Supriadi, termasuk pemasok terbesar jamur tiram di Sumut khususnya di Kota Medan. Tiap hari, ia bisa memasarkan sebanyak 50 kg jamur tiram segar dengan harga jual Rp 20.000 per kg yang dikemasnya dalam kemasan plastik ukuran 200 gram per bungkusnya.
“Biasanya agen yang datang langsung ke lokasi pembudidayaan jamur kita,” kata Supriadi saat berkunjung ke lokasi pembudidayaan jamur tiramnya di Desa Nagarejo/Nagatimbul, Tanjungmorawa, Kabupaten Deliserdang belum lama ini.
Jamur tiram segar yang dijual itu dipanennya dari rumah jamur atau kumbung (tempat pembudidayaan jamur –red) miliknya seluas 7 x 12 meter per segi. Dari penjualan itu, Supraidi bisa mengantongi sedikitnya Rp 1 juta setiap harinya. Dan, itu masih dari penjualan jamur tiram segar belum lagi dari penjualan media tumbuh jamur tiram (baglog) serta bibit jamur tiram.
Bahkan, dari ketiga jenis produk yang diproduksi Supriadi permintaan baglog paling tinggi, mencapai 20.000 baglog per bulan dengan harga jual Rp 3.000 per baglog.
Baglog yang dijual tersebut sudah diisi bibit jamur tiram dengan posisi mycelium di atas 50%. Sedangkan untuk permintaan bibit jamur tiram sendiri rata-rata berkisar 250 botol per bulan dengan harga jual Rp 30.000 per botol. “Jadi, laba yang kita peroleh dari usaha jamur tiram ini lumayan banyak. Sementara biaya produksi tidak terlalu besar, hanya berkisar Rp 6,5 jutaan. Itu juga sudah termasuk biaya untuk pembuatan kumbung atau rumah jamur.
Pria berusia 42 tahun tersebut mengaku, permintaan jamur tiram sebenarnya sangat tinggi, tidak hanya untuk pasar lokal tapi di luar Sumut juga seperti Aceh dan Batam, Kepulauan Riau. Bahkan dari Singapura juga sudah ada yang memesan sebanyak 500 kg per hari. Namun, permintaan tersebut belum dapat terpenuhi karena produksi jamur tiramnya masih sedikit.
“Tadinya, saya sudah sempat mengirim ke Aceh dan Batam, namun karena permintaan di Medan juga tinggi jadinya terpaksa saya hentikan dan kami fokus untuk mengisi pasaran di Medan. Ya, kami terkendala dalam produksi yang masih terbatas,” katanya lagi.
Ketertarikan Supriadi dalam melakukan pembudidayaan jamur tiram karena prospek dan peluang yang dijanjikan dari usaha ini masih sangat besar. Apalagi bahan baku yang digunakan sebagai media tumbuh jamur diperoleh dari limbah gergajian yang banyak ditemukan di sekitar usaha.
Tidak hanya itu, pesaing juga masih sedikit. “Kita tidak khawatir terhadap gempuran produk sejenis dari luar daerah maupun luar negeri. Karena jamur tiram lebih enak diolah dalam bentuk segar,” sebutnya sambil tersenyum.
Budidaya jamur tiram yang dilakukan Supriadi berada di bawah naungan Jamur Lestari Medan dan Manajemen Agromakmur Organik Sejahtera (AOS). Menurut bapak satu putra dan satu putri ini, budidaya jamur tiram umumnya dilakukan di daerah bersuhu dingin.
Tetapi dengan penelitian dan percobaan yang dilakukan secara terus menerus oleh Jamur Lestari maka jamur tiram dapat ditumbuhkan di daerah dataran rendah, yang bersuhu relatif panas, seperti di Medan dan sekitarnya. Ini dilakukan dengan melakukan modifikasi iklim mikro seperti suhu dan kelembaban rumah jamur (kumbung) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan syarat tumbuh jamur tiram.
Hanya saja, masalah yang sering timbul dalam budidaya jamur tiram di dataran rendah adalah serangan hama terutama ulat. Begitupun, untuk mengatasi serangan tersebut pihaknya (Jamur Lestari Medan-red) mengembangkan cara pengendalian terpadu.
Namun yang perlu menjadi catatan penting bagi pembudidaya jamur tiram menurut Supriadi adalah bibit. Bibit memegang peranan penting dalam keberhasilan budidaya jamur. “Bibit yang baik akan menghasilkan jamur yang baik pula. Dan, saat ini Jamur Lestari Medan didukung oleh Kantor Pusat Jamur Lestari Solo telah mengembangkan bibit jamur tiram yang lebih adaptif untuk daerah dataran rendah yang lebih panas,” jelasnya.
Di Desa Nagarejo/Nagatimbul, Tanjungmorawa, Kabupaten Deliserdang itu, Supriadi mengembangkan budidaya jamur tiram. Dari dalam kumbung berukuran 7 x 12 meter per segi itulah ia memanen rupiah tiap harinya. “Kapasitas kumbung ini bisa mencapai 10.000 log (baglog),” akunya , belum lama ini di lokasi pembudidayaan jamur tiramnya.
Menurut Supriadi, budidaya jamur tiram tidak terlalu sulit. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah kelembaban dan temperatur budidaya. Namun, bibit yang digunakan juga memiliki peranan penting dalam menghasilkan jamur tiram segar yang berkualitas. “Untuk bibit, kami juga sudah membuatnya sendiri dari jamur segar. Dan, perbanyakan bibit kami lakukan dengan sistem kultur jaringan,” jelasnya.Dalam pembuatan baglog, bahan utama yang digunakan Supriadi adalah serbuk gergaji. Serbuk gergaji tersebut dicampur dengan bahan lain seperti dedak dan kapur. Kemudian diaduk rata dan dimasukkan ke dalam plastik dengan berat 1,2 kg per log. Setelah itu disterilisasi selama enam jam dengan suhu 100 derajat celcius. Sterilisasi ini dimaksudkan untuk membunuh jamur-jamur liar atau mikroorganisme lain yang kemungkinan menempel pada bahan. Selanjutnya, didinginkan selama 12 jam dan diberi bibit jamur tiram. “Untuk satu botol bibit bisa digunakan untuk 20 baglog,” sebut Supriadi.
Langkah selanjutnya, adalah melakukan inkubasi selama kurang lebih 15 hari dengan menyusunnya di rak-rak dalam kumbung. “Jamur akan tumbuh 45 hari setelah bibit ditanam,” jelasnya.
Yang utama diperhatikan menurut dia adalah suhu dalam ruangan atau kumbung harus di bawah 30 derajat Celcius dengan kelembaban di atas 80%.
“Untuk budidaya jamur tiram dataran rendah, masalah utama yang muncul adalah hama ulat. Namun, itu dapat diatasi dengan pemberian larutan yang berasal dari bahan organik yang dikembangkan oleh Jamur Lestari Medan,” kata Supriadi.
Sedangkan untuk panen, disebutkannya, panen perdana dapat dilakukan setelah 45 hari dengan jumlah produksi berkisar 250 gram per baglog. Dengan kata lain, total produksi yang dapat diperoleh dari satu baglog adalah 60% dari berat baglog atau sekitar 700 gram per baglog.
“Jamur yang dipanen adalah tiga hari setelah jamur mulai tumbuh dengan diameter jamur kurang lebih 9 cm. Kalau panen kita lakukan terlalu lama atau hari keempat dengan diameter lebih dari 9 cm, jamur sudah tua. Dan, itu ditandai dengan jamur melekuk ke bawah. Jadi, tidak kembang lagi,” ujarnya.
Lebih jauh dijelaskannya, tanda-tanda jamur tumbuh dengan baik, micellium tumbuh tebal, merata dan benang-benang micelliumnya segar.
Dalam pengembangan bisnis jamur tiram, Supriadi tidak hanya menjual baglog, bibit dan jamur tiram segar saja. Tapi ia juga membangun pola kemitraan bagi pelaku-pelaku usaha jamur tiram khususnya bagi pemula. Bahkan saat ini, mitra binaannya sudah berkisar 100-an orang yang tersebar di beberapa daerah di Sumatera Utara (Sumut), seperti Tebingtinggi, Deliserdang serta Aceh dan Riau.
Hal ini dilakukannya untuk mengajak masyarakat bersama-sama mengembangkan jamur tiram mengingat permintaan akan komoditas tersebut sangat tinggi. Sementara produksi yang ada saat ini masih sedikit, sehingga belum mampu memenuhi permintaan tersebut. “Untuk pembuatan krispi saja masih sangat kurang, belum lagi untuk kebutuhan rumah makan, hotel dan restoran-restoran yang ada di Sumatera Utara,” akunya.Dalam membangun kemitraan, kata dia, mitra usaha akan diberikan pelatihan gratis di dalam managemen budidaya dan juga akan dibantu dalam pengembangan pemasaran. Misalnya, apabila ada konsumen yang berada di daerah Tembung mencari jamur tiram segar, akan diarahkan ke mitra binaan yang berada di daerah tersebut. Begitu juga untuk daerah-daerah lainnya.
“Jadi, mereka langsung yang melakukan pemasaran hanya saja kita yang menginfokan lokasi atau daerah di mana konsumen akan mendapatkanya. Tentunya, daerah yang terdekat dengan konsumen dan si pembudidaya,” kata Supriadi sembari menambahkan dengan cara kemitraan seperti ini diharapkan budidaya jamur tiram di Sumut khususnya di Kota Medan dapat berkembang.
Sistem atau pola kemitraan yang ditawarkan Jamur Lestari Medan menurutnya adalah dengan menawarkan paket kemitraan. Dengan investasi Rp 3 juta per paket, maka mitra akan mendapatkan baglog jamur tiram sebanyak 1.000 log dengan berat masing-masing log 1,2 kg dengan komposisi micellium sekitar 50%.
Kemudian gratis pelatihan managemen kumbung untuk dua orang, gratis konsultasi selama menjadi mitra serta bantuan informasi distribusi pemasaran. “Ini dilakukan karena kami melihat masyarakat yang mencoba budidaya jamur tiram banyak yang kecewa. Banyak pembuat dan penjual baglog hanya menjual baglog tanpa diikuti dengan transfer teknologi budidaya jamur tiram,” jelasnya.
Akibatnya, apabila si pembeli baglog mengalami masalah dibudidayanya seperti baglog yang tidak tumbuh, adanya serangan hama dan penyakit maka mereka tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Sehingga banyak yang kecewa dan tidak mau menanam jamur lagi. “Kumbung yang sudah dibuat menjadi mubazir, tidak terpakai lagi,” aku Supriadi yang pernah mengalami kegagalan dalam budidaya jamur tiram saat pertama kali melakukannya.
Belajar dari pengalaman itulah, Supriadi menawarkan kemitraan bagi masyarakat yang ingin mencoba terjun dalam bisnis jamur tiram tersebut.
Modal Cekak
Dalam budidaya jamur tiram, Supriadi mengatakan, modal awal yang dibutuhkan relatif kecil. Di luar dari lahan, investasi awal yang dibutuhkan hanya berkisar Rp 6,5 juta. Modal tersebut untuk pembuatan rumah jamur atau kumbung ukuran 4 x 6 meter per segi sekitar Rp 2,5 juta, pembelian baglog Rp 3.750.000 dengan asumsi jumlah baglog sebanyak 1.250 x harga baglog Rp 3.000 per log dan biaya lain-lain Rp 250 ribu.
Sementara produksi jamur tiram yang dapat diperoleh dari jumlah baglog yang dikembangkan tersebut berkisar 5 kg per hari selama lima bulan, dengan harga jual jamur tiram segar Rp 20.000 per kg, maka omset yang diperoleh mencapai Rp 15 juta. Dengan asumsi 5 kg x 30 hari x 5 bulan atau 750 kg x Rp 20.000 per kg = Rp 15 juta.
Dikurang biaya produksi Rp 6,5 juta maka laba yang diperoleh berkisar 8,5 juta untuk waktu lima bulan atau berkisar Rp 1,7 juta per bulan. “Itu, hanya dari penjualan jamur segar saja. Belum lagi kalau kita sudah bisa memproduksi baglog sendiri. Dan, laba yang diperoleh itu akan bertambah lagi setelah panenan pada musim tanam kedua. Karena kita tidak lagi mengikutkan biaya pembuatan kumbung. Kumbung dapat bertahan atau dipakai untuk waktu empat tahun (10 kali periode produksi),” jelasnya.
“Untuk panenan periode pertama, selain modal kembali, kita juga sudah dapat memetik laba. Jadi, kita tidak perlu menunggu waktu terlalu lama untuk kembali modal seperti budidaya jenis tanaman lain. Inilah kelebihan dari budidaya jamur tiram yang kami tawarkan,” katanya lagi.
Sedikitnya modal yang ditawarkan Supriadi kepada pembudidaya pemula, tak lain untuk merangsang masyarakat tertarik mengembangkan bisnis tersebut. Selain itu, juga karena bibit jamur tiram yang dipasarkannya tidak dipasok dari Jawa atau luar Sumut melainkan diproduksi sendiri dengan sistem kultur jaringan sehingga biaya produksi menjadi lebih rendah.
“Kalau, bibitnya kita pasok dari luar Sumut, jelas investasinya akan lebih mahal. Sementara baglog yang kami tawarkan sudah berisi bibit jamur. Dengan begitu konsumen tidak lagi bersusah payah memasok bibit dari luar. Inilah kelebihan yang kami tawarkan kepada masyarakat yang tertarik untuk mengembangkan jamur tiram segar,” katanya lagi.(MB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar