PADANG. Ribuan petani menggelar aksi demonstrasi di sejumlah wilayah di Indonesia dalam rangka hari tani nasional ke-51. Di Padang, Sumatera Barat, ribuan petani memusatkan aksi di di Taman Budaya Padang, jalan Diponegoro.
Para petani mengungkapkan keprihatinannya karena masih banyaknya petani miskin di Indonesia.
Hingga Maret 2011 kondisi kehidupan para petani di Indonesia masih miskin. “Dari sensus pertanian terakhir tahun 2003m, penduduk yang rentan miskin sebanyak 27 juta jiwa, jumlah tersebut berasal dari petani gurem. Petani gurem ini mengolah tanah garapannya di bawah 0,5 hektar. Sementara dari hasil proyeksi Serikat Petani Indonesia (SPI) pada tahun 2008 mencatat 15,6 juta jiwa atau 55,1 persen petani gurem,” kata Sukardi Bendang, Dewan Pengurus Wilayah SPI Sumatera Barat saat peringatan Hari Tani Nasional ke-51 di Taman Budaya Padang, jalan Diponegoro, Sabtu (24/9/2011).
Sukardi mengatakan dari jumlah tersebut, bila setiap kepala keluarga memiliki 3 orang anak saja, maka jumlah penduduk miskin ini bertambah menjadi 78 juta jiwa. “Tingginya angka prosentase petani gurem tersebut jelas menggambarkan ketimpangan agraria begitu besar dan pada akhirnya menyebabkan konflik agraria. Dalam catatan Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2011 ada 2.791 kasus pertanahan,” ungkapnya.
Kondisi petani ini semakin memprihatinkan karena pertanian di Indonesia secara umum masih subsiten, kepemilikan kepemilikian lahan yang sempit yang berdampak kepada pendapatan para petani yang rendah. Di satu sisi petani tidak memiliki sertifikat yang biasa digunakan agunan.
“Dengan kondisi ini menjadikan petani terjebak kepada tengkulak maupun rentenir yang memberikan pinjaman dengan bunga yang tinggi. Meski kondisi tercekik namun itulah solusinya para petani bisa mendapatkan modalnya dan para rentenir sendiri memberikan kemudahan proses peminjaman,” tambah Sukardi.
Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan agraria dan konfliknya, dimana pemerintah berjanji untuk mendistribusikan tanah-tanah kepada para petani melaluhi Program Agraria Nasional (PPAN). “Janji itu disampaikan saat peresmian program strategis pertanahan yang digagas oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di kawasan Cilincing, Jakarta Utara pada bulan Januari 2010,” ungkap Sukardi.
Kemudian janji kedua disampaikan pada bulan September 2010 di istana melalui Staf Khusus Kepresidenan (SKP) Bidang Pangan dan Energi dan SKP Bidang Otonomi Pembangunan Daerah. Bahkan janji ketiga kalinya di sampaikan Kepala BPN pada peringatan hari Tani ke-50 di Istana Bogor bahkan saat itu Kepala BPN mengatakan soal pendistribusian tanah-tanah ke petani sudah dirumuskan pada peraturan pemerintah (PP) tentang reforma agraria.
“Padahal Indonesia sebagai anggota FAO seharusnya melaksanakan pembaharuan agraria sebagai salah satu rekomendasi dari International Conferrence on Agrarian Reform and Rural Development tahun 2006 di Proto Alegre,” katanya.
Namun janji tinggal janji pemerintah justru mengeluarkan kebijakan melaluhi berbagai Undan-undang yang menyimpang dari UUD 1945 pasal 33 dan UUPA 5 tahun 1960. Sebagai contoh UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air yang mengakibatkan privatisasi sumber air, UU No.18/2004 tentang perkebunan yang mengakibatkan ratusan petani dikriminalkan, Perpres 36/2005 dan revisi Perpres 67/2006 tentang pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum dan UU No.27/2007 tentang penanaman modal yang membenarkan pemodal menguasai secara dominan disektor pertanian pangan dan perkebunan.
“Dan terakhir adalah kebijakan korporatisasi pertanian dan pangan yang intinya memberikan ruang dan otoritas besar bagi korporasi untuk menguasai lahan pertanian dan produksinya,” terang Sukardi.
Carut marutnya kondisi pertanian saat ini menurutnya sangat mendesak yang dilakukan pemerintah adalah melaksanakan pembaharuan agraria yang sejatinya adalah upaya korektif untuk menata ulang struktur agraria yang timpang dan memungkinkan eksploitas manusia atas manusia, menuju tatanan baru dengan struktur yang bersendikan kepada keadilan agraria.
“Keadilan agraria yang dimaksud adalah dimana dijaminnya tidak adanya konsentrasi dalam penguasaan dan pemanfaatan agraria oleh segelintir orang. Kemudian didukung dengan kebijakan harga pembelihan hasil produksi pertanian, tata niaga yang berpihak pada produsen kecil dan mekanisme keuangan petani,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar