JAKARTA. Para petani kelapa sawit akhirnya pasrah menerima ketentuan Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011 tentang moratorium (penundaan) Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Asmar Arsjad mengaku sudah sejak awal menolak adanya moratorium. Selain akan menurunkan produksi sawit dalam negeri, kebijakan ini juga simbol intervensi asing kepada Indonesia.
"Dari awal kita memang sudah tak setuju, kalau memang pemeritah seperti itu silahkan saja," katanya, Minggu (22-5).
Ia menegaskan penolakan petani sawit terhadap inpres ini bukan berarti petani tak mau mendukung terhadap masalah lingkungan. Menurut Asmar regulasi yang ada saat ini terhadap pemeliharaan dan pengawasan pengelolaan hutan di Indonesia sudah cukup baik.
"Indonesia punya regulasi dan inpres, tentang tata cara pengelolaan hutan, kenapa orang Eropa yang mengobok-mengobok Indonesia. Tapi kita tak ingin melawan pemerintah," katanya.
Dikatakannya komitmen kucuran dana oleh Norwegia ke Indonesia sebesar US$ 1 miliar belum tentu akan dicairkan penuh. Menurutnya hal itu bisa saja terjadi dengan berbagai alasan.
"Belum tentu mereka bayar, Brasil sampai sekarang belum dibayar. Eropa mengobok-obok Indonesia kenapa kita mau," katanya.
Bagi petani sawit adanya moratorium juga akan berpengaruh pada upaya ekspansi lahan. Saat ini 3,8 juta hektar lahan sawit merupakan lahan rakyat menyumbang porsi lahan sawit hingga 48% sementara para BUMN sawit hanya 617.000 hektar setara 8% dan sisanya swasta atau pemain besar mencapai 3,2 juta ton atau setara 45%.
"Kalau perkebunan sawit rakyat menambah lahannya memang sedikit-sedikit, tapi dalam beberapa tahun tumbuh signifikan pada 2008 hanya 3,2 juta hektar sekarang 3,8," imbuhnya.
Asmar mengaku tingkat perhatian pemerintah terhadap petani sawit belum penuh. Bahkan ia sempat kecewa dengan Presiden SBY yang pernah membatalkan pertemuan dengan asosiasi petani kelapa sawit beberapa tahun lalu saat periode pertama Presiden SBY tahun 2008.
"Kita pernah diundang datang ke Istana, kita sempet menginap di hotel Sriwijaya (dekat istana), pakai baju batik, dengan jalan kaki. Waktu itu hari Jumat dijadwalkan bertemu Jam 8.00, kita sempat nunggu, lalu tiba-tiba datang ajudannya yang bilang mohon maaf Pak SBY sedang sakit gigi ke dokter. Coba bayangkan kita sudah buang uang dan tenaga," kenang Asmar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar