Nanggroe Aceh Darussala. Tahun 2010, Nanggroe Aceh Darussalam mengalami kelebihan produksi beras hingga 291.426 ton. Itu tentu jumlah menggembirakan di tengah anomali cuaca. Namun, harga beras di provinsi itu hingga Maret 2011 tetap tinggi. Ironisnya lagi, petani sebagai pihak paling berjasa dari surplus produksi justru paling merana. Mereka harus menebus harga beras di atas Rp 9.000 per kilogram dari hasil jual gabah mereka yang tetap rendah, Rp 3.000 per kilogram.
Sari Banun (38), petani di Desa Lampeunurud Gampong, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, Senin (21/3), mengaku lega. Setengah hektar tanaman padi miliknya dapat dipanen utuh tanpa diserang hama.
Namun, saat ditanya untuk beli apa saja dari hasil panen padinya, kelegaan Sari seperti sirna. ”Bisa untuk makan saja sudah bagus. Sekarang harga beras tidak turun, padahal semuanya sedang panen. Harga gabah juga sudah turun,” tutur Sari.
Semua sentra padi di NAD, seperti Aceh Besar, Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara, saat ini sedang panen raya. Namun, harga beras di pasaran di NAD cenderung tetap. Satu bambu (sekitar 1,5 kilogram) beras seharga Rp 12.000 atau sekitar Rp 9.000 per kilogram. Padahal, harga gabah petani hanya Rp 3.000 sampai Rp 3.500 per kilogram, atau cenderung turun dibandingkan dengan Januari 2011 yang mencapai Rp 3.750 per kilogram.
”Saya ingin tanya kepada pemerintah, mengapa harga beras bisa tetap tinggi, sedangkan harga gabah petani selalu rendah dan bisa turun banyak? Panen seperti lewat saja,” kata Rahmad Hasan (46), petani di Darul Imarah, Aceh.
Surplus beras tahun 2010 mencapai 291.426 ton, lebih tinggi daripada tahun 2009 yang hanya 268.793 ton. Namun, peningkatan surplus itu seperti tak berarti apa-apa untuk kestabilan harga beras, apalagi kesejahteraan petani.
Faktor tata niaga
Ketua Bidang Advokasi Suluh Tani Aceh Yusliadi mengatakan, tata niaga menjadi faktor utama hancurnya kesejahteraan petani padi. Surplus beras tak diimbangi dengan penataan perdagangan beras yang memihak kepada petani.
Selama ini, lanjut Yusliadi, beras produksi petani di Aceh banyak yang dibawa pedagang ke Medan. Dari Medan, beras itu kembali dijual ke Aceh dengan harga yang sangat tinggi. Beras yang sudah dikemas rapi dalam karung isi 15 kg dijual dengan harga Rp 125.000. ”Mereka membeli dari petani sangat murah. Beras lalu dikemas dan dijual kembali dengan harga sangat tinggi. Hal seperti ini yang tak pernah diatur pemerintah,” kata Yusliadi.
Dari data Badan Pusat Statistik Aceh 2010, surplus gabah Aceh ternyata jauh lebih kecil dari jumlah gabah yang mengalir ke luar daerah yang diperkirakan 976.527 ton atau setara 586.855 ton beras.
Data itu memberikan jawaban, mengapa biaya hidup di Aceh, khususnya menyangkut harga bahan pokok, sangat tinggi. Petani Aceh menikmati harga gabah yang tak berbeda dengan petani di provinsi lain di Indonesia. Namun, mereka harus membeli beras yang jauh lebih tinggi dibanding yang lain.
Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan, Pemerintah Aceh sudah mengetahui masalah itu. Kondisi tata niaga yang kacau itu terjadi sejak lama. ”Ke depan, untuk mengatasi masalah itu, kami berharap tiap kabupaten mempunyai sentra perdagangan untuk hasil bumi utama sehingga produk pertanian tak mengalir ke daerah lain baru ke Aceh,” katanya.
Tentu langkah konkret pemerintah sangat ditunggu untuk mengatasi masalah ini. Petani di Aceh sudah lama menderita. Kerja keras mereka menghasilkan surplus yang menguntungkan citra politik penguasa di daerah dan pusat. Namun, nasib mereka sendiri tetap terpuruk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar