Oleh : Tumpak Winmark Hutabarat.
Saat ini Indonesia dirundung musibah lagi, realitas merangkak naiknya harga pangan terjadi kembali. Daya kontrol pemerintah terhadap kenaikan harga tidak jalan, seolah menunjukkan syarat bahwa pemerintahan negeri ini sudah anti rakyat sebenarnya. Perlu kita menilik lebih jauh terhadap terulangnya fakta kenaikan harga pangan di negeri ini, apakah ini realitas yang diciptakan atau memang realitas yang terbangun dari dialektika hubungan produksi yang defisit sehingga kita familiar dengan istilah krisis pangan ?
Krisis pangan adalah fenomena kenaikan harga pangan secara global pada tingkat yang semakin tidak terjangkau. Meskipun pada saat yang sama terjadi overproduksi pangan secara global yang dihasilkan negara-negara maju dan perusahaan pangan terkemuka di dunia.Saat ini Indonesia dirundung musibah lagi, realitas merangkak naiknya harga pangan terjadi kembali. Daya kontrol pemerintah terhadap kenaikan harga tidak jalan, seolah menunjukkan syarat bahwa pemerintahan negeri ini sudah anti rakyat sebenarnya. Perlu kita menilik lebih jauh terhadap terulangnya fakta kenaikan harga pangan di negeri ini, apakah ini realitas yang diciptakan atau memang realitas yang terbangun dari dialektika hubungan produksi yang defisit sehingga kita familiar dengan istilah krisis pangan ?
Banyak kalangan yang mengira bahwa krisis pangan adalah tentang ketiadaan atau kelangkaan sumber-sumber pangan. Akan tetapi, tanggapan ini sangat keliru, sebab krisis pangan terjadi karena melimpahnya produksi pangan, namun pada saat yang sama sebagian besar masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk membeli.
Melimpahnya produksi pangan seiring dengan penggunaan cara yang "efisien" dalam hubungan produksi yang menyebabkan kurangnya jumlah dan pendapatan tenaga kerja. Sehingga dengan demikian akan menyebabkan perusahaan menekan biaya produksi yang menyebabkan terjadinya PHK.
Pemerintah dengan Kebijakan Irrasional
Pemerintah selama ini tidak melakukan sesuatu yang berarti unuk membuat komoditas apapun yang dapat diproduksi di Indonesia. Dan akibatnya pemerintah sangat mengagungkan produk impor. Harga komoditas pangan yang murah dari negara maju yang murah merupakan akibat dari subsidi pertanian dan subsidi ekspor yang besar dari pemerintahannya, dan hal ini berbeda dengan kebijakan yang diterapkan pemerintahan Indonesia.
Besarnya anggaran yang dikeluarkan untuk impor pangan memberikan dampak hilangnya peluang penyerapan tenaga kerja. Ketergantungan pada impor akan menggantung harga pangan Indonesia sesuai dengan harga pangan dunia (harga pasar), yang kedepannya, apabila terhenti pangan ke Indonesia, maka akan ambruklah tatanan negara ini. Indonesia benar-benar terjebak dengan impor pangan. Harga impor pangan yang lebih murah mengakibatkan pemerintah terlena dengan mengimpor apabila mengalami kekurangan pangan. Langkah praktis yang kerap dilakukan pemerintah dengan menggelontorkan anggaran yang berlimpah tanpa pernah memikirkan solusinya, sungguh kebijakan irrasional.
Hal menarik dan membanggakan ketika tahun 1930an, Indonesia terkenal sebagai salah satu negara pengekspor gula terbesar di dunia. Tetapi, kini Indonesia menjadi pengimpor gula terbesar di dunia, dimana pada tahun 2010 Indonesia mengimpor gula sebanyak 500.000 ton senilai Rp 8, 95 triliun (Nirmal, 2011).
Pentingnya Kedaulatan Pangan
Kedaulatan pangan dapat didefenisikan sebagai hak negara dalam mengatur penguasaan, pengelolaan, penggunaan sumber-sumber pangan untuk melakukan produksi, mengatur distribusi dan menjamin akses seluruh masyarakat atas pangan yang sehat pada tingkat harga yang terjangkau (FTW, 2011).
Kedaulatan pangan pada dasarnya menunjuk pada peran negara dalam menyediakan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Negara harus menguasai dan mengalokasikan sumber-sumber agraria, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kedaulatan pangan secara prinsip tidak dapat dipisahkan dengan kedaulatan ekonomi dan nasional negara secara keseluruhan.
Strategi kedaulatan pangan telah dirumuskan sebelumnya oleh pendiri bangsa ini dalam amanat Presiden Soekarno tentang Pembangunan Semesta Berencana, yang dikatakan bahwa untuk mencapai kedudukan self sufficiency (swasembada) di lapangan sandang, pangan, bahan makanan, pakaian dan obat-obatan, dilakukan intensifikasi pertanian, untuk menaikkan produksi dalam negeri berupa hasil-hasil bahan makanan dan pakaian, supaya dalam jangka pendek tercapai self supporting (keswadayaan).
Di Venezuela, Presiden Hugo Chavez sudah menerapkan konsep-konsep yang mensejahterakan rakyatnya terutama petani. Presiden yang terkenal neo-sosialis ini telah menerapkan berbagai program untuk perubahan sejati, sesuai dengan pernyataannya: " … bila kita hendak mengentaskan kemiskinan, kita harus memberikan kekuasaan pada si miskin, pengetahuan, tanah, kredit, teknologi dan organisasi. Itulah satu-satunya cara mengakhiri kemiskinan."
Masa depan para petani yang baik bisa diwujudkan dengan berbagai cara, melalui pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) dengan ketentuan batas kepemilikan tanah, perlindungan terhadap buruh tani, baik penentuan upah, perlindungan buruh tani dan juga bisa dicapai dengan peningkatan produksi lewat distribusi tenaga, tanah, dan modal. Hal lainnya juga bisa dicapai dengan penerapan harga pupuk yang terjangkau, pemberian bibit unggul, pemberlakuan sistem terasering (seiring dengan pengairan) serta masuknya unsur mekanisasi (Salamuddin Daeng, 2011).
Tentunya apabila unsur-unsur di atas sudah diterapkan maka kedaulatan pangan tidak lagi hanya sebatas angan belaka, sebagaimana yang sudah dirumuskan oleh pendiri bangsa ini. Dan hal ini berbeda dengan kebijakan rezim berkuasa sekarang, yang menyerahkan masalah kebutuhan pangan dalam negeri kepada mekanisme pasar bebas. Dalam alam pasar bebas,pelaku utamanya adalah korporasi perusahaan multinasional dari negara-negara maju, bukan negara dan rakyat. Hal ini jelas terlihat dengan kebijakan SBY di Merauke lewat kebijakan MIFEE (Merauke Integrated Food Energy Estate) yang ingin mewujudkan kedaulatan pangan dan energi Indonesia dengan lahan seluas 1,2 juta ha. Akan tetapi justru lahan tersebut dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa yang tidak melibatkan petani lokal dan bahkan menghempang hak-hak masyarakat adat sekitar. Kedaulatan pangan pun menjadi isapan jempol belaka.
Penulis aktif dalam gerakan sosial di Kelompok Studi BARSDem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar