Selasa, 25 Januari 2011

Bisnis Anggrek Tak Lekang Oleh Zaman




Bisnis tanaman hias tak ubahnya seperti tren mode. Pada saat jenis mode tertentu ngetren, saat itulah banyak peminatnya. Namun tak demikian dengan anggrek. Budidaya anggrek tidak pernah sepi. Tidak mengenal tren, seperti tanaman hias lainnya. Walaupun hanya datar-datar saja, namun bisnis anggrek tetap hidup dan tumbuh sepanjang masa.

Siapa yang tidak mengenal anggrek? Variasi bunganya bermacam-macam dan sosoknya cantik mempesona siapa saja yang melihatnya. Eksistensinya sebagai tanaman hias di Indonesia sudah cukup lama. Itu karena tanaman anggrek sudah dikenal, kira-kira sejak 200 tahun lalu dan sejak 50-an tahun terakhir mulai dibudidayakan secara luas.

I Komang Jhon Sanjaya, salah seorang penghobi anggrek asal Gianyar, Bali menyebutkan, selama ini anggrek memiliki pasar stabil dan harganya juga terus naik. Hanya saja memang sama halnya seperti tanaman hias jenis lainnya, harga tergantung dari spesies dan jenis anggrek.

Secara umum, kata Jhon , Indonesia merupakan habitat asli sekitar 6.000 spesies dari total 26 ribu spesies anggrek yang ada di dunia. Berarti spesies anggrek di Indonesia mencapai hampir 25 persen dari jumlah spesies di dunia. Hanya saja, dalam berproduksi dan berbisnis, di Indonesia masih kalah dengan negara Asia lainnya yang sudah banyak mendatangkan devisa dari anggrek.

“Secara umum, di Indonesia tanaman anggrek banyak terdapat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Papua dan Bali . Namun, sampai saat ini hampir sekitar 80 persen lebih petani anggrek di Indonesia masih ketergantungan dengan bibit impor untuk pembudidayaannya,” tutur Jhon.

Menurut Jhon, itu adalah akibat dari belum adanya perhatian pemerintah dalam pengembangan kultur jaringan untuk mendapatkan jenis anggrek baru dengan warna yang menarik dibandingkan impor. “Padahal, pengembangan tanaman anggrek merupakan peluang bisnis yang besar, karena harga di pasaran tidak pernah anjlok seperti tanaman hias lainnya,” katanya.

Dia lantas mengungkapkan, bibit anggrek yang diimpor penghobi Indonesia adalah spesies anggrek asli Indonesia yang dikembangkan secara profesional dan besar-besaran di negara lain. Thailand, kata John, mengembangkan anggrek melalui sistem kultur jaringan, sehingga mampu menghasilkan anggrek yang bersifat identik dengan induknya.

Karena itu, lanjut Jhon, pembudidaya anggrek di Thailand mampu memenuhi permintan anggrek dengan berbagai macam warna dan bentuk sesuai pesanan konsumen. “Nah, bibit (dari Thailand) itulah yang kemudian dikembangkan oleh pengusaha anggrek di Indonesia,” bebernya.

Usaha Turun Temurun

Seperti kata Jhon, anggrek memang berbeda dibanding tanaman hias jenis lainnya. Harga anggrek di pasaran tak pernah anjlok, sehingga bisnis tanaman hias jenis ini mampu bertahan dalam waktu yang cukup lama.

Hal itu mendapat pengakuan dari Johan, pengelola sekaligus pemilik kios anggrek Sanggrila di lantai I Pasar Petisah, Medan, Sumatera Utara. Pemuda berusia 27 tahun itu mengatakan, bisnis yang dia kelola itu sudah berjalan hampir 30 tahun lebih, melampaui usianya sendiri, namun hingga kini tetap stabil.

Johan mengungkapkan, bisnis anggreknya itu merupakan bisnis keluarga yang dirintis ayahnya, Ahok, sejak tahun 1980-an. Berawal dari hobi, Ahok menjajal usaha di bidang anggrek dengan membiakkan bibit puluhan jenis anggrek yang dia beli dari Jakarta, di atas lahan seluas 500 m2, di pekarangan rumahnya

“Kebanyakan bibit anggrek tersebut merupakan bibit anggrek impor dari Bangkok yang masuk ke Indonesia melalui agen di Jakarta, lalu dibiakkan bapak sampai akhirnya berhasil begini,” ujar Johan.

Memang tidak mudah, menjalankan bisnis anggrek. Di saat-saat awal merintis usaha itu, Ahok harus banting tulang memasarkan hasil kebunnya tersebut, dari rumah ke rumah. Namun kini, usaha keluarga itu telah memiliki dua outlet anggrek, satu di Pasar Petisah dan satu lagi di samping rumah tinggal mereka di daerah Skip Ujung, Sambu Baru, Medan.

“Sejak usaha ini dijalankan orangtua saya, perkembangannya meski tidak drastis yang pasti tidak pernah menurun. Bisa dikatakan bisnis anggrek tidak akan pernah mati selagi dikelola dengan profesional,” ujar Johan meski tak mau mengungkapkan, berapa kisaran pendapatan keluarganya dari usaha itu.

Anak kedua dari empat bersaudara keturunan Ahok itu mengatakan, selama ini hasil kebun anggrek mereka banyak diserap pasar di Aceh dan Pekanbaru. Mereka juga memasok pasar tanaman hias di beberapa daerah di Sumatera seperti Padang dan Lampung.

Bicara soal omzet, Johan mengakui bahwa harga bunga anggrek tidak pernah melambung tinggi seperti usaha lainnya. Harga tergolong netral sehingga tidak ada musim untuk memetik keuntungan lebih pada musim-musim tertentu. Meskipun diakuinya, jumlah penjualan bisa lebih meningkat pada musim-musim lebaran dan tahun baru.

Untuk harga juga cukup bervariasi, beda jenis beda harga. Untuk anggrek Dendrobium biasa dijual dengan seharga Rp 30.000 per batang. Anggrek lokal dijual dijual dengan kisaran Rp 50.000 per batang, anggrek impor Rp 70.000 per batang, dan anggrek jenis Cattleya Rp 120.000 per batang. Sedangkan untuk anggrek jenis Vanda dijual dengan kisaran Rp 130.000-Rp 150.000 per batang.

Peluang Ekspor

Prospek bisnis anggrek tak hanya cerah di pasar domestik, peluang anggrek Indonesia di pasar lura negeri cukup benderang. Minat masyarakat Jepang akan tanaman anggrek Indonesia meningkat setiap tahun.

Tahun 2010 lalu, permintaan dari negeri para Samurai itu meningkat sampai 30% dari tahun 2009. Pertumbuhan angka ekspor anggrek dari Indonesia ke Jepang antara 2009-2010 tersebut, lebih tinggi dibanding antara 2008-2009 yang hanya sekitar 15%.

Para penggemar anggrek asal Jepang menyukai anggrek Indonesia karena lebih bervariasi dan tahan lama. Anggrek incaran mereka adalah jenis Dendrobium yang menyokong 34% total ekspor anggrek ke Jepang, Oncidium Golden Shower (26%), Cattleya (20%), Vanda (17%), serta anggrek lainnya (3%).

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Anggrek dan Tanaman Hias Indonesia (Aspathias), Enny Boediardjo, menyatakan, tahun 2009, ekspor anggrek mencapai 1,08 juta kilogram dengan nilai mencapai USD 27 juta atau sekitar Rp 243 miliar.

Nilai total ekspor anggrek pada 2009 itu, meningkat sekitar 10% pada 2010. Sementara ekspor anggrek Indonesia ke Jepang, rata-rata mencapai sekitar 107.760-107.800 kg atau senilai USD 2,5 juta (lebih kurang Rp 22,5 miliar) per tahun.

Selain Jepang, tujuan ekspor lainnya adalah Taiwan 250.916 kg, Belanda 14.167 kg, dan Singapura 18.170 kg. Permintaan juga datang dari Korea Selatan, Pakistan, Hong Kong, Amerika Serikat, dan India.

Ekspor anggrek Indonesia dilakukan dalam tiga jenis, yakni benih, tanaman dan bunga potong. “Anggrek kita diminati karena Indonesia memiliki sepertiga jenis anggrek dunia,” terang Enny, September tahun lalu. Menurut Enny, saat ini di Indonesia hidup sekitar 4.000 jenis anggrek. Salah satu yang terpopuler adalah jenis Dendrobium. Pada krisis keuangan 2008, bisnis anggrek sempat goyah. Pasalnya, daya beli turun sehingga permintaan dunia juga merosot tajam. Tapi, kini permintaan mulai pulih.

Haryadi, salah satu pengusaha anggrek yang membuka toko di Sentra Taman Anggrek Ragunan (TAR) membenarkan cerita Enny. Pengusaha yang juga petani anggrek ini menuturkan, dari satu hektare produksi tanaman anggreknya, sekitar 45% di ekspor ke Jepang dan Singapura. Sedang sisanya dijual di Ragunan.

Dia juga menyatakan, kendati jumlahnya tidak banyak, terjadi peningkatan permintaan anggrek setiap tahun. “Setiap tahun langganan saya pasar Jepang. Bahkan tahun ini saya dan pengusaha anggrek di sini akan berekspansi ke Belanda,” katanya. Sejauh ini, anggrek milik Haryadi yang paling diminati adalah jenis Vanda Douglas. ins


Analisa Usaha Anggrek

Analisa usaha tani bibit anggrek botolan hasil perbanyakan secara generatif di laboratorium dihitung berdasarkan asumsi:

- Harga autoklaf dan peralatan laboratorium adalah Rp 15.000.000, dengan masa pakai 5 tahun.

- Harga entkast kayu Rp 1.000.000 dengan masa pakai selama 5 tahun.

- Harga 10 tanaman induk @ Rp 200.000: Rp 2.000.000, dengan masa produksi 5 tahun.

- Satu kali produksi (1 tahun) menghasilkan 5000 botol dengan harga Rp 25.000/botol.

- Harga berlaku di DKI Jakarta tahun 2005.

1. Biaya

a. Biaya tetap

- Sewa laboratorium dan rak selama 1 tahun: Rp 2.400.000

- Penyusutan autoklaf dan peralatan laboratorium: Rp 600.000

- Penyusutan Laminair air flow cabinet: Rp 500.000

- Penyusutan tanaman induk: Rp 200.000

- Tenaga pembibit 1 orang @ Rp 2.000.000/bln: Rp 24.000.000

- Tenaga kerja laboratorium 2 orang @ Rp 500.000/bl: Rp 12.000.000

- Biaya tidak terduga: Rp 2.000.000

Total Biaya tetap: Rp 41.700.000

b. Biaya tidak tetap

- 6.000 botol kosong @ Rp 1000: Rp 6.000.000

- Media dan kemikalia (36 x Rp 2.00.000): Rp 7.200.000

Total Biaya Tidak tetap: Rp 13.200.000

Total Biaya = Biaya tetap + biaya tidak tetap

= 41.700.000 + Rp 13.200.000

= Rp 54.900.000

2. Perhitungan Keuntungan

a. Pendapatan

Pendapatan diperoleh dari produksi bibit botolan sebanyak 5.000 botol x Rp 25.000: Rp 125.000.000

b. Keuntungan = Pendapatan - Total biaya

= Rp 125.000.000 - Rp 54.900.000

= Rp 70.100.000/tahun

= Rp 5.841.000/bulan

3. Kelayakan usaha

BEP = total biaya 54.900.000 : total produksi 5.0000 = 10.980

sumber: Yuni Astuti, Staf Pengajar Fak. Manajemen Agribisnis UMB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar