JAKARTA. Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dinilai kontraproduktif bagi masa depan usaha perkebunan di tanah air. Inpres tersebut tidak saja menghambat ekspansi lahan untuk perkebunan, namun juga dikhawatirkan menurunkan tingkat kesejahteraan petani.
Dalam Inpres yang merupakan tindak lanjut dari penandatanganan letter of intent (LoI) antara pemerintah RI dengan Norwegia tersebut, selain hutan primer, pemanfaatan lahan gambut juga dihentikan pemanfaatannya. Padahal pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian memberikan banyak dampak positif.
“Pemanfaatan lahan gambut terbukti meningkatkan produksi pertanian, menjamin ketersediaan bahan baku untuk industri pertanian, penyerapan tenaga kerja, juga meningkatkan pendapatan petani,” kata Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) Prof Dr Hermanto Siregar yang juga Wakil Rektor IPB dalam Diskusi Terbatas “Kontroversi Pemanfaatan Lahan Gambut: Quo Vadis?” di Jakarta, Jumat (27/5/2011).
Hermanto memaparkan, Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, sekitar 21 juta hektare (ha) yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di wilayah Asia Tenggara, luas lahan gambut lebih dari 25 juta atau sekitar 69 persen dari lahan gambut tropis dunia. “Sekitar 33 persen dari lahan gambut tersebut dianggap layak dijadikan lahan pertanian,” kata Hermanto.
Selain Hermanto Siregar, tampil sebagai pembicara dalam diskusi ini adalah Ketua Lembaga Penelitian Universitas Riau Prof Usman Tang, guru besar Manajemen Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB Prof Dr Supiandi Sabiham, dan peneliti senior Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Kementerian Pertanian Irsal Las.
Usman Tang juga memaparkan dampak positif pemanfaatan lahan gambut. “Di Kabupaten Indragiri Hilir,Provinsi Riau misalnya, lahan gambut baik untuk pengembangan pertanian dan perkebunan,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar