Medan. Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo) sangat menyayangkan sikap pemerintah yang sama sekali tidak berpihak pada industri perkelapasawitan di Indonesia. Betapa tidak, jangankan mengakomodir keluhan para petani kelapa sawit agar kebijakan bea keluar (BK) crude palm oil (CPO) dihapuskan atau setidaknya ditetapkan flat, namun malah produk turunan CPO pun kini dikenakan BK. "Kita menilai kebijakan pemerintah sangat tidak memihak pada petani dan dunia perkelapasawitan di Indonesia. Ini bisa dilihat dengan kebijakan penerapan bea keluar yang tak hanya diterapkan pada CPO saja, namun juga pada produk-produk turunan CPO. Kebijakan ini pastinya akan semakin menyengsarakan petani sawit, sebab yang paling merasakan dari penerapan BK itu adalah petani dengan terus anjloknya harga tandan buah segar (TBS)," ujar Ketua Umum Apkasindo, Anizar Simanjuntak kepada wartawan, Senin (12/9).
Dikatakannya, sejak 16 September ini, pemerintah akan memungut BK tak hanya pada CPO, namun juga pada tandan buah segar (TBS) dan produk-produk turunan CPO seperti Palm Kernel Meal (PKE) atau ampas sawit dan crude palm kernel oil (CPKO).
Melalui kebijakan yang baru ini, pemerintah melalui Kementrian Perdagangan menerapkan BK pada TBS dan PK mencapai 40% dengan pajak ekspor US$ 167,20/metrik ton. Untuk BK PKE sebelumnya 0% menjadi 20% dengan pajak ekspor US$25/MT dan BK CPO serta CPKO ditetapkan 16,50% dengan pajak ekspor US$ 167,15/MT dan US$ 218,79/MT.
Padahal untuk PKE, kebutuhan di dalam negeri hanya mencapai 15.000 ton perbulan dari produksi sebanyak 60.000 ton/bulan. Jadi dengan adanya BK, kemungkinan sisa produksi akan dibuang karena pelaku usaha keberatan membayar pajak ekspor yang terlalu tinggi.
Pemerintah, katanya, tidak pernah mendengar keluhan dari petani dan pengusaha yang sangat keberatan dengan sadanya BK dan meminta sebagian dana hasil pungutan BK itu dikembalikan ke daerah penghasil guna membangun peningkatan produktivitas dan infrastruktur. "Tapi sekali lagi, bukannya permintaan kita itu didengar, tapi kini pungutan BK pada produk kelapa sawit dan turunannya malah semakin diperluas dan lebih memberatkan. Sedangkan dana yang diambil pemerintah sedikitpun tidak ada dikembalikan untuk industri hilir dan lainnya," ucap Anizar.
Seharusnya, pemerintah dalam menerapkan BK harus ditentukan berapa jumlah yang dibutuhkan dalam menyelamatkan industri yang ada di dalam negeri. "Tapi sekarang pemerintah tidak pernah tahu berapa jumlah yang dibutuhkan, tapi terus saja mengambil uang dari petani dan pengusaha dengan penetapan BK ini," tuturnya.
Penetapan BK CPO itu tidak beralasan untuk mengamankan kebutuhan di dalam negeri. Karena dari 22 juta ton per tahun produksi TBS, hanya sekitar 6,7 juta ton CPO saja yang bisa diolah di dalam negeri sedang selebihnya harus diekspor untuk memenuhi permintaan pasar luar.
"Permintaan CPO terus meningkat seiring dengan produksinya. Jadi BK tidak berpengaruh pada ekspor, pemerintah hanya mau menikmati keuntungan saja tanpa perlu bekerja apa-apa," ucapnya.
Meskipun ada BK, lanjut Anizar, seharusnya pemerintah dapat mengatur penetapannya secara flat atau tetap dan dibawah kisaran 10% sehingga harga TBS di tingkat petani dapat menembus diatas Rp1.700/kg. Tidak seperti saat ini, harga TBS ditingkat petani terus anjlok karena harus menanggung beban BK. "Seperti di Langkat, saat ini harga TBS petani anjlok menjadi hanya berkisar Rp1.000 per kg, demikian juga disejumlah daerah lainnya, harga TBS semakin menurun. Jadi yang sengsara itu kan petani," katanya.
Kondisi harga dan penetapan BK ini, tambah Anizar, juga membuat kalangan pengusaha masih wait and see dalam melakukan kontrak penjualan baru ke luar negeri.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Pusat, Fadil Hasan di Medan mengatakan, dengan penetapan BK itu, menjadikan petani dan pengusaha kelapa sawit yang membiayai anggaran pemerintah. Karena pendapatan pemerintah dari BK pada 2008 mencapai Rp13,5 triliun. Dan dengan BK 20% pada Juni 2011 diperkirakan pemerintah memperoleh pendapatan tanpa bekerja sebesar Rp17 triliun. "Nilai itu hampir sama dengan anggaran Deptan sebesar Rp16,8 triliun pada tahun ini," imbuhnya.
Seluruh pendapatan dari BK tersebut, lanjut dia, sebagian besar atau 38% diperoleh dari petani kelapa sawit. Sebab 38% dari produksi dan 40% dari areal lahan sawit adalah milik perkebunan rakyat. Sementara pemerintah hanya menyiapkan skema dan pemanfaatannya, tetapi tidak ada program yang disiapkan untuk pengembangan perkelapasawitan di Indonesia. "Petani yang dipaksa membiayai program pemerintah. Sementara sampai sekarang belum ada tampak program sebagai bentuk pengembalian BK CPO itu," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar