sendiri pun, tidak semuanya memiliki modal yang banyak dalam hal perawatan seperti pemberian pupuk untuk mendapatkan buah produksi yang melimpah. Pemberian pupuk biasanya harus dimulai dari tanaman berusia delapan tahun dengan banyaknya ukuran pupuk sekitar 2 kg perbatang dan harus diberi dalam waktu dua atau tiga bulan sekali dalam masa tanam.

Selanjutnya, tanaman berusia 10 tahun diberi pupuk sebanyak 3 kg perbatang dan tanaman diatas usia 15 tahun sebanyak 4 kg perbatangnya.

"Ini semua butuh biaya yang besar, kalau petani tidak mempunyai banyak modal biasanya membiarkan saja tanaman. Padahal pohon jeruk dapat berproduksi selama 40 tahun jika mendapat perawatan yang baik. Sedangkan untuk tanaman yang dibiarkan tidak dipanen atau membiarkan buah menjadi busuk di pohon mengakibatkan tanaman cepat mati atau tidak bisa berproduksi selama satu tahun ke depan," jelas Aturan.


Pengembangan buah jeruk ini, dikatakan Domino, tidak hanya dengan memberikan bantuan bibit tanaman. Sebab selama ini petani sudah menggunakan bibit bersertifikat dan merawat tanaman sudah dengan sangat baik. Tapi yang dibutuhkan pengendalian serangan virus lalat buah yang membuat produksi buah jeruk semakin turun.
"Sampai saat ini belum ada pemerintah membantu petani membasmi virus yang menakutkan untuk tanaman jeruk. Sosialisasi dan pelatihan mengendalikan virus juga tidak pernah diberikan pemerintah baik melalui penyuluh pertanian," katanya.

Penurunan produksi akibat serangan lalat buah kali ini telah meresahkan petani, terutama para petani jeruk di kecamatan sentra produksi jeruk seperti Kecamatan Tiga Panah, Barus Jahe, Merek, Berastagi, dan Kecamatan Simpang Empat. Tanaman jeruk banyak mengalami kerusakan.

Memang, kata Domino, para petani jeruk melakukan pemagaran dengan benang jaring halus, seperti kelambu. Karena setiap buah jeruk yang sudah diserang hama lalat buah tidak dapat diselamatkan, hanya selang satu hari saja buah tersebut sudah jatuh ke tanah. Tapi tidak semua petani bisa melakukan pengendalian ini karena memerlukan modal untuk memagar tanaman jeruk dengan 125 batang petani harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 8 juta.

"Meski telah menggunakan alat pengaman berupa dinding jaring halus, serangan lalat buah tetap ada. Tidak semua petani bisa menerapkan teknik pengendalian lalat buah dengan menggunakan dinding halus ini karena biaya produksinya cukup besar," jelasnya.

Selain pengendalian serangan virus lalat buah, petani juga berharap pemerintah melakukan upaya stabilitas harga jeruk di pasaran, agar petani tidak merugi terus menerus. Dengan begitu pertanian jeruk di Tanah Karo dapat dipertahankan bahkan bisa menjadi sentra penghasil jeruk terbesar di Sumut dan Indonesia.

Apalagi dengan datangnya jeruk impor asal China dan Pakistan untuk tahun depan, akan semakin menganggu keberadaan jeruk lokal. "Ini pasti akan semakin menenggelamkan keberadaan produksi jeruk lokal. Sebab sekarang saja kita sudah ketar-ketir dengan banyaknya jeruk impor dari China, ditambah lagi pemerintah mengizinkan masuknya jeruk kino dari Pakistan. Kalau begini keadaannya petani pasti akan semakin merugi dan akan meninggalkan tanaman jeruknya," kata Domino.

Kondisi sekarang, tambahnya, dengan banyaknya serangan hama dan penyakit pada tanaman jeruk membuat biaya produksi tanaman semakin tinggi. Ini belum sebanding dengan harga jual jeruk dan permintaan yang banyak dari pasar. Penurunan produksi jeruk juga karena jeruk lokal masih kalah pamor dibandingkan jeruk impor terutama dari negeri China, sehingga menimbulkan pergeseran minat masyarakat. Ukuran buah dan warna jeruk lokal berbeda dengan jeruk luar negeri sehingga kurang menarik. "Padahal Sumut penghasil jeruk nomor satu di Indonesia seperti dari Karo, Dairi, Tapanuli Tengah, Simalungun, dan Kabupaten Tapanuli Selatan," ungkapnya.

Bantuan Bibit

Untuk mengembangkan dan meningkatkan produksi tanaman jeruk di Sumut yang telah mengalami penurunan akibat serangan virus yang mematikan tanaman, Dinas Pertanian (Distan) Sumut akan memberikan bantuan bibit jeruk di daerah sentra. Menurut Kabid Bina Hortikultura Dinas Pertanian Sumut, Yulizar, bantuan bibit tanaman jeruk yang akan diberikan tahun ini sebanyak 7.400 batang di daerah sentra seperti Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Dairi dan Kabupaten Karo.

"Bantuan ini merupakan upaya pemerintah dalam pengembangan produksi jeruk lokal di Sumut," katanya belum lama ini.

Dikatakan Yulizar, komoditas jeruk merupakan buah lokal yang harus dikembangkan karena memang masih memiliki permintaan pasar yang tinggi. Namun diakui, produksi jeruk semakin turun akibat enggannnya petani mengembangkan tanaman karena adanya serangan virus seperti lalat buah.

Yulizar merincikan, bantuan bibit tanaman jeruk ini akan diberikan di Kabupaten Tapanuli Utara sebanyak 1.200 batang, Tapanuli Tengah 3.600 batang, Dairi sebanyak 1.200 batang dan Kabupaten Karo sebanyak 1.400 batang. "Ini bantuan tahun 2011 dan luas tanam jeruk saat ini mencapai 15.970 hektare," katanya.

Pengembangan tanaman jeruk, lanjutnya, memang harus dilakukan sebagai upaya peningkatan produksi jeruk lokal ditengah membanjirnya buah impor dari China dan Pakistan pada tahun depan.

"Selain bantuan bibit, kita juga memberikan sosialisasi dan pelatihan berkaitan dengan pengembangan produktivitas tanaman. Untuk serangan hama lalat buah memang sudah menjadi momok menakutkan buat petani karena menambah biaya produksi meskipun harga jual sudah mulai tinggi," kayanya.

Menurutnya, produksi jeruk berkaitan dengan kebijakan impor dari pemerintah. Karena selama ini harga jeruk lokal jauh lebih mahal dibandingan jeruk impor yang penampilannya lebih menarik. Padahal mutu jeruk impor tersebut jauh lebih rendah dari jeruk lokal.

"Produksi akan bertambah jika didukung dengan industri pengolahan jeruk seperti sirup, dan manisan. Namun selama ini, industri yang mengolah jeruk masih sedikit," pungkasnya.


Serbuan jeruk impor yang semakin booming sejak setahun lalu, memang membuat petani di dalam negeri merasa terpuruk. Hal itu lah yang juga dirasakan petani di Sumut, karena komoditas jeruk merupakan salah satu buah unggulan Sumut yang banyak dikembangkan di Kabupaten Karo dan Simalungun.

Keterpurukan petani jeruk lokal ini semakin parah dengan kurangnya perhatian dari pemerintah dalam membantu pengembangan komoditas tersebut. Sebab, petani tak hanya membutuhkan bantuan bibit tanaman, namun juga butuh perhatian dan bantuan dalam pengolahan tanaman untuk mendapatkan produksi yang berkualitas sehingga mampu bersaing dengan buah impor.

Domino, petani jeruk di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, mengatakan, petani banyak yang belum merasakan adanya bantuan dari pemerintah dalam pengembangan tanaman jeruk. Apalagi untuk membasmi serangan virus lalat buah yang membuat produksi jeruk semakin menurun sehingga pasokan di pasaran pun semakin sedikit.

"Harga jeruk di pasar saat ini memang tinggi sekitar Rp 6.500/kg karena produksinya sedikit. Tapi untuk mendapatkan buah yang ukuran besar sudah sangat sulit, karena kualitas buah yang dipanen petani semakin menurun," jelas Domino.

Meski harganya tinggi, namun itu tidak membuat petani bergairah untuk mengembangkan tanaman jeruknya lagi. Serangan hama dan biaya produksi yang tinggi, membuat petani enggan untuk mempertahankan tanaman jeruknya. Kondisi ini pula yang membuat tanaman jeruk di Kabupaten Karo sebagai sentra holtikultura di Sumut banyak yang tidak produktif.

Ketua Asosiasi Petani Jeruk Indonesia Kabupaten Karo, Saul Surbakti, mengatakan, tingginya biaya produksi tanaman jeruk yang mencapai Rp 200.000 per pohon (mulai tanam hingga panen perdana) sangat memberatkan petani untuk mempertahankan tanamannya. Biaya yang mahal tersebut difaktori tingginya kebutuhan obat pengendali serangan hama dan penyakit pada tanaman jeruk.

Namun, pihaknya terus berupaya melakukan penyuluhan kepada petani untuk mau mengembangkan tanaman jeruk yang biasa disebut Jeruk Medan ini karena komoditas tersebut merupakan unggulan Sumut yang sudah terkenal seantero Indonesia. Meski memang bantuan dari pemerintah Sumut untuk mengendalikan serangan hama pada tanaman jeruk masih sangat minim, bahkan belum nampak upaya mempertahankan komoditas tersebut.

Aturan Guru Singa, petani jeruk lainnya mengakui, lahan tanaman jeruk yang selama ini dikembangkannya sudah beralih ke tanaman lain seperti jagung, kol bunga dan kentang. "Dulu luas tanaman jeruk yang saya kembangkan mencapai 10 hektare, tapi kini bersisa 3 hektare saja. Menanam jeruk ini belum begitu menguntungkan, jadi petani kurang bergairah," akunya.

Menurutnya, tanaman jeruk sudah lama terserang hama lalat buah yang dapat menggugurkan buah bahkan mengakibatkan tanaman tidak pruduktif kembali.

Harga yang bagus saat ini, diakui Aturan, tidak membuat petani langsung berkenan kembali mengalihkan tanaman ke jeruk karena belum ada jaminan harga akan terus tinggi. Sebab, harga yang diperoleh tersebut hanya akan habis digunakan untuk membeli obat dan perawatan tanaman dari serangan hama sehingga keuntungan tidak bisa dinikmati petani.

"Kalau pemerintah mau menjamin harga jualnya dan membantu petani mengendalikan serangan hama, mungkin produksi jeruk dapat kembali ditingkatkan. Karena sampai saat ini permintaan jeruk dari luar propinsi masih banyak, tapi produksi kita yang terus menurun," imbuhnya.

Berdasarkan data, produksi jeruk di Sumut, tahun 2007 mencapai 961.918 ton. Namun turun dan menjadi 856.019 ton pada 2008. Tetapi, tahun 2009 produksi jeruk kembali naik menjadi 861.530 ton dengan tanaman jeruk yang menghasilkan 5.172.995 pohon dan produktivitas 166,54 kg per pohon nya. (yuni naibaho)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar