Jakarta. Sejumlah negara memanfaatkan kawasan gambut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa takut dituding merusak lingkungan.
Dia mengungkapkan, negara-negara yang sudah lama memanfaatkan kawasan gambut, di antaranya Malaysia, Kanada, atau negara-negara skandinavia seperti Finalandia dan Swedia.
Menurut Basuki, pemanfaatan gambut di Finlandia atau Swedia telah berkembang, baik untuk keperluan budidaya maupun energi dan lainnya. "Finlandia itu dulu bakar gambut untuk pertanian atau kebun, tapi tak ada yang protes dan memaksa mereka harus bayar emisi karbon yang dilepas," katanya.
Sekarang, lanjut dia, negara itu masih memanfaatkannya, namun tak lagi dengan membakar melainkan lewat teknologi yang memang mahal biayanya. Dia menuturkan, campur tangan teknologi memang diperlukan jika ingin memanfaatkan kawasan gambut.
Basuki menyatakan, banyak riset dilakukan mengenai bagaimana mengelola gambut tanpa merusak lingkungan, tanpa melepas karbon. "Sayangnya, desakan asing, gempuran, dan tudingan bahwa Indonesia bertanggung jawab atas rusaknya kawasan gambut dan pelepasan emisi karbon itu jauh lebih kuat ketimbang tampilan hasil positif dari pengelolaan gambut untuk kegiatan kehutanan atau budidaya lainnya yang ramah lingkungan," jelasnya.
Dia juga menyatakan, pemerintah seharusnya menyadari berapa potensi ekonomi yang hilang dan tak termanfaatkan dari lahan gambut mengingat banyak masyarakat bergantung hidup pada kawasan gambut.
Teknologi yang bisa dimanfaatkan dalam pemanfaatan lahan gambut misalnya adalah teknologi ecohydro. Secara sederhana, teknologi ini adalah teknologi yang berupaya mempertahankan kelembapan lahan gambut dengan menjaga cadangan air yang ada.
Menurut dia, penerapan teknologi ecohydro oleh sebuah perusahaan HTI di Semenanjung Kampar seharusnya bisa menjadi rujukan bahwa gambut bisa dikelola tanpa merusak lingkungan. "Seharusnya ekohidro bisa diterapkan di kawasan gambut lainnya di Indonesia. Kita bisa terapkan itu asal disiplin, tapi semua kita kembalikan lagi ke pemerintah," katanya.
Menurut Basuki, dari luasan gambut di Indonesia sebesar 22 juta hektar baru sekitar 6-7 hektar yang dimanfaatkan. Sisanya, masih berpotensi untuk dimanfaatkan. Sementara Malaysia yang memiliki gambut 2,5 juta hektar, sudah memanfaatkan 500.000 hektar di antaranya dan tak pernah ada yang ramai mempersoalkan pembukaan gambutnya.
Sementara itu, Programme Director Tropenbos International (TBI) Indonesia, Petrus Gunarso, mengatakan, pemerintah pemerintah seharusnya memetakan lahan gambut yang boleh dikelola mana yang tidak. "Apalagi potensi ekonomi gambut masih sangat besar dan itu bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak ekosistem kawasan itu. Dengan demikian, apapun kebijakan terhadap kawasan gambut harus jelas kompensasinya bagi masyarakat dan pemegang hak kelola," katanya.
Pada kesempatan terpisah, Dirut PT Riau Andalan Pulp and Paper (Riaupulp), Kusnan Rahmin, menyatakan, pihaknya mendukung pengelolaan kawasan yang berkelanjutan, termasuk kawasan hutan gambut.
Saat ini, kata dia, Riaupulp tengah melakukan perawatan dan restorasi atau pemulihan kembali lahan gambut yang sebelumnya sudah mengalami degradasi di Semenanjung Kampar. Restorasi itu, dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya dengan menerapkan inovasi teknologi ecohydro atau tata kelola air sejak tahun 2007. Teknogi ini diterapkan dengan menutup air yang menyebabkan pengurangan air di lahan gambut.
"Ecohydro merupakan bagian dari restorasi lahan gambut. Semua sepakat inovasi ecohydro ini menjadi praktik pengelolaan tata kelola air yang sangat bagus di lahan gambut," papar Kusnan.
Di kawasan gambut Semenanjung Kampar ini, katanya, Riaupulp juga terus berupaya meningkatkan produktivitas hutan tanaman serat kayu. "Fiber plantation ini hanya 10 persen dari areal konsesi yang akan membentuk "ring area" di sekitar pusat lahan gambut atau area tengah Semenanjung Kampar," kata Kusnan. (ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar