BLOG Ricky Untuk Pertanian. Blog ini memuat tentang pertanian secara umum dan ada tambahan dari berita pertanian, tips ampuh berhubungan dengan pertanian, lowongan kerja bidang pertanian dan resep makanan-minuman dari hasil pertanian. Yang pasti Pertanian Untuk Negeriku Tercinta Indonesia.
Kamis, 29 September 2011
Bunga Dahlia Organik, Berastagi Karo
Bunga dahlia yang indah dan cantik dari Kab. Karo sangat diminati peminat bunga terutama di Medan, namun petani bunga di Tana Karo masih minim membudidayakan bunga dahlia ini karena harganya lebih murah dibanding bunga lainnya. Budidaya bunga dahlia ini menggunakan pupuk organik 100 % dan hasilnya semakin cantik (Foto RNP)
Tips Ampuh : Camilan Sehat Nonton TV
Nonton TV atau DVD sambil ngemil memang asyik. Jangan makan keripik kentang atau pisang goreng. Salah-salah kalori berlebihan yang masuk ke tubuh. Cobalah beberapa camilan sehat yang enak dan mudah didapat ini.
Akhir pekan ini tak ada rencana ke luar rumah? Nonton acara TV atau memutar DVD sejumlah film bisa jadi pilihan asyik. Camilan pun bakal bikin acara nonton makin komplet. Aneka keripik, kacang goreng, makanan gorengan,biskuit, dan minuman ringan sering menjadi pilihan.
Jika Anda sedang mencoba mengontrol berat badan atau berdiet lemak sebaiknya hindari makanan gorengan atau yang manis. Menurut catatan American Medical Association, menonton TV 2-3 jam per hari bisa memicu penyakit diabetes tipe 2 dan penyakit jantung. Hal ini disebabkan karena tubuh tidak bergerak sementara camilan cenderung banyak dan tidak sehat.
Ada banyak alternatif camilan sehat yang bisa dipilih seperti saran Marisa Moore RD yang diulas fitbie berikut ini :
Popcorn
Popcorn bukan camilan jelek. Cara sehat untuk menikmati popcorn sebaiknya tanpa menambahkan mentega dan sedikit garam. Sebagai gantinya bisa diberi oregano bubuk, bawang putih bubuk dan sedikit keju parmesan bubuk. Jangan sekali-sekali menambahkan keju leleh karena kalorinya sangat tinggi.
Pistachio
Kacang yang berkulit keras ini sering disebut kacang Arab. Jika ingin sesuatu yang renyah gurih pilihlah kacang ini. Satu porsi sekitar 49 butir mengandung kurang dari 200 kalori tetapi kaya protein, juga serat, zat besi dan kalsium. Karena kacang ini kulitnya keras maka Anda bakal butuh sedikit waktu untuk mengupas. Ini akan memperlambat Anda menghabiskan kacang sehingga jumlah yang dimakan akan berkurang pula.
Apel Plus Selai Kacang
Suka yang krenyes segar dan gurih? Ambil saja apel, bisa apel hijau atau merah lalu cuci bersih. Potong-potong apel berikut kulitnya lalu siapkan pula selai kacang natural. Apel rendah lemak dan kalori tetapi kaya serat dan vitamin C. Sementara selai kacang kaya akan protein.
Keju mozarella
Keju yang lentur berwarna putih ini banyak dijual di supermarket. Meskipun sedikit mahal, keju ini bisa jadi camilan enak. Sepotong sekitar 35 gram keju mozzarella ini akan memberi 35 kalori dan kalsium yang cukup. Jika suka, bisa dicelup dalam saus tomat segar.
Peluang Usaha Pertanian : AGRISBISNIS KOPI LANANG
Biar aneh bentuk bijinya, kopi lanang sungguh mantap harganya
Pamor kopi lanang memang belum setenar kopi luwak. Citarasanya yang tak kalah nikmat dibandingkan dengan kopi luwak memicu kenaikan permintaan kopi berbahan biji kopi berbentuk aneh ini. Tak heran harga kopi lanang terus melambung.
Dulu kopi luwak mungkin menjadi satu-satunya kopi khas Indonesia yang dibanggakan negeri ini. Tapi, selain kopi yang diproses melalui saluran pencernaan luwak (musang) ini, diam-diam masih ada kopi khas lain yang juga berkualitas. Namanya kopi lanang atau peaberry coffee. Sayang, belum banyak orang tahu jenis kopi ini.
Kopi ini disebut lanang lantaran bentuk bijinya berbeda dengan kopi pada umumnya. Lanang berarti laki-laki dalam bahasa Jawa. Disebut demikian karena bentuk biji kopi ini tunggal dan bulat, tidak terbelah seperti bentuk biji kopi pada umumnya. Meski demikian, sebenarnya kopi ini bukan varietas baru. Kopi lanang bisa dihasilkan oleh pohon kopi jenis robusta maupun arabika yang pada umumnya ditanam petani di Indonesia.
Menurut John M. Sianturi, pemilik CV Sukses Tani di Sidikalang, Sumatra Utara, salah satu produsen kopi, permintaan kopi lanang mulai muncul sejak tiga tahun silam. Sebagian besar berasal dari beberapa kota besar dan pusat wisata. Meski belum sebanyak kopi luwak, permintaan kopi lanang kian meningkat. Sayang dia hanya mampu menghasilkan sekitar 300 kilogram (kg) kopi lanang, padahal permintaan yang masuk bisa tiga kali lipatnya.
Permintaan kopi lanang yang tinggi bukan lantaran harganya murah, lo. Asal tahu saja, harga jual kopi lanang di pasar hampir setara dengan kopi luwak. John mengaku menjual kopi lanang seharga Rp 140.000–Rp 150.000 per kg. Bandingkan dengan harga kopi biasa (arabika atau robusta) yang dijual sekitar Rp 100.000 per kg. Bahkan, di Bali, harga jual kopi lanang jauh lebih mahal. Menurut Wirawan Tjahjadi, pemilik PT Putra Bhineka Perkasa, produsen kopi di Bali, harga jual kopi lanang bisa mencapai Rp 250.000 per kg.
Di Pulau Dewata, permintaan kopi lanang memang cukup banyak. John mengaku banyak memasok kopi lanang Sidikalang ke beberapa pembeli di Pulau Bali. Biasanya, peminatnya adalah usaha yang berkaitan dengan wisatawan asing (wisman). Sejauh ini, banyak wisman dari Korea Selatan dan Taiwan yang kebetulan sedang ke Bali, mencari kopi lanang sebagai buah tangan ketika kembali ke negara asalnya.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan pasar lokal. Peminat kopi lanang di pasar lokal memang belum banyak. Maklum, jenis kopi ini belum terlalu dikenal. Wirawan bilang, baru sebagian dari masyarakat di Pulau Jawa mengetahui adanya kopi lanang. Itu pun sebatas dari kalangan para penggemar kopi.
Nah, para penggemar kopi dari luar negeri yang jauh lebih paham akan citarasa kopi lebih mengenal jenis kopi ini. Mereka bahkan rela membeli dengan harga mahal untuk mendapatkan citarasa tertinggi. Menurut John, kopi lanang cukup banyak penggemar lantaran rasanya mirip dengan kopi luwak.
Selain sarat dengan kandungan kafein, yakni sekitar 2,1%, banyak orang yakin kopi lanang berkhasiat menambah vitalitas kaum pria. Namun, hingga saat ini memang belum ada penelitian yang sudah membuktikan klaim tersebut.
Karena kelebihan yang dimiliki oleh kopi lanang ini, permintaan jenis kopi ini terus meningkat. John bilang, permintaan dari Bali masih sangat tinggi. “Sebenarnya, berapa pun kami mampu produksi pasti akan ditampung,” ujarnya.
Wirawan menambahkan, harga jual kopi lanang yang sedemikian tinggi bukan menjadi halangan bagi para konsumen. John mengaku sampai kewalahan memenuhinya. “Permintaannya sampai satu ton per bulan. Tetapi, kami belum sanggup memenuhi,” ujarnya.
Permintaan ini baru datang dari wisatawan, belum dari kedai-kedai kopi premium yang kini menjamur di beberapa kota besar, seperti Jakarta.
Produksi minim
Selama empat bulan terakhir, Wirawan mengaku hanya mendapatkan pasokan sebanyak 250 kg sebulan. Pasokan sesedikit ini sudah mencakup hasil panen di perkebunan kopinya di daerah Kintamani, Bali, dan kiriman dari beberapa petani di Sumatra Utara. John juga menuturkan pengalaman serupa. Produksi kopi lanang dari kebun kopinya hanya sebanyak 300 kg sebulan.
Volume produksi kopi lanang yang sangat minim ini memang cukup beralasan. Kopi lanang bukan dihasilkan oleh budidaya biasa. Layaknya perlakuan pada kopi luwak yang harus spesifik, kopi ini sebenarnya tak bisa dibudidayakan secara khusus.
Kopi lanang sebenarnya hasil sortiran kopi biasa saat panen. Kalau Anda berminat membudidayakan pohon kopi yang bisa menghasilkan biji kopi lanang, ada banyak syarat yang harus dipenuhi. Pertama, lokasi penanaman harus berada di ketinggian minimal 1.500 meter di atas permukaan laut (dpl). Daerah dingin, menurut John, akan menghasilkan biji kopi terbaik. Padahal, tidak semua petani kopi memiliki lahan di ketinggian tersebut.
Syarat kedua, petani harus mengurangi serangga penyerbuk. Ini bertujuan agar bunga kopi mengalami stres sehingga menghasilkan biji kopi yang tidak normal. Tapi, kata John, cara budidaya ini belum banyak dilakukan lantaran berisiko merugikan petani yang berharap panen kopi normal.
Ketiga, kopi lanang biasanya banyak dihasilkan dari pohon kopi tua. Sayangnya, pohon kopi yang sudah tua sering ditebang karena dianggap tidak menghasilkan biji kopi terbaik. Padahal, menurut John, pada saat berusia 10 tahun, pohon kopi tersebut berpeluang menghasilkan biji kopi lanang terbaik. Sebab, bunga kopi di pohon kopi tua sering tidak mendapatkan penyerbukan yang sempurna. Akibatnya, lebih mungkin akan berbentuk banyak biji kopi lanang.
Karena itu, John menyarankan, para petani yang di kebunnya terdapat pohon kopi berumur tua mempertahankan pohon tersebut. “Justru itu akan memberi nilai tambah pada petani,” ungkapnya. Meski hasil kopi tidak banyak, nilai jualnya malah mungkin jauh lebih tinggi ketimbang kopi biasa.
Berita Pertanian : Pengusaha Asing Incar Produk Holtikultura Tanah Karo
Berastagi. Hasil pertanian holtikultura dari Tanah Karo kini mulai banyak diincar para pengusaha luar negeri seperti dari Korea,Taiwan, Singapura dan Malaysia. Hal ini terlihat dengan adanya sejumlah kontrak kerja sama yang terjalin antara pengusaha luar negeri dengan petani melalui sistem kerja sama bercocok tanam. Adapun komoditas holtikultura dari Tanah Karo yang diminati kalangan investor dari sejumlah negara itu diantaranya brokoli, kentang, ubi jalar, ubi kayu, terong besar, kol, sawi putih, lobak, asperagus dan sayur peleng.
Salah satu staf penghubung antara pengusaha dan petani di Tanah Karo, Sugono dari perusahaan CV Bintang Anugerah yang berlokasi di Berastagi, mengatakan kini minat pengusaha luar negeri untuk menanamkan modalnya di bidang holtikultura semangkin tinggi.
"Penanaman modal oleh pengusaha luar negeri itu telah banyak dilakukan untuk penanaman sejumlah komoditas holtikultura di Kecamatan Merek, Kecamatan Naman Teran dan Kecamatan Barus Jahe. Kerja sama mereka lakukan dengan petani langsung ataupun melalui sejumlah perusahaan pengelola tanaman di Tanah Karo ini," katanya, Selasa (27/9), yang ditemui di Berastagi.
Dikatakannya, para pengusaha itu langsung teken kontrak dengan petani dengan terlebih dahulu memberikan bibit dan pinjaman pupuk, yang di bayar saat panen. "Dalam kontrak itu seluruh hasil panen petani akan ditampung pengusaha bersangkutan. Sedangkan mengenai harga pembelian produk yang diminati telah ditetapkan dahulu, dan harga itu tidak akan naik ataupun turun saat panen telah tiba," ujarnya.
Sugono mencontohkan seperti yang sudah dilakukan sebuah perusahaan asal Korea. "Perusahaan itu berminat pada komoditas brokoli, ubi jalar, kentang dan sayur peleng. Perusahaan ini pun kemudian melakukan kontrak kerja sama penanaman dengan petani. Bibit yang dibutuhkan semua mereka yang sediakan dan hasil panennya mereka yang tampung. Sedangkan harga yang ditetapkan sebesar Rp 1.000 untuk setiap batang brokoli, kemudian ubi jalar Rp1.300 per kg, kentang Rp4.500 per kg, dan sayur peleng Rp5.000 per kg," ujarnya.
Selain perusahan ini, sebut Sugiono yang juga dikenal sebagai staf ahli pengolahan hasil ubi jalar dan asperagus ini, masih banyak lagi perusahaan lainnya yang juga telah menjalin kerja sama untuk menampung hasil pertanian holtikultura petani di Tanah Karo.
Dengan cukup tingginya minat pengusaha luar negeri akan produk hasil pertanian dari Tanah Karo, pihaknya selaku pendamping para petani mengaku bangga karena dengan system ini masa depan pertanian di Tanah Karo diyakini akan mudah berkembang.
"Namun kita tetap berharap adanya campur tangan dari pemerintah agar kerja sama seperti ini semakin banyak terjadi dan dapat melindungi petani pada setiap kontrak yang terjadi," ungkapnya.
Sementara itu, Surya Sitepu, salah seorang petani asal Desa Gong Pinto, yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan investor luar untuk penanaman brokoli saat ditemui MedanBisnis, kemarin, di lokasi perladangannya mengatakan, ia mengaku tertarik menjalin kerja sama ini karena ia anggap lebih menguntungkan disebabkan harga jual komoditas yang ia tanam telah diketahui sejak awal. Selain itu ia juga terbantu dalam pengadaan bibit dan pupuk.
"Di desa kami, selain saya, ada 9 petani lainnya yang juga ikut menjalin kontrak kerja sama penanaman dengan investor luar dengan luas lahan 8 hektare yang sudah siap tanam, dan masih banyak yang sedang dalam pembibitan," sebutnya.
Menurut Surya, sistem kerja sama ini sangat membantu mereka, karena selain lahan bisa semuanya terpakai karena adanya bantuan bibit dan pupuk, harga yang ditawarkan kepada petani juga cukup menguntungkan.
Berita Pertanian : Berikan 10% APBN untuk Melindungi Petani
Medan. Sektor pertanian sudah sepantasnya mendapatkan bagian 10% dari jatah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kondisi lingkungan pertanian yang telah banyak berubah serta kondisi cuaca yang sulit diprediksi, menyebabkan produksi pertanian banyak mengalami penurunan.
Dia mengatakan, dalam keadaan yang sangat terbatas seperti saat ini, petani membutuhkan adanya terobosan anggaran guna membangun usahanya. "Cara berpikir kita sebaiknya dirubah dengan memandang sektor pertanian menjadi sektor penting dalam pembangunan bangsa,"katanya.
Terobosan anggaran dibutuhkan untuk menanggulangi dampak anomali iklim. Anomali iklim tidak hanya mengakibatkan penurunan produksi tapi akan berdampak pada lonjakan harga komoditas yang merugikan konsumen, namun petani tidak mendapat keuntungan karena harga jual produk mereka tidak setinggi ditingkat pengecer. Hal ini terlihat dari penjualan cabai dan sayuran di pasaran.
Selain pemberian subsidi kepada petani, pemerintah juga harus melindungi harga ditingkat petani.
Pemerintah harus menetapkan bea masuk pada produk-produk pertanian impor, sehingga harganya tidak menjatuhkan produk pertanian lokal.
"Harga produk pertanian impor yang ada saat ini sangat murah menyebabkan kerugian besar bagi petani lokal. Hal yang kita takutkan adalah petani tidak lagi bergairah menanam karena resiko rugi yang cukup tinggi,"katanya.
Disamping dampak negatif dari anomali iklim dan fasilitas yang serba terbatas, sebagian petani menemukan berbagai inovasi dalam budidaya tanaman. Dia mengatakan, banyak inovasi yang dilakukan petani dan ternyata bisa sukses. Contohnya seperti, dalam mengatasi tanaman bawang busuk saat hujan, petani melakukan inovasi teknik budidaya dengan memperdalam parit.
Rasa Kopi Indonesia Terfavorit di Dunia Berkat Gunung Berapinya
EMPAT kopi Indonesia, di antaranya kopi Toraja, kopi Mandailing, kopi Jawa, dan kopi Papua.menjadi favorit masyarakat dunia. Apa kunci cita rasa khasnya?
Ada beberapa faktor juga yang menyebabkan kopi Indonesia punya cita rasa khas dibanding kopi produksi negara lain.
“Kita memiliki banyak pegunungan berapi dan kopi dari sana pasti bagus. Indonesia juga beriklim tropis dan cenderung sejuk di malam hari. Belum lagi tekstur tanah, udara, ketinggian, itu yang bikin kopi kita enak,” kata Pranoto Soenarto, Wakil Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI) Bidang Spesialis dan Industri Kopi saat ditemui dalam “Bedah Kopi bersama Excelso” di Grand Indonesia, Sudirman, Jakarta, baru-baru ini.
Kopi Indonesia punya banyak ragam dengan cita rasa yang originalitas. Supaya Anda tidak salah memilih kopi yang tidak bermutu, ketahui tip mudah mengetahuinya.
“Biji kopi yang warnanya hijau kepekatan, bentuknya sempurna,” imbuhnya.
Kopi selain nikmat untuk diminum juga punya banyak manfaat pada tubuh manusia, terlebih kalau berbicara soal kesehatan manusia.
“Kopi bisa mengurangi kanker. Kopi juga bagus untuk jantung karena perputaran darah menjadi lebih cepat sehingga penyumbatan dalam pembuluh darah berkurang,” tutupnya
Senin, 26 September 2011
Peluang Usaha Pertanian : Emping berkembang berkat usaha Sumini
SENTRA EMPING MELINJO, KLATEN
Desa Kuncen di Kabupaten Klaten adalah salah satu sentra produksi emping melinjo. Lebih dari 100 perajin memproduksi emping melinjo dengan peralatan yang masih sederhana. Marak sejak 1980-an, Sumini membawa keberhasilan usaha emping melinjo sehingga ditiru penduduk desa.
Klaten adalah salah satu kabupaten yang terletak di antara Yogyakarta dan Surakarta atau Solo. Selain terkenal sebagai salah satu lumbung padi di Provinsi Jawa Tengah, Klaten juga memiliki produk unggulan lain, yaitu emping melinjo.
Sentra produksi emping melinjo di Klaten terletak di Desa Kuncen, Kecamatan Ceper. Dari ibu kota kabupaten, Kuncen berada sekitar 10 kilometer ke arah Solo. Cukup mudah untuk menemukan lokasi sentra pembuatan emping melinjo ini, letaknya cukup strategis berada di pinggir sebelah kiri Jalan Raya Yogya-Solo.
Di Desa Kuncen, kurang lebih ada 100 perajin emping melinjo. Mereka memproduksi emping di rumahnya masing-masing dengan menggunakan peralatan tradisional dan sederhana.
Walau menjadi sentra industri emping melinjo, kondisi Desa Kuncen tak jauh beda dibandingkan dengan desa lain di Jawa Tengah. Hanya saja, di rumah-rumah penduduk biasanya memiliki bagian lain untuk memproduksi emping melinjo.
Tempat produksi tersebut dibuat semi permanen dari anyaman bambu serta berlantai tanah. "Membuat emping melinjo menjadi kegiatan sehari-hari," kata Tri Wijilestari, salah satu perajin emping, sambil terus sibuk menjemur emping basah di atas anjang atau anyaman bambu.
Hampir di seluruh pinggir jalan Desa Kuncen, berjejer anjang berukuran 1 meter (m) x 1 m. Anjang tersebut dipakai untuk menjemur melinjo yang sudah digepengkan. Kegiatan produksi emping melinjo di sentra ini memang masih dilakukan secara rumahan atau home industry. Para perajin masih mengandalkan anggota keluarga inti untuk membuat emping. Kalau pun mempekerjakan karyawan, biasanya mereka hanya merekrut tetangga sendiri.
Seperti keempat karyawan Tri yang semuanya masih tetangga dekat. Mereka memproduksi rata-rata 30 kg emping melinjo tiap hari. Dengan harga jual per kilogram mencapai Rp 28.000 sampai Rp 29.000, menurut Tri, perajin emping di Desa Kuncen rata-rata bisa mengantongi omzet lebih dari Rp 20 juta setiap bulan.
Omzet yang diraih para perajin cukup membantu ekonomi masyarakat yang kebanyakan bergantung pada pertanian. "Usaha ini bisa dikerjakan di sela-sela kesibukan bertani," ujar Tri. Bahkan untuk mendukung perkembangan usaha pembuatan emping melinjo, saat ini para perajin emping melinjo mendirikan kelompok usaha emping melinjo bernama Mekar Sari.
Tri menceritakan, usaha pembuatan emping melinjo Desa Kuncen mulai marak tahun 1980-an. Saat itu ada salah satu warga yang berhasil berbisnis emping melinjo, namanya Sumini. Sebelum mendirikan usaha sendiri, Sumini dulunya merupakan karyawan pabrik pembuatan emping di Solo. "Saya capek jadi pekerja, akhirnya saya putuskan berhenti dan membuat emping sendiri," ujar Sumini.
Sumini mengajak para tetangganya untuk membantu membuat emping. Melihat keberhasilan Sumini membuat dan memasarkan emping melinjo sendiri, banyak masyarakat desa mengikuti.
Karena itulah kebanyakan perajin emping melinjo Desa Kuncen dulunya adalah pekerja Ibu Sumini. "Saya dulunya juga hanya pekerja biasa," kata Inuk Saminem, salah satu perajin di Desa Kuncen. Ia memutuskan untuk memulai usaha sendiri setelah beberapa tahun berselang bekerja di Ibu Sumini.
Walaupun jumlah pengusaha emping melinjo di Desa Kuncen semakin bertambah, namun tiap perajin memiliki pangsa pasar sendiri-sendiri. Contohnya Tri, setiap satu minggu sekali ia mengirim emping melinjo mentah ke pasar-pasar di Klaten. Ada 10 pelanggan yang siap untuk menampung produksi emping Tri dengan permintaan bervariasi mulai 10 kg hingga 40 kg. "Kita tidak ada rebutan lahan," ungkapnya.
Bahkan menurut Tri, jika ada warga yang produksinya berlebih, antar perajin saling bantu penjualan. Sebab, dengan jumlah produksi yang terbatas, permintaan permintaan di pasaran banyak.
Jaga stok bahan baku agar laba tidak layu
Dengan harga jual cuma Rp 28.000-Rp 29.000 per kilogram (kg), perajin hanya bisa memetik laba Rp 4.000 per kg. Namun, keuntungan yang tak seberapa itu bakal terkikis habis bila perajin tak pandai-pandai menyediakan stok bahan baku di saat paceklik biji melinjo.
Menjadi perajin emping melinjo merupakan pekerjaan sambilan yang bisa menjadi tumpuan penghasilan bagi warga di Dukuh Metukan, Desa Kuncen, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dan kebanyakan perajin emping melinjo itu adalah ibu rumah tangga.
Di sana, para ibu rumah tangga mengolah biji melinjo menjadi emping seusai membantu sang suami menggarap sawah. Meski pekerjaan sambilan, ibu-ibu ini tampak serius menggarap emping melinjo. Lihat saja, agar pekerjaan lebih fokus, mereka sengaja mendirikan bilik kecil dari bambu sebagai "pabrik" pengolahan melinjo.
Seperti yang dilakukan Tri Wijilestari. Perajin emping melinjo asal Kuncen ini membuat bilik persis di sebelah rumahnya. Tujuan Tri membuat bilik agar lebih konsentrasi dalam memproduksi emping. "Kalau ada tempat sendiri, kami juga bisa lebih fokus bekerja," terang Tri.
Dengan modal Rp 1 juta, Tri membangun bilik sederhana itu. Di bilik itulah Tri memproduksi emping dibantu beberapa pekerja yang masih tetangganya sendiri.
Nah, agar kerja mereka lebih efektif, Tri pun membuat pembagian tugas, yakni ada pekerja yang khusus mengupas kulit melinjo, menyangrai melinjo, hingga menggeprak hasil sangraian melinjo itu menjadi emping.
Untuk memproduksi emping melinjo terbilang sederhana. Biji melinjo harus disangrai terlebih dahulu dengan menggunakan pasir agar kulit arinya terkelupas. Setelah itu, biji melinjo dibentuk menjadi emping dengan cara digeprak hingga pipih. "Mengepreknya butuh alat bantu," kata Inuk Saminem yang juga perajin emping melinjo di Kuncen.
Alat bantu mengeprek biji melinjo itu terbuat dari besi berbentuk alu yang beratnya 3 kilogram (kg)- 3,5 kg.
Setelah biji melinjo digeprak, selanjutnya di jemur di bawah sinar matahari hingga benar-benar kering. Setelah itu baru dikemas dalam plastik dan dipasarkan.
Ketekunan perajin membuat emping melinjo itu sempat dilirik pemerintah. Sebagian perajin pernah mencicipi bantuan pemerintah berupa kompor, wajan serta anyaman bambu berbentuk kotak berukuran 1 meter 2. "Bantuan modal yang belum ada," ungkap Tri.
Sama dengan bisnis lainnya, perajin emping melinjo juga mengalami masa susah. Terutama saat pasokan biji melinjo menipis sehingga membuat harga bahan baku membubung. Agar tetap bisa produksi, biasanya perajin harus selalu siap dengan stok bahan baku. Kalau tidak punya stok, perajin tentu harus keluar ongkos lebih besar untuk membeli biji melinjo.
Padahal, harga emping melinjo cuma Rp 28.000-Rp 29.000 per kg. Setelah dikurangi ongkos produksi, perajin biasanya mengantongi laba bersih sebesar Rp 4.000 per kg.
Namun saat harga biji melinjo melejit, keuntungan yang diperoleh perajin menipis. Bahkan, sebagian perajin pernah merugi karena biaya produksi tak sepadan dengan harga jual. "Kami sulit naikkan harga karena pembeli sudah langganan," ujar Tri.
Bentuk paguyuban untuk perkuat modal
Para perajin emping itu tak cuma rajin menggeprak buah melinjo. Sebagian dari mereka juga aktif berorganisasi dengan membentuk paguyuban Mekar Sari. Sayang, dari 100 perajin emping, hanya 25 orang saja yang ikut bergabung dalam paguyuban Mekar Sari.
Seiring makin banyaknya jumlah perajin emping melinjo di Dukuh Metukan, Desa Kuncen, Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten, perajin pun berinisiatif membentuk organisasi pada 2001 lalu. Organisasi perajin ini mereka beri nama paguyuban Mekar Sari.
Dengan paguyuban ini, para perajin emping ini terbantu dari sisi permodalan. "Kalau ada anggota yang membutuhkan dana, paguyuban siap membantu," kata Sumini, Ketua Paguyuban Mekar Sari.
Namun, lebih penting dari soal modal adalah rasa persaudaraan di antara perajin terpelihara dengan adanya paguyuban ini. Sayangnya, dari sekitar 100 warga yang memproduksi emping melinjo, hanya 25 orang saja yang ikut bergabung.
Inuk Saminem, salah satu anggota paguyuban Mekar Sari ini menilai, dengan adanya paguyuban koordinasi lebih mudah. Alhasil, jika ada bantuan, sasarannya pun lebih jelas.
Paguyuban ini tidak mengikat anggota soal jumlah produksi atau penyeragaman harga. "Susah kalau dibatasi seperti itu," terang Inuk.
Seminggu sekali, para perajin ini selalu mengadakan pertemuan. Mereka juga dikutip iuran wajib sebesar Rp 2.000 per minggu, untuk kas organisasi.
Dari uang kas inilah, bantuan permodalan mengalir. Tentunya nilainya juga tak seberapa. Tetapi setidaknya mengurangi kesulitan perajin memperoleh modal.
Masalahnya, bantuan modal dari paguyuban itu tak pernah cukup bisa perajin sedang menghadapi kurangnya pasokan bahan baku.
Meski populasi tanaman melinjo di Klaten masih tinggi, namun tetap belum bisa mengimbangi permintaan industri emping. "Produksi emping lokal sangat terbatas, sehingga kami sering membeli melinjo dari Banten," ujar Tri Wiji Lestarai, perajin emping.
Kondisi inilah yang memberatkan para produsen emping ini. Jika harga biji melinjo asli Klaten hanya Rp 9.000 per kilogram (kg), harga biji melinjo dari Banten bisa lebih mahal Rp 3.000.
Pasokan bahan mentah dan sulitnya permodalan, sejatinya memang kendala utama para perajin itu. Padahal industri rumahan emping melinjo ini adalah pekerjaan yang banyak menyerap tenaga kerja. Lihat saja, mulai dari panen melinjo, pengupasan kulit buah, proses pembuatan emping, pemasakan (oven) dan pengemasan hingga pemasaran, semuanya memerlukan tenaga kerja dalam jumlah yang tidak sedikit.
Itulah sebabnya, petani berharap, pemerintah mau campur tangan membentu kesulitan para perajin emping ini. Selain bantuan teknis berupa cara memproduksi emping yang lebih baik dan lebih higienis, para perajin itu jelas membutuhkan bantuan permodalan. Setidaknya ada petunjuk bagaimana cara memperoleh modal kerja itu.
Tanpa modal yang memadai, perajin jelas bakal kesulitan mengembangkan usaha. "Seperti saya yang membutuhkan modal tambahan untuk mengantisipasi kenaikan harga biji melinjo," keluh Tri.
Ya, begitulah nasib perajin di negeri ini.
Berita Pertanian : Petani Kesulitan Bibit Kentang Berkualitas
Menurutnya, produksi kentang Sumut rendah lantaran sebagian besar petani kentang masih kesulitan mendapat bibit kentang yang berkualitas. Sejauh ini petani hanya memakai bibit kualitas rendah sehingga produktivitas sangat rendah.
Sementara itu, Kepala Bidang Bina Hortikultura Distan Sumut, Yulizar membenarkan bahwa selama ini petani kentang di Sumut masih kesulitan memperoleh bibit kentang berkualitas. "Sebenarnya bibit itu ada, cuma harganya yang sangat mahal sehingga belum bisa dijangkau petani," kata Yulizar.
Di Sumut, kata dia, tersedia sejumlah komoditas bibit, seperti G1, G2, G3 hingga G4. Berdasarkan kualitasnya, G1 dinilai lebih berkualitas dan lebih produktif dibanding G4.
Sayang, karena keterbatasan dana, para petani kentang cenderung memilih bibit berkualitas rendah yaitu bibit G4. Harganya Rp9.000 per kg di tingkat penangkar. Bibit ini rata-rata memproduksi 18 ton hingga 20 ton per hektare tiap panen asalkan pengaturan masa tanam dan produksi petani terus dibina.
Untuk itu, kata dia, selama ini pihaknya bekerja sama dengan Balai Benih di tingkat kabupaten/kota yang ada di Sumut untuk terus mengembangkan bibit kentang yang berkualitas sehingga bisa menggenjot produktivitas kentang.
"Tentu dengan adanya kerja sama ini juga, diharapkan petani bisa menjangkau bibit berkualitas disamping kami memberi bantuan bibit kepada petani seperti di Simalungun dan Tanah Karo," pungkasnya.
Berita Pertanian : Sulawesi Selatan Ekspor Sayuran ke Singapura
Direktur CV Atka Jaya, Multasyam, yang menjadi mitra Pemprov Sulsel dalam pengiriman perdana komoditas sayuran ini, mengatakan, potensi pasar sayuran di Singapura sangat menjanjikan. Dia mengaku telah mendapat penawaran mencapai 12-15 kilogram per bulan namun tak mampu menyiapkan sebanyak itu, karena terkendala bahan baku dan persyaratan standardisasi.
Salah satu buyer yang menjadi mitra di Singapura adalah PT Alamanda. Perusahaan ekspor impor sayur-sayuran (vegetables) itu, siap dengan volume berapa pun sepanjang sesuai standar yang dibuktikan dengan sertifikat. "Kami ditawari 12-15 kilogram per bulan. Itu baru jenis buncis dan cabe. Kalau kentang masih dalam tahap persiapan. Kentang harus siap stoknya karena potensinya besar. Mungkin 19 Oktober nanti akan kami mulai lagi untuk kentang," bebernya.
PT Garuda Indonesia memberikan keringanan tarif kargo untuk pengiriman perdana. Rate normal sebenarnya USD1,5 atau sekira Rp16 ribu per kilogram diturunkan menjadi USD0,65, setara Rp6.000 per kilogram.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulsel (Disperindag) Irman Yasin Limpo usai peresmian ekspor perdana menjelaskan, komoditas ini, akan mengisi kebutuhan supermarket di Singapura. Sebelum pengiriman pihaknya telah melakukan standardisasi sesuai permintaan pembeli di Singapura.
Meski pengiriman sayuran kemarin, baru uji coba, Irman berharap bisa kontinu setelah ada kepercayaan dari konsumen. "Setelah pengiriman hari ini, selanjutnya kita akan evaluasi," ungkapnya.
Pasar sayur-sayuran di Singapura sambung Irman, berbeda dengan di Indonesia. Sistem pasar Singapura lebih banyak ditentukan asosiasi. Karena itu, ekspor perdana sayur-sayuran asal Sulsel ini, berjaringan langsung dengan asosiasi penyalur buah dan sayuran. "Setelah tiba di sana (Singapura, red), pembeli tentu akan memilah sebelum dilepas ke pasar," tambahnya.
Rintis India
Sementara itu, Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, mengatakan, ekspor perdana sayuran ke Singapura, baru sekadar uji coba. Menurut dia, ekspor langsung palawija segar bukan pekerjaan mudah. "Ada standardisasi dan aturan yang harus kita penuhi seperti bebas pestisida," ungkap Syahrul.
Sampel ekspor sayuran seberat 330 kilogram dan ikan 1,4 ton dikirim melalui kargo Garuda Airlines langsung dari Makassar ke Singapura. Kargo Garuda Airlines ke Singapura terbang empat kali sepekan. "Setelah Singapura kami akan coba masuk ke India, Malaysia, dan Hong Kong. Kami berusaha untuk itu. Minimal kita masuk dulu. Mudah-mudahan mereka suka dengan hasil bumi Sulsel," ungkap Syahrul.
Berita Pertanian : Petani bukan buruh dalam "food estate"
Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, Senin mengatakan, selama ini program food estate sering disalahartikan seolah-olah petani akan menjadi buruh sedangkan pengusaha yang akan menguasai lahan tersebut.
"Petani tetap menjadi motor dalam food estate. Tidak benar jika petani nantinya menjadi buruh," katanya ketika menyampaikan hasil kunjungan ke Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur.
Dalam kunjungan ke Kabupaten Bulungan, Mentan Suswono sempat melakukan launching food estate Delta Kayan di SP 8 desa Tanjung Buka, Kecamatan Tanjung Selor.
Menurut dia, nantinya petani tetap mengelola lahan food estate, namun dengan skala yang luas melalui sistem intensifikasi sehingga produktivitas bisa dinaikkan.
Menyinggung pengembangan food estate secara nasional, dia menyatakan sudah ada di Merauke Papua, namun masih terkendala lahan dan infrastruktur.
Oleh karena itu, food estate akan dimulai dari mana saja yang memungkinkan untuk dikembangkan.
Dia menegaskan food estate itu tidak akan mendistorsi harga produk petani. Sementara itu, jika produk pangan di dalam negeri, kata dia, akan diekspor, mengingat kondisi pangan global sudah mulai kekurangan. "Jadi, berapapun jumlah pangan, pasti akan laku di pasar," katanya.
Sementara itu Pemkab Bulungan, Kaltim, menyediakan lahan 30 ribu ha untuk kawasan pangan terpadu skala luas (food estate) Delta Kayan, yang hingga saat ini sudah ada tiga investor yaitu PT Miwon Indonesia, PT Sang Hyang Seri (Persero) dan Solaria.
Bupati Bulungan Budiman Arifin mengatakan ada potensi lahan di Delta Kayan Bulungan seluas 30.000 ha yang dapat dikembangkan menjadi kawasan pangan terpadu skala luas atau food estate.
Lokasi tersebut, kata dia, sudah ada yang ditempati oleh masyarakat dan petani setempat serta ada yang dicadangkan untuk transmigran, namun, sebagian besar lahan di Delta Kayan masih kosong.
Miwon Indonesia telah membuat demplot 10 ha untuk jagung dan sudah pernah panen dari total lahan yang diberikan 3.245 ha.
PT Sang Hyang Seri (persero) sudah membuat lahan 20-50 ha untuk pabrik benih untuk kebutuhan di Kalimantan selain itu BUMN tersebut akan mengembangkan pabrik benih.
Bupati mengatakan, dari sisi infrastruktur pengangkutan, maka dalam sebulan ada tujuh kapal Surabaya dengan kapasitas 1.500 ton.
"Selama ini, petani bingung dalam memasarkan produk pertanian. Oleh karena itu, dengan adanya investor itu, maka sudah tidak kesulitan lagi," katanya. (ant)
Hari Tani: Membangun Kembali Kebanggaan Seorang Petani
Kelahiran Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 dimaknai sebagai Hari Tani Nasional (HTN). Tepatnya 24 September. Jadi tahun ini,@HTN sudah berumur 51 tahun yang selayaknya dimaknai sebagai hari rayanya kaum tani. Sebagaimana layaknya hari raya yang lain maka hari ini seharusnya menjadi peringatan tonggak suka citanya kaum tani di Indonesia. Namun pertanyaannya, apakah sukacita itu ada di dalam wajah Pak Tani kita hari ini?
Menurut saya satu-satunya cara untuk membangun kembali kebanggaan petani adalah dengan memperbaiki kesejahteraan para petani. Petani yang hari ini identik dengan kemiskinan harus mengalami transformasi sesungguhnya yang menjadi akar kemiskinan para petani. Sekarang bagaimana membawa kesejahteraan bagi para petani yang miskin itu?
Hal pertama adalah transpormasi faktor internal para petani. Kebanggaan menjadi seorang tani akan tumbuh tidak lain dan bukan harus ditumbuhkan oleh petani itu sendiri. Saya melihat budaya malas bekerja keras masih dominan di dalam kehidupan para petani. Saya pernah mendengar bahwa sering sekali para petani akan berhenti bekerja setelah masa panen selesai. Sehingga yang terjadi adalah hasil panen akan habis untuk memenuhi kebutuhan hidup semata. Padahal jika setelah panen para petani tersebut mengusahakan tanaman lain sebelum masa tanam utama tiba tentunya akan memberikan pemasukan yang lebih banyak kepada petani. Atau sebagai contoh, seorang buruh tani di Tanah Karo yang dapat menerima upah harian seorang buruh tani berkisar 40-60 ribu per hari. Kalau saja ia bekerja enam kali seminggu maka sebenarnya ia akan mendapatkan penghasilan sebesar sekitar 1 jutaan per bulan. Dan itu sebenarnya tidak tergolong miskin, karena berpenghasilan di atas 20 ribu per hari. Namun karena budaya malas dan merasa sudah cukup untuk makan, maka terkadang lebih sering buruh tani hanya bekerja beberapa hari seminggu. Ibaratnya setelah habis uang dulu baru bekerja kembali.
Peningkatan Etos Kerja
Hal inilah yang harus diubah di dalam diri para petani kita hari ini. Hari tani seharusnya memberikan hikmat dan perenungan terhadap peningkatan etos kerja. Peningkatan terhadap semangat kerja keras. Karena tanpa kerja keras dari diri petani itu sendiri, maka kemiskinan akan tetap identik dengan hidup petani. Dan menurut saya itu yang menjadi kunci kesuksesan para petani di Tanah Karo. Kalau kita melihat para ibu rumah tangga sendiripun harus bekerja keras diladang. Kalau hari biasa kecuali hari minggu maka akan sulit kita temui para ibu rumah tangga di rumah karena pada umumnya mereka bekerja diladang.
Faktor yang kedua adalah faktor eksternal. Perhatian pemerintah untuk mencabut akar kemiskinan di dalam tubuh para petani mutlak dibutuhkan. Perhatian itu harus dilakukan dengan investasi pertanian. Sebagaimana yang disarankan dan dorongan Bank dunia agar negara berkembang mencanangkan untuk mengadakan investasi pertanian untuk mengentaskan kemiskinan. Namun sayang seribu kali sayang hal ini rasanya sulit terwujud.
Investasi pertanian tidak dapat dilakukan disebabkan kurang memadai infrastruktur pertanian. Kalau dulu kita mendengar ada pembanguan irigasi air untuk mendistribusikan perairan untuk pertanian, namun sekarang infrastuktur apa yang dicanangkan pemerintah untuk memajukan para petani? Hampir tidak pernah terdengar. Perbaikan jalan dan transportasi juga masih jalan ditempat sehingga hal ini mengganggu produktivitas hasil pertanian dan distribusi sehingga margin biaya distribusi tinggi. Jalan ke desa-desa rusak berat dan bahkan di banyak desa harus dilalui dengan kendaraan gerdang dua. Kondisi ini sama dengan emencekikf leher para petani karena ongkos distribusi pertanian yang sangat besar. Sehingga kalau kita sederhanakan saja yang diharapakan petani di hari tani ini, yakni perbaiki infrastruktur jalan.
Begitu juga dengan harga pupuk dan pestisida. Pemerintah harus memberikan kebijakan yang berpihak kepada para petani. Memang benar terdengar kabar pupuk subsidi. Tetapi sering sekali pupuk subsidi itu tidak sampai ke tangan petani karena pengaruh kongkalikong para pengusaha dan penguasa. Di tambah lagi para petani yang harus menghadapi sendiri kalau terjadi hama. Seperti yang dialami petani jeruk di Tanah Karo akhir-akhir ini. Ketika hama buah menyerang petani jeruk, apa peran pemerintah untuk bersama-sama dengan petani menanggulangi hal itu? Tidak ada. Petani harus berjuang sendiri. Mereka harus mengeluarkan biaya pemeliharan yang lebih besar dengan membeli pestisida yang harganya selangit, yang sebenarnya juga tidak menjamin hama buah akan teratasi. Kalau harga pemeliharaan selangit ditambah lagi harga komoditas pertanian murah maka benarlah petani akan mati suri. Jadi kepada pemerintah investasi dibidang penanggulangan hama juga mendesak untuk diperhatikan pemerintah. Perlu diaktifkan pusat kajian dan laboratorium penanggulangan hama di dinas-dinas pertanian. Jangan biarkan petani menderita sendiri terhadap serangan hama tak kenal ampun itu.
Jadi kalau ada peningkatan etos kerja dan investasi pertanian dari pemerintah, niscaya kemiskinan yang hari ke hari semakin melekat di dalam hidup mereka akan terkikis setahap demi setahap. Dengan demikian sebagaimana seharusnya, seorang Pak Tani di negeri ini juga memiliki sukacita dan kebanggaan bisa terjadi. Setidaknya diawali melalui hari tani ini. Selamat Hari Tani.
Penulis adalah anak petani dan bangga Menjadi Anak Petani.
Jeruk Medan yang Semakin Ditinggalkan
"Sudah tidak ada yang mau lagi mengembangkan tanaman jeruk. Virus lalat buah semakin membuat biaya produksi tanaman jeruk bertambah, sedangkan keuntungan tidak banyak," ujarnya kepada MedanBisnis beberapa waktu lalu.
Domina yang kini masih mempertahankan tanaman jeruknya seluas setengah hektare, tidak lagi mengharapkan keuntungan dari tanaman tersebut. Bahkan untuk memeliharanya agar memiliki produktivitas yang baik pun sudah enggan, karena virus lalat buah yang sulit dikendalikan.
"Dulu saya punya lahan satu hektare tanaman jeruk, tapi sekarang tinggal setengahnya saja. Ini pun saya sudah mulai malas merawatnya karena modal terlalu besar dan virus lalat buah tidak bisa dibasmi," akunya.
Mengembangkan tanaman jeruk ini, dijelaskan Domino membutuhkan biaya produksi yang tidak murah. Dalam perbatang pohon memerlukan biaya Rp 50.000 pertahun atau Rp 25 juta perhektare pertahun dengan jumlah 500 batang tanaman jeruk.
Ini belum lagi biaya untuk pengutipan jeruk yang akan panen, ditambah lagi perawatan lainnya untuk mendapatkan buah yang maksimal. Biaya semakin menggunung, datangnya virus lalat buah dapat menggugurkan buah bahkan mengakibatkan tanaman tidak lagi produktif. "Bayangkan saja, dari perkiraan 10 ton buah yang berbuah, hanya sekitar 100 kg saja yang bisa dipanen dan dipasarkan. Ini sangat merugikan, apalagi dilihat dari biaya produksi yang begitu tinggi," jelasnya.
Biasanya perpohon bisa menghasilkan 40 kg buah jeruk untuk tanaman yang sudah berusia delapan tahun ke atas. Tapi karena adanya serangan lalat, bisa menurunkan hingga 50% produksi.
"Musim panen jeruk dua kali dalam setahun atau sekitar Juli dan Desember. Jika tidak ada serangan hama, maka buah bisa banyak yang dihasilkan," ujarnya.
Tidak menguntungkannya mengembangkan tanaman jeruk, membuat banyak petani mengalihkan tanaman ke komoditas lain seperti jagung, coklat dan kopi. Selain harga jual yang tinggi, biaya produksi tidak terlalu besar. "Untuk tanaman kopi harga jualnya mencapai Rp 25.000/kg dan jagung Rp 2.500/kg. Ini sudah sangat lumayan karena tanaman tidak terlalu merepotkan dan biaya produksinya juga tidak banyak," kata Domino.
Tidak hanya Domino yang merasakan rugi mengembangkan tanaman jeruk, petani jeruk lainnya di Desa Gurusinga Kecamatan Brastagi, Kabupaten Karo, Aturan Gurusinga (37) pun mengaku hal yang sama. Menurutnya, serangan virus lalat buah sudah menjadi momok menakutkan buat petani menanam jeruk. Belum lagi, dengan panjangnya mata rantai pendistribusian penjualan jeruk manis dari petani, pedagang pengumpul, toke, agen besar hingga ke tangan konsumen membuat keuntungan petani semakin sedikit.
"Hal ini diperparah dengan naiknya harga pupuk, anti hama dan tingginya biaya perawatan, menyebabkan petani jeruk di Tanah Karo lambat laun mulai terpuruk," imbuhnya.
Terpuruknya jeruk lokal asal Sumut ini, membuat pamor jeruk impor dari China semakin kinclong. Produksi buah lokal yang semakin sedikit dan membanjirnya jeruk impor di pasaran, membuat masyarakat lebih memilih jeruk impor yang memang memiliki tampilan bagus dengan harga lebih murah.
Sebenarnya, harga jeruk lokal masih bisa dipertahankan meskipun bersaing dengan jeruk impor. Namun, kata Aturan, pemerintah harus dapat menyediakan industri hilir atau pusat pengolahan seperti pabrik juice jeruk, tomat dan juice buah-buahan lainnya. Karena untuk jeruk yang berukuran kecil atau biasanya dijual dengan harga Rp300 hingga Rp500 perkg ini sering tidak laku di pasaran hingga harus dibuang ke jurang oleh petani.
Petani sendiri pun, tidak semuanya memiliki modal yang banyak dalam hal perawatan seperti pemberian pupuk untuk mendapatkan buah produksi yang melimpah. Pemberian pupuk biasanya harus dimulai dari tanaman berusia delapan tahun dengan banyaknya ukuran pupuk sekitar 2 kg perbatang dan harus diberi dalam waktu dua atau tiga bulan sekali dalam masa tanam.
Selanjutnya, tanaman berusia 10 tahun diberi pupuk sebanyak 3 kg perbatang dan tanaman diatas usia 15 tahun sebanyak 4 kg perbatangnya.
"Ini semua butuh biaya yang besar, kalau petani tidak mempunyai banyak modal biasanya membiarkan saja tanaman. Padahal pohon jeruk dapat berproduksi selama 40 tahun jika mendapat perawatan yang baik. Sedangkan untuk tanaman yang dibiarkan tidak dipanen atau membiarkan buah menjadi busuk di pohon mengakibatkan tanaman cepat mati atau tidak bisa berproduksi selama satu tahun ke depan," jelas Aturan.
Penurunan produksi akibat serangan lalat buah kali ini telah meresahkan petani, terutama para petani jeruk di kecamatan sentra produksi jeruk seperti Kecamatan Tiga Panah, Barus Jahe, Merek, Berastagi, dan Kecamatan Simpang Empat. Tanaman jeruk banyak mengalami kerusakan.
Memang, kata Domino, para petani jeruk melakukan pemagaran dengan benang jaring halus, seperti kelambu. Karena setiap buah jeruk yang sudah diserang hama lalat buah tidak dapat diselamatkan, hanya selang satu hari saja buah tersebut sudah jatuh ke tanah. Tapi tidak semua petani bisa melakukan pengendalian ini karena memerlukan modal untuk memagar tanaman jeruk dengan 125 batang petani harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 8 juta.
"Meski telah menggunakan alat pengaman berupa dinding jaring halus, serangan lalat buah tetap ada. Tidak semua petani bisa menerapkan teknik pengendalian lalat buah dengan menggunakan dinding halus ini karena biaya produksinya cukup besar," jelasnya.
Selain pengendalian serangan virus lalat buah, petani juga berharap pemerintah melakukan upaya stabilitas harga jeruk di pasaran, agar petani tidak merugi terus menerus. Dengan begitu pertanian jeruk di Tanah Karo dapat dipertahankan bahkan bisa menjadi sentra penghasil jeruk terbesar di Sumut dan Indonesia.
Apalagi dengan datangnya jeruk impor asal China dan Pakistan untuk tahun depan, akan semakin menganggu keberadaan jeruk lokal. "Ini pasti akan semakin menenggelamkan keberadaan produksi jeruk lokal. Sebab sekarang saja kita sudah ketar-ketir dengan banyaknya jeruk impor dari China, ditambah lagi pemerintah mengizinkan masuknya jeruk kino dari Pakistan. Kalau begini keadaannya petani pasti akan semakin merugi dan akan meninggalkan tanaman jeruknya," kata Domino.
Kondisi sekarang, tambahnya, dengan banyaknya serangan hama dan penyakit pada tanaman jeruk membuat biaya produksi tanaman semakin tinggi. Ini belum sebanding dengan harga jual jeruk dan permintaan yang banyak dari pasar. Penurunan produksi jeruk juga karena jeruk lokal masih kalah pamor dibandingkan jeruk impor terutama dari negeri China, sehingga menimbulkan pergeseran minat masyarakat. Ukuran buah dan warna jeruk lokal berbeda dengan jeruk luar negeri sehingga kurang menarik. "Padahal Sumut penghasil jeruk nomor satu di Indonesia seperti dari Karo, Dairi, Tapanuli Tengah, Simalungun, dan Kabupaten Tapanuli Selatan," ungkapnya.
Bantuan Bibit
Untuk mengembangkan dan meningkatkan produksi tanaman jeruk di Sumut yang telah mengalami penurunan akibat serangan virus yang mematikan tanaman, Dinas Pertanian (Distan) Sumut akan memberikan bantuan bibit jeruk di daerah sentra. Menurut Kabid Bina Hortikultura Dinas Pertanian Sumut, Yulizar, bantuan bibit tanaman jeruk yang akan diberikan tahun ini sebanyak 7.400 batang di daerah sentra seperti Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Dairi dan Kabupaten Karo.
"Bantuan ini merupakan upaya pemerintah dalam pengembangan produksi jeruk lokal di Sumut," katanya belum lama ini.
Dikatakan Yulizar, komoditas jeruk merupakan buah lokal yang harus dikembangkan karena memang masih memiliki permintaan pasar yang tinggi. Namun diakui, produksi jeruk semakin turun akibat enggannnya petani mengembangkan tanaman karena adanya serangan virus seperti lalat buah.
Yulizar merincikan, bantuan bibit tanaman jeruk ini akan diberikan di Kabupaten Tapanuli Utara sebanyak 1.200 batang, Tapanuli Tengah 3.600 batang, Dairi sebanyak 1.200 batang dan Kabupaten Karo sebanyak 1.400 batang. "Ini bantuan tahun 2011 dan luas tanam jeruk saat ini mencapai 15.970 hektare," katanya.
Pengembangan tanaman jeruk, lanjutnya, memang harus dilakukan sebagai upaya peningkatan produksi jeruk lokal ditengah membanjirnya buah impor dari China dan Pakistan pada tahun depan.
"Selain bantuan bibit, kita juga memberikan sosialisasi dan pelatihan berkaitan dengan pengembangan produktivitas tanaman. Untuk serangan hama lalat buah memang sudah menjadi momok menakutkan buat petani karena menambah biaya produksi meskipun harga jual sudah mulai tinggi," kayanya.
Menurutnya, produksi jeruk berkaitan dengan kebijakan impor dari pemerintah. Karena selama ini harga jeruk lokal jauh lebih mahal dibandingan jeruk impor yang penampilannya lebih menarik. Padahal mutu jeruk impor tersebut jauh lebih rendah dari jeruk lokal.
"Produksi akan bertambah jika didukung dengan industri pengolahan jeruk seperti sirup, dan manisan. Namun selama ini, industri yang mengolah jeruk masih sedikit," pungkasnya.
Domino, petani jeruk di Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo, mengatakan, petani banyak yang belum merasakan adanya bantuan dari pemerintah dalam pengembangan tanaman jeruk. Apalagi untuk membasmi serangan virus lalat buah yang membuat produksi jeruk semakin menurun sehingga pasokan di pasaran pun semakin sedikit.
"Harga jeruk di pasar saat ini memang tinggi sekitar Rp 6.500/kg karena produksinya sedikit. Tapi untuk mendapatkan buah yang ukuran besar sudah sangat sulit, karena kualitas buah yang dipanen petani semakin menurun," jelas Domino.
Meski harganya tinggi, namun itu tidak membuat petani bergairah untuk mengembangkan tanaman jeruknya lagi. Serangan hama dan biaya produksi yang tinggi, membuat petani enggan untuk mempertahankan tanaman jeruknya. Kondisi ini pula yang membuat tanaman jeruk di Kabupaten Karo sebagai sentra holtikultura di Sumut banyak yang tidak produktif.
Ketua Asosiasi Petani Jeruk Indonesia Kabupaten Karo, Saul Surbakti, mengatakan, tingginya biaya produksi tanaman jeruk yang mencapai Rp 200.000 per pohon (mulai tanam hingga panen perdana) sangat memberatkan petani untuk mempertahankan tanamannya. Biaya yang mahal tersebut difaktori tingginya kebutuhan obat pengendali serangan hama dan penyakit pada tanaman jeruk.
Namun, pihaknya terus berupaya melakukan penyuluhan kepada petani untuk mau mengembangkan tanaman jeruk yang biasa disebut Jeruk Medan ini karena komoditas tersebut merupakan unggulan Sumut yang sudah terkenal seantero Indonesia. Meski memang bantuan dari pemerintah Sumut untuk mengendalikan serangan hama pada tanaman jeruk masih sangat minim, bahkan belum nampak upaya mempertahankan komoditas tersebut.
Aturan Guru Singa, petani jeruk lainnya mengakui, lahan tanaman jeruk yang selama ini dikembangkannya sudah beralih ke tanaman lain seperti jagung, kol bunga dan kentang. "Dulu luas tanaman jeruk yang saya kembangkan mencapai 10 hektare, tapi kini bersisa 3 hektare saja. Menanam jeruk ini belum begitu menguntungkan, jadi petani kurang bergairah," akunya.
Menurutnya, tanaman jeruk sudah lama terserang hama lalat buah yang dapat menggugurkan buah bahkan mengakibatkan tanaman tidak pruduktif kembali.
Harga yang bagus saat ini, diakui Aturan, tidak membuat petani langsung berkenan kembali mengalihkan tanaman ke jeruk karena belum ada jaminan harga akan terus tinggi. Sebab, harga yang diperoleh tersebut hanya akan habis digunakan untuk membeli obat dan perawatan tanaman dari serangan hama sehingga keuntungan tidak bisa dinikmati petani.
"Kalau pemerintah mau menjamin harga jualnya dan membantu petani mengendalikan serangan hama, mungkin produksi jeruk dapat kembali ditingkatkan. Karena sampai saat ini permintaan jeruk dari luar propinsi masih banyak, tapi produksi kita yang terus menurun," imbuhnya.
Berdasarkan data, produksi jeruk di Sumut, tahun 2007 mencapai 961.918 ton. Namun turun dan menjadi 856.019 ton pada 2008. Tetapi, tahun 2009 produksi jeruk kembali naik menjadi 861.530 ton dengan tanaman jeruk yang menghasilkan 5.172.995 pohon dan produktivitas 166,54 kg per pohon nya. (yuni naibaho)
Tips Ampuh : Tiga Tips Memilih Telur Yang Bagus
TELUR tersembunyi di dalam cangkangnya yang keras. Bila tak jeli memilih, siap-siapa kecewa, apalagi telur yang sudah dipecah tak bisa disatukan kembali.
Banyak orang suka santapan berbahan telur. Telur lezat bila digoreng, dimasak bersama nasi untuk menu nasi goreng, direbus, dan sebagainya. Telur juga menjadi komponen penting dalam pembuatan kue.
Namun, tahukah Anda bagaimana memilih telur yang baik? Simak pemaparannya dari Ehow.
1. Pegang telur, lalu cium baunya. Telur busuk akan mengeluarkan aroma menyengat.
2. Taruh telur ke dalam mangkuk yang telah diisi air. Usahakan takaran air cukup untuk merendam telur. Jika telur tenggelam dengan cepat, itu berarti telur masih bagus. Jika mengapung, telur tidak bisa dipakai lantaran busuk.
3. Pecahkan telur di atas piring. Jika bentuk telur sangat datar atau jika bagian putih telur lebih transparan, berarti telur sudah tidak segar
Sabtu, 24 September 2011
Tuntut Kesejahteraan, Petani Geruduk Istana & HI
Agus Rully, Koordinator aksi, mengatakan selama51 tahun Hari Tani Nasional namun persoalan terhadap petani malah makin banyak.
"Petani dihadapkan dengan berbagai persoalan dari tanah sampai masalah impor pangan," kata Agus saat ditemui okezone di Bundaran HI, Sabtu (24/9/2011).
Menurut Agus sebagian besar petani di Indonesia merupakan buruh tani, bukan sebagai pemilik lahan. "Contoh di Karawang sebagian besar tanahnya milik orang Jakarta, dan petani hanya sebagai buruh,"terangnya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), lanjut Agus, terdapat 37 juta jiwa petani yang hidup dalam garis kemiskinan.
"Sebagain besar dari mereka tidak memiliki tanah, dan hanya sebagai penggarap lahan,"tegasnya.
Pantauan Okezone, ratusan petani yang melakukan demo berasal dari Pendeglang, Lebak, Serang, Banten, dan Cirebon. Sebagaian besar dari mereka membawa keluarganya, mereka datang menggunakan kurang lebih sekitar 20 bus.
Para petani melakukan start di masjid Istiqlal dan menggelar aksi di Istana Negara. Setelah berorasi sekira dua jam, massa akhirnya melakukan longmarch ke Bundaran HI dan membubarkan diri.
"Kami akan datang kembali pada Senin besok dengan masa yang lebih besar, dan akan melakukan orasi di depan gedung DPR," tambah Agus.
Petani Indonesia Masih Miskin
Para petani mengungkapkan keprihatinannya karena masih banyaknya petani miskin di Indonesia.
Hingga Maret 2011 kondisi kehidupan para petani di Indonesia masih miskin. “Dari sensus pertanian terakhir tahun 2003m, penduduk yang rentan miskin sebanyak 27 juta jiwa, jumlah tersebut berasal dari petani gurem. Petani gurem ini mengolah tanah garapannya di bawah 0,5 hektar. Sementara dari hasil proyeksi Serikat Petani Indonesia (SPI) pada tahun 2008 mencatat 15,6 juta jiwa atau 55,1 persen petani gurem,” kata Sukardi Bendang, Dewan Pengurus Wilayah SPI Sumatera Barat saat peringatan Hari Tani Nasional ke-51 di Taman Budaya Padang, jalan Diponegoro, Sabtu (24/9/2011).
Sukardi mengatakan dari jumlah tersebut, bila setiap kepala keluarga memiliki 3 orang anak saja, maka jumlah penduduk miskin ini bertambah menjadi 78 juta jiwa. “Tingginya angka prosentase petani gurem tersebut jelas menggambarkan ketimpangan agraria begitu besar dan pada akhirnya menyebabkan konflik agraria. Dalam catatan Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2011 ada 2.791 kasus pertanahan,” ungkapnya.
Kondisi petani ini semakin memprihatinkan karena pertanian di Indonesia secara umum masih subsiten, kepemilikan kepemilikian lahan yang sempit yang berdampak kepada pendapatan para petani yang rendah. Di satu sisi petani tidak memiliki sertifikat yang biasa digunakan agunan.
“Dengan kondisi ini menjadikan petani terjebak kepada tengkulak maupun rentenir yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Meski kondisi tercekik namun itulah solusinya para petani bisa mendapatkan modalnya dan para rentenir sendiri memberikan kemudahan proses peminjaman,” tambah Sukardi.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan agraria dan konfliknya, dimana pemerintah berjanji untuk mendistribusikan tanah-tanah kepada para petani melaluhi Program Agraria Nasional (PPAN). “Janji itu disampaikan saat peresmian program strategis pertanahan yang digagas oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kawasan Cilincing, Jakarta Utara pada bulan Januari 2010,” ungkap Sukardi.
Kemudian janji kedua disampaikan pada bulan September 2010 di istana melalui Staf Khusus Kepresidenan (SKP) Bidang Pangan dan Energi dan SKP Bidang Otonomi Pembangunan Daerah. Bahkan janji ketiga kalinya di sampaikan Kepala BPN pada peringatan hari Tani ke-50 di Istana Bogor bahkan saat itu Kepala BPN mengatakan soal pendistribusian tanah-tanah ke petani sudah dirumuskan pada peraturan pemerintah (PP) tentang reforma agraria.
“Padahal Indonesia sebagai anggota FAO seharusnya melaksanakan pembaharuan agraria sebagai salah satu rekomendasi dari International Conferrence on Agrarian Reform and Rural Development tahun 2006 di Proto Alegre,” katanya.
Namun janji tinggal janji pemerintah justru mengeluarkan kebijakan melaluhi berbagai Undan-undang yang menyimpang dari UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 5 tahun 1960. Sebagai contoh UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air yang mengakibatkan privatisasi sumber air, UU No.18/2004 tentang perkebunan yang mengakibatkan ratusan petani dikriminalkan, Perpres 36/2005 dan revisi Perpres 67/2006 tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dan UU No.27/2007 tentang penanaman modal yang membenarkan pemodal menguasai secara dominan disektor pertanian pangan dan perkebunan.
“Dan terakhir adalah kebijakan korporatisasi pertanian dan pangan yang intinya memberikan ruang dan otoritas besar bagi korporasi untuk menguasai lahan pertanian dan produksinya,” terang Sukardi.
Carut marutnya kondisi pertanian saat ini menurutnya sangat mendesak yang dilakukan pemerintah adalah melaksanakan pembaharuan agraria yang sejatinya adalah upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang dan memungkinkan eksploitas manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendikan kepada keadilan agraria.
“Keadilan agraria yang dimaksud adalah dimana dijaminnya tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan agraria oleh segelintir orang. Kemudian didukung dengan kebijakan harga pembelihan hasil produksi pertanian, tata niaga yang berpihak pada produsen kecil dan mekanisme keuangan petani,” ujarnya.
Peternak Lampung manfaatkan batang jagung saat kemarau
Sukadana. Sejumlah peternak di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung, memanfaatkan batang jagung (tebon) menjadi pakan ternak di saat musim kemarau ini.
"Rerumputan banyak yang kering, namun petani jagung banyak yang panen sehingga petani yang juga memiliki hewan ternak memanfaatkannya untuk pakan," kata Jamar, peternak di Desa Batubadak, Kecamatan Jabung, Lampung Timur, Sabtu.
Ia mengatakan, tebon tersebut didapatkan hanya dari daerah setempat karena banyak petani jagunh yang sudah panen pada saat ini.
"Tebon dari petani jagung yang sedang panen, dengan memangkas pucuk-pucuk batang jagung yang sudah dipanen tersebut," katanya.
Menurut dia, daerah tersebut sebagian besar merupakan kawasan ladang sehingga banyak masyarakat yang menanam jagung, sedangkan biasanya ditanam saat curah hujan tinggi agar tidak kekeringan.
"Meskipun ada tanaman padi juga kering akibat musim kemarau yang terjadi sekitar tiga bulan ini," katanya.
Ia mengatakan, saat ini ternak sangat sulit digembalakan karena daerahnya bebatuan sehingga tanaman hijauan banyak yang kering dan ternak sapi enggan memakannya.
Peternak di Kecamatan Sidorejo, Syafei, mengatakan bahwa saat ini banyak orang seperti dia yang hanya menggandalkan batang jagung untuk pakan ternak sapi karena tanaman hijauan lain kering akibat kemarau.
"Batang jagung tersebut sebagian disimpan untuk persediaan beberapa hari dan sebagian langsung diberikan ke ternak," katanya.
Ia pun mengemukakan, daerahnya relatif subur, dan bila curah hujan datang, maka dalam waktu singkat rerumputan untuk pakan sudah melimpah lagi.
Peternak lain, Pawito, justru menerapkan cara lain untuk mendapatkan pakan ternak. Ia telah menanam rumput gajahan di sekeliling areal perladangan sehingga saat kemarau seperti ini tidak kekurangan pakan.
"Setiap pagi hari hanya tinggal memangkas rumput tersebut karena penanamannya luas, maka mencukupi untuk ternak," katanya.
Selain itu, ia menyatakan, rumput tersebut cepat sekali tumbuh sehingga jika sebagian dipangkas beberapa hari kemudian di bagian lain sudah tumbuh karena pemangkasan dilakukan secara bergiliran agar tidak langsung habis.
"Sebagian peternak yang mempunyai ladang luas pasti menanam rumput jenis ini untuk mempermudah mendapatkan pakan sehari-hari," katanya menambahkan.
Agroindustri dinilai katup pengaman hadapi krisis global
"Juga untuk peredam gejolak jika terjadi krisis ekonomi di tingkat nasional," katanya pada Simposium Nasional Agroindustri IV di Bogor, Jawa Barat, Sabtu, yang mengusung tema "Penguatan Agroindustri: Gerakan Memakmurkan Bangsa".
Seminar yang diselenggarakan Departemen Teknologi Industri Fakultas Teknologi Pertanian (TIN-Fateta) IPB itu dibuka oleh Rektor IPB Prof Herry Suhardiyanto dan dihadiri Perwakilan United Nations, Industrial, Development Organization (UNIDO) Dr Imran Farooque, Dr Ir Atih Surjatih Herman, MSc dari Ditjen Agro Kementerian Perindustrian, dan Presdir PT Kelola Mina Laut Ir Mohammad Nadjikh.
Menurut Eriyatno, dinamika perekonomian nasional sejak awal abad ke-21 telah banyak dipengaruhi dengan perubahan yang terjadi di dunia akibat pergeseran peranan sektor riil ke arah domain sektor finansial, serta meningkatnya keterbukaan pasar dunia sebagai konsekuensi globalisasi perdagangan.
Karena itu, kata dia, dengan posisi strategis sebagai katup pengaman dan peredam gejolak krisis tersebut, maka agroindustri disebutnya "perlu bermetamorfosa".
"Metamorfosa itu tidak hanya sebagai wahana mencari keuntungan bagi para pemilik modal besar, tapi juga terkait fungsi kebersamaan komunitas lokal, serta kepedulian sosial yang mendasari tercapainya kesejahteraan rakyat," katanya menegaskan.
Ia mengatakan, kepentingan nasional untuk menjaga kedaulatan ekonomi negara, sekaligus mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia, haruslah menjadi arahan strategis setiap kebijakan publik yang dihubungkan dengan kegiatan agroindustri.
Kemudian, hubungan sebab-akibat yang erat antara sumberdaya alam dengan kegiatan agroindustri, mewujudkan aspek pelestarian dan penyehatan lingkungan menjadi lebih dipentingkan ketimbang maksud-maksud bisnis yang memaksimalkan keuntungan perusahaan.
Dengan demikian, kata dia, diperlukan suatu pola pikir dan perencanaan strategi yang baru dari kegiatan agroindustri dalam kurun waktu 10 tahun ke depan dengan memperhatikan kejadian empiris 10 tahun belakangan.
"Jadi secara konseptual harus ada pemikiran terhadap agroindustri yang mencakup definisi, rencana strategi dan agenda pembangunan," kata Eriyatno.
Sementara itu, pengajar TIN-Fateta IPB Dr Ir Aji Hermawan, MM, menyatakan agroindustri perlu dikembangkan dalam kerangka tatanan perekonomian yang berbasis pada sumberdaya lokal.
"Juga berorientasi pada masyarakat dan mengabdi untuk membangun kehidupan yang lebih baik bagi semua, serta tidak hanya meningkatkan keuntungan dan pertumbuhan," kata ketua komite pelaksana simposium nasional tersebut.
Ia mengatakan, dijiwai semangat patriotik, dinamika sistem tersebut membutuhkan keberanian dan perubahan yang kreatif dari cara mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi.
Karena itu, dibutuhkan prinsip keberlanjutan dengan mempertimbangkan keseimbangan 3P (people, planet, dan profit), dan implikasi kebijakan memperhatikan tiga aspek, yaitu sosial, ekologi dan usaha.
"Berbagai aspek agroindustri yang dijalankan selama ini perlu transformasi signifikan meliputi aspek pembiayaan, teknologi, manajemen, kelembagaan dan pendidikan," kata doktor lulusan Manchester Business School, The University of Manchester, Inggris itu.
Pihaknya berharap hasil simposium yang menghadirkan berbagai kalangan, baik perguruan tinggi, pemerintah, pelaku usaha itu dapat memberikan kontribusi agar dunia agroindustri Indonesia benar-benar menjadi agroindustri yang menyejahterakan rakyat.
Selain itu, bisa merumuskan pemikiran strategis yang dapat memadukan aspek teknologi, pembiayaan, sumberdaya manusia, kelembagaan, pendidikan.
"Sehingga tercipta agroindustri Indonesia yang didukung iklim usaha yang sehat, berdaya saing dan melestarikan sumberdaya alam," kata Aji Hermawan yang juga aktif sebagai Wakil Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) itu.
Sementara itu, CEO PT Kelola Mina Laut Ir Mohammad Nadjikh dalam kesempatan itu menyoroti perlunya pemerintah menciptakan lingkungan bisnis dan industri yang kondusif bagi agroindustri.
Di antaranya, kata dia, penyediaan infrastruktur yang memadai, dari hulu hingga hilir, regulasi pemerintah yang pro-bisnis dan jaminan keamanan berusaha, dukungan pembiayaan yang murah, cepat, syarat ringan dan merata, serta pengembangan agroindustri model klaster (inti plasma, bapak angkat-anak angkat).
Sedangkan Atih Surjatih Herman dari Kemenperin menyatakan bahwa konsep untuk pengembangan industri, termasuk agroindustri nasional nyaris lengkap.
"Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa negara lain sepertinya relatif lebih mudah dan cepat dalam mengembangkan industrinya dibanding Indonesia," katanya.
Karena itu, katanya, upaya yang sangat diperlukan adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang ada secara efektif, di antaranya adalah bagaimana mempercepat kemandirian teknologi untuk mendukung perkembangan agroindustri yang berdaya saing dan berkelanjutan.(ant)
Berita Pertanian : Produksi Susu Sapi di Lereng Merapi Mulai Pulih
"Saat ini produksi susu sapi di lereng Merapi ini sudah hampir pulih, meskipun belum kembali seperti sebelum bencana erupsi Merapi," kata Waluyo Rejo, pengurus Kelompok Ternak Sapi Perah "Mulyo Sarono" Dusun Srunen, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan Sleman, Sabtu (24/9).
Menurut dia, meski hasil susu masih belum maksimal, namun hasilnya sudah bisa dinikmati dan bisa membantu perekonomian warga lereng Merapi. "Saat ini produksi susu sapi dalam satu haru baru sekitar 20 liter saja, namun ini jauh lebih baik karena bisa dijual dan bisa membantu perekonomian," ucapnya.
Ia mengatakan, hasil susu sapi perahan dari para peternak dijual langsung ke koperasi yang juga sudah mulai melakukan aktivitas seperti biasa. "Sejak kami memelihara kembali ternak sapi, koperasinya sudah mulai beroperasi, sehingga sangat membantu dalam penjualan," katanya.
Waluyo menuturkan, selain mengoptimalkan koperasi, para peternak juga sudah membentuk kelompok-kelompok yang rata-rata, tiap kelompok beranggotakan 20 peternak.
"Di kelompok ternak 'Mulyo Sarono' ini saat ini jumlah sapinya baru ada 25 ekor dengan total aset ratusan juta. Dulu sebelum erupsi Merapi 2010 asetnya mencapai miliaran Rupiah," ujarnya, menambahkan. (ant)
Urgensi Pemberdayaan Petani Kelapa Sawit
Hasil panen tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di beberapa kabupaten di Sumatera Utara melimpah, namun petani kecewa karena harga TBS anjlok. Padahal, harga crude palm oil (CPO) di pasaran dunia mulai membaik. Kini harga TBS anjlok, di beberapa pabrik kelapa sawit (PKS) harga TBS maupun di gudang penampungan turun hingga Rp1.000 sampai Rp1.075/kg. Bahkan, di beberapa daerah harga TBS di bawah harga Rp 1.000/kg (Analisa, 14 September 2011).
Padahal petani kelapa sawit merupakan "migrasi" dari sejumlah petani pangan – padi, jagung dan lain-lain – yang idealnya menjadi bagian yang perlu diberdayakan terkait dengan peningkatan ketahanan pangan nasional. Walaupun kelapa sawit hanya sebagian kecil yang dapat dikategorikan sebagai produk pangan – minyak goreng – namun anjloknya harga TBS kelapa sawit dalam jangka panjang dapat menurunkan gairah masyarakat untuk menekuni profesi ini.
Efek domino dari anjloknya harga TBS kelapa sawit ini antara lain adalah "urbanisasi" masyarakat dari pedalaman ke perkotaan, yang dalam teori kependudukan sangat membahayakan stabilitas perekonomian nasional. Sebab, individu – petani kelapa sawit – dengan skill yang tidak memadai membanjir ke kota yang tidak sepenuhnya menjamin tersedianya lapangan kerja. Pengangguran perkotaan akan bertambah, yang berpotensi pada tindak kriminalitas perkotaan.
Urgensi Pemberdayaan
Walaupun fenomena anjloknya harga TBS bersifat sementara (temporer), namun potensi kejadian yang temporer ini sangat tinggi bila sikap arogan kalangan PKS luput dari kontrol pemerintah. Kalau anjloknya harga TBS sebagaimana diberitakan belakangan ini lebih diakibatkan "jedah waktu" akibat lebaran, tidak menutup kemungkinan di masa mendatang akan ada aneka "jedah waktu" lainnya yang seolah memang dicari-cari oleh kalangan PKS untuk "menghalalkan" harga murah membeli TBS petani.
Misalnya, libur panjang akhir pekan – long week end – atau ketetapan "cuti bersama" dari pemerintah yang berakibat libur panjang, sehingga berpengaruh terhadap siklus panen kalangan petani kelapa sawit. Terjadi ledakan produksi karena perpanjangan siklus panenan, yang mengakibatkan TBS kelapa sawit membanjir di mana-mana, kalangan PKS pun bisa saja dengan seenaknya "berulah" yang tujuan tidak lain untuk "menghalalkan" harga murah saat membeli TBS petani.
Pemerintah dan para pihak yang terkait dengan masalah ini diharapkan pro aktif memediasi interaksi antara petani, agen dan sejumlah PKS. Sebab, lebih dari 10 juta rakyat di negeri ini baik secara langsung maupun secara tidak langsung menggantungkan hidupnya dari kelapa sawit. Jangan membiarkan sejumlah PKS berbuat seenaknya dalam menetapkan harga beli TBS kelapa sawit milik petani. Justeru sebaliknya, sejumlah PKS – utamanya milik BUMN Perkebunan – harus dapat memerankan fungsi sosial yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR).
Oleh karena itu, ketika petani kelapa sawit dihadapkan pada anjloknya harga TBS, pemerintah dan para pihak yang terkait di Sumut juga Riau harus berupaya melindungi petani kelapa sawit. Salah satu cara yang dapat dilakukan dengan mencari tahu kebenaran (audit) dalih PKS menolak membeli TBS milik petani, atau PKS menetapkan harga yang rendah TBS petani. PKS seperti ini layak dikenai sanksi yang tegas, agar rakyat sebagai petani kelapa sawit tidak dijadikan "bulan-bulanan" kalangan PKS. Petani kelapa sawit harus dapat diposisikan sebagai mitra secara anytime oleh PKS.
Selain itu, agar fenomena ini tidak selalu terulang di masa mendatang, pemerintah dan para pihak yang terkait dengan nasib petani kelapa sawit diharapkan juga dapat menjadikan pemberdayaan petani kelapa sawit sebagai sesuatu yang urgen. Setidaknya dapat memprakarsai kemandirian para petani kelapa sawit, sehingga produksi panennya tidak sepenuhnya bergantung pada PKS. Bukankah sekarang ini petani kelapa sawit cenderung bergantung pada PKS dengan berbagai konsekuensinya. Harus ngantri dua hari di pabrik, harga jual yang murah, serta resiko menurunnya kualitas TBS akibat panjangnya delivery time.
Bentuk PKS Petani Mandiri
Selain sejumlah harapan yang telah dikemukakan di atas, untuk menghindari fenomena anjloknya harga TBS saat panen puncak, diperlukan solusi yang bermuara pada pemberdayaan petani kelapa sawit, yaitu:
Pertama, merubah orientasi pemasaran TBS petani kepada sejumlah PKS. Ini dapat dilakukan dengan bantuan Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT), yang dapat merancang teknologi pengolahan TBS skala mini untuk masyarakat. Petani padi sudah menerapkan pola ini, mereka tidak perlu repot membawa padi yang akan diolah menjadi beras ke penggilingan. Sebab sudah ada teknologi sederhana yang memungkinkan penggilingan secara "on the road".
Memang, pengolahan TBS menjadi minyak goreng tidak sesederhana penggilingan padi menjadi beras. Tetapi, bukan berarti teknologi pengolahan TBS menjadi minyak goreng menjadi sesuatu yang mustahil. Justeru ini harus dijadikan tantangan para teknisi dan ilmuwan untuk merancang teknologi yang dapat memberdayakan petani kelapa sawit. Teknologi ini sebenarnya sudah pernah dipamerkan oleh PT Pindad Bandung melalui Pameran Produksi Indonesia - 2005 (PPI-2005) di arena Pekan Raya Jakarta (PRJ). Sayang, sejauh ini tidak ada kabar perkembangannya.
Kedua, dalam skala lebih luas lagi, juga perlu mendorong petani kelapa sawit untuk mendirikan koperasi dengan target dapat mendirikan PKS. Katakan dengan nama "PKS Petani Sawit Mandiri," yang dapat menampung hasil panen petani untuk diolah menjadi aneka produk turunan dari TBS. Produksinya bukan CPO sebagaimana kebanyakan produksi yang dihasilkan PKS pada umumnya, tetapi lebih pada aneka produk turunan non-CPO, antara lain minyak goreng, mentega, bahan kosmetik, bahan campuran pakan ternak, serta pupuk kompos.
Ketiga, pemerintah menetapkan spesifikasi pengolahan TBS. Untuk sejumlah PKS – baik milik BUMN maupun milik swasta – memproduksi CPO Ekspor dan Bio Fuel. Sedangkan untuk "PKS Petani Sawit Mandiri" memproduksi aneka produk turunan TBS non-CPO, antara lain minyak goreng, mentega, bahan kosmetik dan farmasi, bahan pakan ternak serta bahan pupuk organik atau kompos.
Hal ini di satu sisi untuk melindungi PKS Petani Sawit Mandiri, agar tidak bersaing dengan BUMN dan Swasta, di sisi lain juga lebih mempermudah upaya meningkatkan mutu ekspor CPO Indonesia yang akan diekspor ke mancanegara. Bukankah di masa lalu CPO asal Indonesia pernah diisukan terkontaminasi bahan kimia tertentu ?, sehingga ke depan saat produksi kelapa sawit tidak hanya tumbuh subur di Sumatera, tetapi juga Kalimantan dan Papua, ekspor CPO asal Indonesia lebih unggul di pasar internasional.
Terlepas dari hal-hal yang telah diutarakan di atas, yang pasti ketika sejumlah PKS bertindak semena-mena dalam menetapkan harga TBS, sejumlah petani kelapa sawit menantikan pemerintah dan para pihak yang terkait untuk proaktif. Tidak sebaliknya, membiarkan semua ini berlalu begitu saja, membiarkan petani sawit teraniaya oleh "ulah" PKS, yang kemudian dapat berbuah pada "urbanisasi" komunitas petani sawit ke perkotaan yang juga tak mampu menjamin tersedianya lapangan kerja.
Tetapi, siapa yang peduli dengan permasalahan ini ?? Entahlah, yang pasti wakil rakyat di Sumatera Utara harus ada yang berempati dengan kondisi ini. Sebab, sebagai wakil rakyat seharusnya berpihak pada rakyat, terutama saat rakyat "dipermainkan" oleh "ulah" oknum di sejumlah PKS yang tidak bertanggung jawab. Melemparkan aneka dalih, menolak membeli TBS produksi petani, menetapkan harga beli TBS yang tidak manusiawi, kontradiksi dengan harga CPO di pasar luar negeri. Jangan sesekali mengatakan ini fakta temporer, karena akan menjadi preseden buruk di masa mendatang. Jadi, mari kita upayakan solusinya, antara lain sebagaimana telah dikemukakan di atas. Semoga!
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan ekonomi tinggal di Tebingtinggi.
Berita Pertanian : Konsumen Sayuran Medan Masih Sulit Jangkau Sayur Organik
Medan. Produk pertanian organik khususnya sayur saat ini masih sulit dijangkau oleh masyarakat Medan secara luas. Selain faktor harganya yang lebih tinggi disbanding sayuran non organik, masyarakat juga belum sepenuhnya memahami manfaat produk pertanian bagi kesehatan sehingga produk pertanian ini masih sedikit diserap pasar.
Hal ini diungkapkan Kepala Bidang Pertanian Pangan dan Holtikultura Dinas Pertanian Medan, Rukiah Iriani, Jumat (23/9) di Medan.
"Masyarakat saat ini masih sulit mengakses produk organik," ujarnya.
Dikatakan Rukiah, saat ini, pihaknya tengah melakukan fokus pengembangan produk sayuran organik dataran rendah. Beberapa jenis sayuran yang menjadi fokus pengembangan antara lain sayur kekna, bayam, kacang panjang, sawi, dan sayur raja. Di Medan sendiri, kawasan yang sudah dijadikan pengembangan pertanian organik adalah kawasan Medan Marelan yang produksinya bisa mencapai kisaran 500 kg per jenis dalam masa panennya. "Dari yang kami lihat, petani yang mengembangkannya juga masih sulit memasarkannya," katanya.
Sejak beberapa waktu terakhir, disebutkan Rukiah, Distanla tengah terus mengembangkan produk sayur organik. Sebanyak 7 kecamatan potensial di Medan akan dijadikan kawasan pengembangan sayur organik.
Tingginya harga produk sayur organik selama ini ditenggarai karena tingginya biaya produksi dan rendahnya kapasitas produksi organik jika dibandingkan dengan produk anorganik.
"Selain cost nya tinggi, produksinya juga rendah. Jika dibandingkan, hanya setengah jumlahnya dengan produk anorganik pada luas lahan yang sama," jelasnya.
Karenanya, untuk terus menggenjot produk sayur organik, Rukiah mengatakan, pihaknya terus mendorong petani untuk menanam sayuran organik secara berkelanjutan, karena selama ini petani yang sebagian besar bertani anorganik, masih sulit untuk beralih ke organik. "Kami memfasilitasi pengadaan pupuk. Juga outlet-outlet pemasaran akan terus ditingkatkan," pungkasnya.
Berita Pertanian : Petani Jeruk Karo Lirik Pupuk Organik
Kabanjahe. Prospek agribisnis jeruk di Sumatera Utara (Sumut), terutama di Kabupaten Karo cukup bagus karena potensi lahan produksi yang luas. Namun seiring waktu, produksinya terus mengalami penurunan. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan serta inovasi petani jeruk yang masih tetap mempertahankan penggunaan pupuk pestisida.
"Namun, tidak mudah meyakinkan petani di Tanah Karo ini yang sudah bertahun-tahun bertani dengan menggunakan pupuk pestisida untuk beralih ke pupuk organik. Apalagi, rata-rata petani ini tidak banyak yang mengenyam pendidikan tinggi. Karena itu sulit jika menjelaskan bahwa pertanian organik itu aman bagi lingkungan. Bahkan, nutrisi tanaman yang dapat dibuat sendiri lebih baik dibandingkan pupuk pestisida," ujar Ketua Forum Pengembangan Karo, Petrus Sitepu, disela-sela acara Penanaman Perdana Penangkaran Bibit Kentang Granola G1 dan Penyerahan Green House Bantuan Bank Indonesia (BI), serta sarasehan dengan tema "Permasalahan dan Solusi dalam Budidaya Kentang", di Desa Suka, Kecamatan Tiga Panah, Kabanjahe, Rabu (21/9) lalu.
Hadir juga dalam acara tersebut Bupati Karo Kena Ukur Karo Jambi Surbakti, Pemimpin BI Kantor Regional Sumut dan Aceh Nasser Atorf, Ketua DPRD Karo Siti Aminah Perangin-angin, pimpinan bank se-kabupaten Karo serta Gapoktan Tanah Karo.
Secara garis besar, terang Petrus, petani jeruk dikelompokkan menjadi dua yaitu petani kelas menengah ke atas yang memiliki karakter mandiri, mudah menerima inovasi teknologi, dan menjadikan usahatani jeruk sebagai salah satu mesin ATM (pencetak uang) sehingga pengelolaan kebun dilakukan secara optimal. Sebaliknya bagi petani kecil, permodalannya lemah, biasanya menanam jeruk karena mendapat bantuan benih dari pemerintah, pengetahuannya tentang budidaya jeruk yang baik dan benar kurang memadai dan tidak mudah menerima inovasi teknologi.
Menurut Petrus, pupuk organik bisa didapatkan dengan beternak cara alami. Tujuan utama peternakan ini adalah untuk mendapatkan kooran hewan, khususnya sapi yang digunakan sebagai bahan utama kompos. "Metode peternakan alami ini bisa dipelajari secara alami juga. Saya dan sejumlah petani lainnya di Tanah Karo ini sudah mencobanya. Saya hanya butuh 7 ekor sapi untuk mendapatkan kompos yang bisa digunakan untuk lahan tanaman jeruk seluas 1 hektare. Petani memang harus menjalani proses belajar beternak, terutama bagian-bagian mana yang harus diperbaiki dan bagian mana yang perlu adaptasi lokal. Hal ini dilakukan supaya dapat kompos yang bagus untuk tanaman jeruk," terang Petrus.
Beternak untuk mendapatkan kompos bisa dilakukan dengan memberikan pakan rumput terfermentasi atau jerami terfermentasi. Selain itu, lanjutnya, juga bisa memberikan minuman ternak nutrisi dengan tujuan meningkatkan daya tahan tubuh kambing atau sapi.
Begitupun, diakui Petrus, untuk mendapatkan kompos dengan cara beternak ini memang butuh modal yang tidak sedikit. "Kalau petani jeruknya yang bermodal kecil, tentu harus mendapat sokongan dari pemerintah dan perbankan. Jadi tujuannya bisa tercapai," ujar Petrus.
Namun di sisi lain, kata Petrus, tumbuh kembangnya praktik bisnis benih jeruk "asalan" yang telah mencapai lingkup antar propinsi tidak lepas dari berlakunya hukum pasar, yaitu penangkar yang memproduksi benih jeruk bermutu (bebas penyakit) jumlahnya sangat terbatas, sedangkan permintaan pasar terus bertambah. Harusnya pemerintah memperhatikan kondisi tersebut sehingga produksi jeruk Tanah Karo bisa tercapai sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan Sumut.