Kamis, 20 Januari 2011

Berita Pertanian : Panen Cabai Jeblok, Utang Menumpuk

Walau harga cabai merah besar sempat naik, petani cabai di Batu gigit jari karena gagal panen

BATU – Gagal panen cabai akibat anomali cuaca sepanjang 2010 menyisakan duka bagi sejumlah petani cabai di Kota Batu. Utang ratusan juta rupiah harus mereka tanggung akibat gagal memenuhi kontrak kerja mengirim pesanan cabai. Kondisi ini dialami anggota Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mitra Arjuna, Dusun Junggo, Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu.

Tahun lalu, Gapoktan Mitra Arjuna ini menjalin kerja sama pemasaran cabai dengan PT Mitra Tani Agro Unggul, Jakarta. Petani menerima bantuan bibit Rp 260 juta dengan kompensasi memasok cabai merah besar 700 ton selama setahun ke pihak PT Mitra Tani Agro Unggul.

“Tapi kami tak bisa memenuhi komitmen, karena petani mengalami gagal panen akibat cuaca buruk sepanjang tahun dan membuat tanaman rusak,” kata Ketua Gapoktan Mitra Arjuna, Lucky Budiarti, Rabu (19/1).

Selain utang kepada rekanan di Jakarta, para petani juga berutang ke pihak ketiga sebesar Rp 210 juta untuk kebutuhan lainnya. Sehingga secara keseluruhan petani memiliki utang sekitar Rp 450 juta, karena sudah mengangsur Rp 20 juta untuk utang di salah satu pihak.

Anomali cuaca sepanjang 2010 memang berdampak besar kepada para petani. Lahan cabai milik Luky, misalnya, dari seluas 20 hektare cabai merah, hanya 10 hektare saja yang bibitnya bertahan. Sisanya rusak diserang jamur paga sub batang dan daun bunganya.

Selain itu, produksi pertanian cabai juga merosot drastis. Bila biasanya 1 hektare mampu menghasilkan 1 ton cabai, sepanjang 2010 hanya menghasilkan 0,5 ton cabai merah. Akibatnya, tidak mungkin bisa menagih utang ke anggota Gapoktan karena gagal panen disebabkan cuaca buruk. "Saya menyadari karena memang kondisi cuaca membuat budi daya cabai merah gagal panen," tukas Luky.

Meski demikian, dia mengaku tak kapok mengelola organisasi petani. Pasalnya, mengorganisasi petani diperlukan agar nilai tawar petani kuat. "Saya baru saja dari Belanda, petani di sana semuanya berasosiasi. Mereka mengatur pola tanam hingga pengemasan dan penjualan hasilnya secara bersama. Akhirnya kontrol harga produk pertanian bisa dikendalikan oleh petani," terang Lucky.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan di Indonesia. Akibatnya harga produk pertanian sangat ditentukan pasar. Petani sering dibuat pusing oleh pedagang dan tengkulak. Oleh karena Lucky berharap upaya mengorganisir petani dalam kelompok-kelompok tani dan Gapoktan harus lebih ditingkatkan. "Tujuannya tentu agar ada perbaikan peningkatan kesejahteraan dari petani di Indonesia," tandas Lucky.

Sementara itu, harga cabai rawit masih tinggi di Jatim. Cabai rawit kualitas satu di Sidoarjo dan Surabaya tembus Rp 100 ribu/kg. Di Pasar Anom Baru Kab. Sumenep, Madura, harga cabai rawit Rp 90 ribu/kg.’’Pada hari Senin (17/1), kami masih menjual cabai rawit kualitas satu Rp80 ribu/kg dan sekarang menjadi Rp90 ribu/kg,’’ katanya di Sumenep, Rabu kemarin.

Sejak Desember 2010, harga cabai rawit tidak pernah turun dan terus naik. Sementara harga cabai merah besar sempat turun dari pekan lalu Rp40 ribu/kg menjadi Rp20 ribu/kg pada awal pekan ini. ’’Namun, pada Rabu ini, harga cabai merah besar naik lagi menjadi Rp22 ribu per kilogram,’’ katanya.(surabaya post)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar