Jakarta. Peneliti LIPI menyebutkan kebijakan pemerintah menetapkan bea keluar minyak sawit mentah (BK CPO) terbukti telah mengakibatkan pertumbuhan negatif di sektor perkebunan sawit. Hal ini dapat dilihat dari data BPS yang menunjukkan pertumbuhannya turun hingga 32%.
"Data BPS tersebut memang meliputi perkebunan secara keseluruhan, tetapi sawit merupakan perkebunan yang paling dominan, kondisi demikian terutama aibat Bea Keluar CPO," kata Peneliti Senior Bidang Ekonomi LIPI Latief Adam kepada wartawan, di Jakarta, Senin (9/5).
Dia menunjuk data BPS, sejak kuartal IV-2010 terjadi penurunan perkebunan sawit sebesar 31,9%, dan terus berlanjut pada kuartal I-2011 terjadi pertumbuhan negatif di sektor perkebunan sebesar 19,9%.
Menurut Latief BK CPO itu memang tidak menjadi faktor tunggal penurunan kinerja sawit. Sebab, masih ada berbagai permasalahan lain, seperti anomali musim, peremajaan tanaman sawit yang terlambat, pemeliharaan yang kurang baik. Serta kebijakan tata ruang yang simpang siur, rencana moratorium konversi hutan yang tidak pasti, dan lain sebagainya. "Semua masalah itu harus menjadi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat dalam pengembangna perkebunan kelapa sawit," tegas Latief Adam.
Lebih lanjut Latief menilai, kebijakan BK CPO yang progresif harus diganti dengan BK yang flat, karena pemerintah tidak akan mungkin menghapus kebijakan BK CPO. Sebab selama ini BK CPO merupakan strategi pemerintah untuk menutup pos-pos pemasukan dari BUMN yang kurang. "Jika rasio pajak Indonesia sudah ideal, mungkin BK bisa dihilangkan, seperti di Malaysia. Tetapi selama belum ideal, maka tidak akan mungkin dihilangkan," ujar Latief.
Latief mengimbau pemerintah agar bersikap adil. Jika pemerintah menerapkan bea masuk secara flat di kisaran 5 - 10 persen, maka BK juga seharusnya flat.
Dia mengungkapkan besaran yang pas untuk BK CPO yang flat adalah sekitar 5 persen. Selain itu, pemerintah dapat menerapkan kewajiban para produsen memasok pasar domestik (domestic market obligation/DMO) untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan CPO domestik. Ketentuan DMO akan membuat produsen CPO menjaga keseimbangan pasokan domestik dan ekspor.
"Pemerintah perlu mengimplementasi DMO. Dengan DMO, pemerintah mendapat keuntungan dari ekspor dan petani tidak terlalu dieksploitasi,"katanya.
“Semangat pertama BK CPO kan dibuat pada dasarnya untuk manajemen stok dalam negeri. Dengan DMO, pemerintah bisa menjamin pasokan dalam negeri, misalnya sebesar 20 persen,” katanya lagi.
Latief berpendapat bahwa kombinasi BK yang flat di kisaran 5% dan penerapan DMO akan memberikan dorongan kepada petani sawit agar lebih memperhatikan kebunnya. Apapun alasan yang dikemukakan pemerintah terkait penerapan BK CPO yang progresif, pemerintah harus lebih memperhatikan nasib para petani sawit yang selama ini menjadi pihak yang termarjinalkan.
"Setiap stake holder harus bersuara, setiap asosiasi petani harus bersatu, agar pemerintah tergerak `hatinya, sehingga tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang merugikan petani," tegas Latief.
Menanggapi penegasan Latief Adam itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspek-PIR) Riau Setiono mengatakan, kebijakan BK hanya menguntungkan pemerintah. Tetapi tidak menguntungkan kelompok petani. Di tengah melambungnya harga CPO di pasaran dunia, margin yang diterima petani tidak bertambah.
"Naik-turunnya harga tandan buah segar (TBS) memang mengindikasikan bahwa BK CPO paling banyak dibebankan pada petani. Makin tinggi BK CPO, harga TBS justru makin jatuh," kata Setiono.
Setiono juga menjelaskan, pada Maret 2011 lalu, ekspor CPO anjlok 41% dibanding bulan sebelumnya. Pada saat itu BK CPO dipatok pemerintah sebesar 22,5%, penurunan ekspor ini juga terjadi pada 2009 sebesar 45% dan 2008 sebesar 63%. "Ini sudah bertahun-tahun terjadi, pada saat itu pungutan bea keluar sedang tinggi-tingginya, sedangkan harga TBS justru turun drastis," tandasnya.
Selain itu, Setiono juga mempertanyakan keseriusan janji pemerintah melakukan peremajaan kebun sawit dan mengembangkan industri hilir sawit dari hasil pendapatan BK CPO yang hingga kini belum terlaksana. Sejalan naiknya pendapatan negara dari BK CPO, seharusnya pemerintah meningkatkan bantuan dan pengembangan puluhan bahkan ratusan ribu petani sawit.
Menurutnya, hingga saat ini banyak petani sawit swadaya yang panennya tidak bagus.
Kebanyakan dari mereka tidak mendapat bimbingan apapun dari pemerintah. "Pemerintah itu harusnya meningkatkan bantuan kepada petani-petani sawit kecil daripada terus menggembar gemborkan industri hilir CPO. Setelah bertahun-tahun kami dipajaki, sekarang pemerintah berhutang sebanyak itu pada kami," ujar Setiono. (ant)
Dia menunjuk data BPS, sejak kuartal IV-2010 terjadi penurunan perkebunan sawit sebesar 31,9%, dan terus berlanjut pada kuartal I-2011 terjadi pertumbuhan negatif di sektor perkebunan sebesar 19,9%.
Menurut Latief BK CPO itu memang tidak menjadi faktor tunggal penurunan kinerja sawit. Sebab, masih ada berbagai permasalahan lain, seperti anomali musim, peremajaan tanaman sawit yang terlambat, pemeliharaan yang kurang baik. Serta kebijakan tata ruang yang simpang siur, rencana moratorium konversi hutan yang tidak pasti, dan lain sebagainya. "Semua masalah itu harus menjadi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan (stake holder) yang terlibat dalam pengembangna perkebunan kelapa sawit," tegas Latief Adam.
Lebih lanjut Latief menilai, kebijakan BK CPO yang progresif harus diganti dengan BK yang flat, karena pemerintah tidak akan mungkin menghapus kebijakan BK CPO. Sebab selama ini BK CPO merupakan strategi pemerintah untuk menutup pos-pos pemasukan dari BUMN yang kurang. "Jika rasio pajak Indonesia sudah ideal, mungkin BK bisa dihilangkan, seperti di Malaysia. Tetapi selama belum ideal, maka tidak akan mungkin dihilangkan," ujar Latief.
Latief mengimbau pemerintah agar bersikap adil. Jika pemerintah menerapkan bea masuk secara flat di kisaran 5 - 10 persen, maka BK juga seharusnya flat.
Dia mengungkapkan besaran yang pas untuk BK CPO yang flat adalah sekitar 5 persen. Selain itu, pemerintah dapat menerapkan kewajiban para produsen memasok pasar domestik (domestic market obligation/DMO) untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan CPO domestik. Ketentuan DMO akan membuat produsen CPO menjaga keseimbangan pasokan domestik dan ekspor.
"Pemerintah perlu mengimplementasi DMO. Dengan DMO, pemerintah mendapat keuntungan dari ekspor dan petani tidak terlalu dieksploitasi,"katanya.
“Semangat pertama BK CPO kan dibuat pada dasarnya untuk manajemen stok dalam negeri. Dengan DMO, pemerintah bisa menjamin pasokan dalam negeri, misalnya sebesar 20 persen,” katanya lagi.
Latief berpendapat bahwa kombinasi BK yang flat di kisaran 5% dan penerapan DMO akan memberikan dorongan kepada petani sawit agar lebih memperhatikan kebunnya. Apapun alasan yang dikemukakan pemerintah terkait penerapan BK CPO yang progresif, pemerintah harus lebih memperhatikan nasib para petani sawit yang selama ini menjadi pihak yang termarjinalkan.
"Setiap stake holder harus bersuara, setiap asosiasi petani harus bersatu, agar pemerintah tergerak `hatinya, sehingga tidak lagi mengeluarkan kebijakan yang merugikan petani," tegas Latief.
Menanggapi penegasan Latief Adam itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (Aspek-PIR) Riau Setiono mengatakan, kebijakan BK hanya menguntungkan pemerintah. Tetapi tidak menguntungkan kelompok petani. Di tengah melambungnya harga CPO di pasaran dunia, margin yang diterima petani tidak bertambah.
"Naik-turunnya harga tandan buah segar (TBS) memang mengindikasikan bahwa BK CPO paling banyak dibebankan pada petani. Makin tinggi BK CPO, harga TBS justru makin jatuh," kata Setiono.
Setiono juga menjelaskan, pada Maret 2011 lalu, ekspor CPO anjlok 41% dibanding bulan sebelumnya. Pada saat itu BK CPO dipatok pemerintah sebesar 22,5%, penurunan ekspor ini juga terjadi pada 2009 sebesar 45% dan 2008 sebesar 63%. "Ini sudah bertahun-tahun terjadi, pada saat itu pungutan bea keluar sedang tinggi-tingginya, sedangkan harga TBS justru turun drastis," tandasnya.
Selain itu, Setiono juga mempertanyakan keseriusan janji pemerintah melakukan peremajaan kebun sawit dan mengembangkan industri hilir sawit dari hasil pendapatan BK CPO yang hingga kini belum terlaksana. Sejalan naiknya pendapatan negara dari BK CPO, seharusnya pemerintah meningkatkan bantuan dan pengembangan puluhan bahkan ratusan ribu petani sawit.
Menurutnya, hingga saat ini banyak petani sawit swadaya yang panennya tidak bagus.
Kebanyakan dari mereka tidak mendapat bimbingan apapun dari pemerintah. "Pemerintah itu harusnya meningkatkan bantuan kepada petani-petani sawit kecil daripada terus menggembar gemborkan industri hilir CPO. Setelah bertahun-tahun kami dipajaki, sekarang pemerintah berhutang sebanyak itu pada kami," ujar Setiono. (ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar