Bogor. Agroindustri sebagai kegiatan produktif yang menyeimbangkan produk primer usaha tani dan nelayan dengan produk siap pasar dan siap saji mempunyai peranan penting sebagai katup pengaman bila terjadi krisis finansial global, kata guru besar Institut Pertanian Bogor Prof Dr Eriyatno.

"Juga untuk peredam gejolak jika terjadi krisis ekonomi di tingkat nasional," katanya pada Simposium Nasional Agroindustri IV di Bogor, Jawa Barat, Sabtu, yang mengusung tema "Penguatan Agroindustri: Gerakan Memakmurkan Bangsa".

Seminar yang diselenggarakan Departemen Teknologi Industri Fakultas Teknologi Pertanian (TIN-Fateta) IPB itu dibuka oleh Rektor IPB Prof Herry Suhardiyanto dan dihadiri Perwakilan United Nations, Industrial, Development Organization (UNIDO) Dr Imran Farooque, Dr Ir Atih Surjatih Herman, MSc dari Ditjen Agro Kementerian Perindustrian, dan Presdir PT Kelola Mina Laut Ir Mohammad Nadjikh.

Menurut Eriyatno, dinamika perekonomian nasional sejak awal abad ke-21 telah banyak dipengaruhi dengan perubahan yang terjadi di dunia akibat pergeseran peranan sektor riil ke arah domain sektor finansial, serta meningkatnya keterbukaan pasar dunia sebagai konsekuensi globalisasi perdagangan.

Karena itu, kata dia, dengan posisi strategis sebagai katup pengaman dan peredam gejolak krisis tersebut, maka agroindustri disebutnya "perlu bermetamorfosa".

"Metamorfosa itu tidak hanya sebagai wahana mencari keuntungan bagi para pemilik modal besar, tapi juga terkait fungsi kebersamaan komunitas lokal, serta kepedulian sosial yang mendasari tercapainya kesejahteraan rakyat," katanya menegaskan.

Ia mengatakan, kepentingan nasional untuk menjaga kedaulatan ekonomi negara, sekaligus mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, haruslah menjadi arahan strategis setiap kebijakan publik yang dihubungkan dengan kegiatan agroindustri.

Kemudian, hubungan sebab-akibat yang erat antara sumberdaya alam dengan kegiatan agroindustri, mewujudkan aspek pelestarian dan penyehatan lingkungan menjadi lebih dipentingkan ketimbang maksud-maksud bisnis yang memaksimalkan keuntungan perusahaan.

Dengan demikian, kata dia, diperlukan suatu pola pikir dan perencanaan strategi yang baru dari kegiatan agroindustri dalam kurun waktu 10 tahun ke depan dengan memperhatikan kejadian empiris 10 tahun belakangan.

"Jadi secara konseptual harus ada pemikiran terhadap agroindustri yang mencakup definisi, rencana strategi dan agenda pembangunan," kata Eriyatno.

Sementara itu, pengajar TIN-Fateta IPB Dr Ir Aji Hermawan, MM, menyatakan agroindustri perlu dikembangkan dalam kerangka tatanan perekonomian yang berbasis pada sumberdaya lokal.

"Juga berorientasi pada masyarakat dan mengabdi untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi semua, serta tidak hanya meningkatkan keuntungan dan pertumbuhan," kata ketua komite pelaksana simposium nasional tersebut.

Ia mengatakan, dijiwai semangat patriotik, dinamika sistem tersebut membutuhkan keberanian dan perubahan yang kreatif dari cara mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi.

Karena itu, dibutuhkan prinsip keberlanjutan dengan mempertimbangkan keseimbangan 3P (people, planet, dan profit), dan implikasi kebijakan memperhatikan tiga aspek, yaitu sosial, ekologi dan usaha.

"Berbagai aspek agroindustri yang dijalankan selama ini perlu transformasi signifikan meliputi aspek pembiayaan, teknologi, manajemen, kelembagaan dan pendidikan," kata doktor lulusan Manchester Business School, The University of Manchester, Inggris itu.

Pihaknya berharap hasil simposium yang menghadirkan berbagai kalangan, baik perguruan tinggi, pemerintah, pelaku usaha itu dapat memberikan kontribusi agar dunia agroindustri Indonesia benar-benar menjadi agroindustri yang menyejahterakan rakyat.

Selain itu, bisa merumuskan pemikiran strategis yang dapat memadukan aspek teknologi, pembiayaan, sumberdaya manusia, kelembagaan, pendidikan.

"Sehingga tercipta agroindustri Indonesia yang didukung iklim usaha yang sehat, berdaya saing dan melestarikan sumberdaya alam," kata Aji Hermawan yang juga aktif sebagai Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) itu.

Sementara itu, CEO PT Kelola Mina Laut Ir Mohammad Nadjikh dalam kesempatan itu menyoroti perlunya pemerintah menciptakan lingkungan bisnis dan industri yang kondusif bagi agroindustri.

Di antaranya, kata dia, penyediaan infrastruktur yang memadai, dari hulu hingga hilir, regulasi pemerintah yang pro-bisnis dan jaminan keamanan berusaha, dukungan pembiayaan yang murah, cepat, syarat ringan dan merata, serta pengembangan agroindustri model klaster (inti plasma, bapak angkat-anak angkat).

Sedangkan Atih Surjatih Herman dari Kemenperin menyatakan bahwa konsep untuk pengembangan industri, termasuk agroindustri nasional nyaris lengkap.

"Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa negara lain sepertinya relatif lebih mudah dan cepat dalam mengembangkan industrinya dibanding Indonesia," katanya.

Karena itu, katanya, upaya yang sangat diperlukan adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang ada secara efektif, di antaranya adalah bagaimana mempercepat kemandirian teknologi untuk mendukung perkembangan agroindustri yang berdaya saing dan berkelanjutan.(ant)