Sejak warga negara Belgia, Adrien Hallet dan K Schadt, menanam kelapa sawit secara komersial di Tanah Itam Ulu dan Pulau Raja di Sumatera Utara serta di Sungai Liput, Aceh, tahun 1911, Indonesia kini telah memiliki 7,9 juta hektar perkebunan kelapa sawit. Tidak hanya menjadi pemilik areal terluas, Indonesia juga sudah menjadi produsen terbesar minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dunia.
Meskipun merupakan tanaman asli Afrika Barat, tanaman penghasil minyak nabati paling efisien saat ini justru tumbuh lebih baik di Indonesia. Untuk Indonesia, Sumatera bagian utara merupakan kawasan terbaik untuk pertumbuhan kelapa sawit. Hal ini pula yang membuat perkembangan kelapa sawit, mulai swasta sampai rakyat, di sana lebih maju daripada daerah lain.
Sayang, Indonesia yang merupakan lokasi pertama komersialisasi kelapa sawit sampai kini masih berkutat dengan ekspansi perkebunan. Sementara Malaysia, yang membudidayakan kelapa sawit mulai tahun 1912 di Rantau Panjang, Kuala Selangor, kini sudah menjadi salah satu acuan bisnis CPO global, selain Rotterdam, Belanda.
Produktivitas dan efisiensi menjadi kunci memenangi persaingan. Malaysia paham betul soal ini. Pemerintah Malaysia pun fokus mengembangkan penelitian dan pengembangan kelapa sawit dimulai dari benih unggul, pengelolaan kebun, sampai pengembalian dana pungutan untuk kepentingan riset dan pembangunan infrastruktur pendukung bisnis CPO. Dengan lahan sedikitnya 4,5 juta hektar, Malaysia disegani di pasar minyak nabati global.
Berkat konsistensi pelaksanaan kebijakan, perkebunan kelapa sawit Malaysia mampu memproduksi 6 ton CPO per hektar per tahun. Sementara Indonesia, rata-rata 2,5 ton per hektar per tahun. Walaupun demikian, lahan luas membuat Indonesia masih mampu memproduksi CPO lebih tinggi dari Malaysia dan bersama negeri jiran tersebut memasok 87 persen kebutuhan CPO global. Malaysia mampu memetik peluang kenaikan harga CPO yang terjadi selama 4 tahun terakhir berkat keseriusan pemerintah mengembangkan industri hilir.
Sementara kita, pemerintah baru serius memerhatikan kelapa sawit selama 5 tahun terakhir. Walau perhatian itu lebih banyak mengkhawatirkan kenaikan harga minyak goreng sebagai salah satu komponen inflasi. Padahal, kelapa sawit terbukti tangguh menghadapi krisis ekonomi tahun 1998-1999. Saat perekonomian nasional tumbang akibat rupiah terpuruk, kesejahteraan petani kelapa sawit justru meningkat berkat nilai tukar dollar AS. Demikian pula saat harga minyak bumi melonjak tahun 2007, roda ekonomi riil di sentra-sentra perkebunan berputar kencang. Permintaan kendaraan bermotor, bahan bangunan, dan garmen meningkat tajam.
Sudah 100 tahun kita membudidayakan perkebunan kelapa sawit. Kita seperti terus berputar-putar di tempat. Jangan pernah puas dengan bea ekspor sedikitnya Rp 14 triliun dan devisa Rp 122,7 triliun, tetapi lupa mengembangkan masa depan kelapa sawit nasional, industri hilir CPO.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar