Palembang. Nilai tukar petani padi dan palawija Sumatera Selatan mencapai 122,20 persen pada Januari 2012, berarti petani di daerah ini semakin sejahtera dibandingkan dengan tahun dasar 2007.

"Jika dibandingkan bulan sebelumnya, nilai tukar petani padi dan palawija Sumsel pada Januari 2012 turun 0,65 persen," kata Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel Haslani Haris di Palembang, Sabtu.

Ia menjelaskan penurunan tersebut karena indek harga yang diterima petani dari komoditas palawija, mengalami penurunan sebesar 0,34 persen.

Menurut Haslani, perkembangan nilai tukar petani padi dan palawija cukup berfluktuasi, namun kemampuan nilai tukarnya masih lebih baik dibandingkan tahun dasar 2007.

Hal tersebut, kata dia, ditunjukkan dengan besaran nilai tukar petani padi dan palawija di atas 100. Nilai tukar petani padi dan palawija tersebut berasal dari perbandingan antara indek harga yang diterima petani padi dan palawija terhadap indek harga dibayar petani untuk konsumsi rumahtangga dan biaya produksinya.

Selanjutnya nilai tukar petani hortikultura yang merupakan indikator untuk menunjukkan kemampuan daya beli petani jenis komoditas tersebut. Sama halnya dengan petani padi dan palawija, perkembangan nilai tukar petani hortikultura juga cukup berfluktuasi, katanya.

Ia mengatakan nilai tukar petani hortikultura pada Januari 2012 sebesar 115,46 persen, bila dibandingkan dengan bulan Desember 2011, nilai tukar petani komoditas itu mengalami penurunan sebesar 0,91 persen.

Penurunan nilai tukar petani hortikultura itu karena indek harga diterima petani mengalami kemerosotan sebesar 0,34 persen.

Komoditas hortikultura, kata dia, meliputi sayuran dan buah-buahan, dimana pada Januari 2012 indek harga komoditas sayuran mengalami peningkatan sebesar 1,65 persen, sementara buah-buahan terjadi penurunan 0,91 persen.

Selanjutnya, nilai tukar pekebun yang dipantau selama setahun terakhir menunjukkan angka cukup berfluktuasi. Penurunan nilai tukar pekebun terjadi sejak Januari 2008, dan berlanjut hingga memasuki tahun 2010 dengan nilai tukarnya di bawah 100.

Dikemukakannya, pada awal tahun 2011, pekebun di Sumsel masih mengalami defisit, dan hal tersebut ditandai dengan rendahnya harga beberapa komoditas perkebunan seperti karet, kopi, dan kelapa sawit atau buah sawit dimana komoditas itu merupakan andalan rakyat.

Menurut Haslani, pada bulan Januari 2012 nilai tukar pekebun mengalami defisit dengan nilai sebesar 91,17 persen.

Namun, bila dibandingkan dengan bulan sebelumnya, nilai tukar pekebun Sumsel pada Januari 2012 sebesar 119,44, dan pada bulan sebelumnya mencapai 119,77 atau terjadi penurunan karena merosotnya penerimaan petani dari komoditas karet dan kopi biji kering, katanya.

Penyebab lainnya, dari penurunan nilai tukar petani juga tergambar manakala pemerintah mengeluarkan kebijakan, seprti menaikkan harga bahan bakar minyak yang berdampak terhadap naiknya berbagai barang kebutuhan di masyarakat.

Hal tersebut, kata dia, tak terkecuali petanipun ikut merasakan dampak dari kebijakan pemerintah itu. Sementara kenaikan nilai tukar petani umumnya disebabkan karena harga komoditas hasil tanaman bahan makanan maupun hasil tanaman perkebunan rakyat naik.

Namun demikian, fluktuasi harga komoditas konsumsi rumahtangga dan biaya produksi serta penambahan barang modal juga mempengaruhi tinggi rendahnya nilai tukar petani, demikian Haslani.