Jambi. Petani kelapa sawit yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit, menolak pemberlakuan pola Kredit Koperasi Primer Anggota atau KKPA atas sekitar 900.000 hektar kebun plasma, yang akan diremajakan di sejumlah daerah. Petani menilai pola KKPA tidak berpihak dan merugikan mereka.
Ketua Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto, mengatakan di Jambi, Selasa (22/3), petani plasma lebih memilih bentuk kerja sama pola inti rakyat (PIR), ketimbang KKPA. Namun, pemerintah telah memberlakukan pola kemitraan KKPA atas kebun-kebun plasma baru dan yang akan diremajakan. ”Petani plasma sawit menolak manajemen kebun dengan pola KKPA,” katanya.
Menurut Mansuetus, dari sekitar 9,2 juta hektar kebun sawit di Indonesia, hampir 4 juta hektar di antaranya dikelola petani, baik secara mandiri maupun melalui kerja sama kemitraan. Sekitar 900.000 hektar lahan dikelola dengan manajemen PIR.
Melalui KKPA, lanjut Mansuetus, produktivitas sawit dimungkinkan akan meningkat. Produktivitas petani plasma selama ini hanya 14 ton per hektar, dan produktivitas sawit di lahan inti sekitar 17 ton per hektar. Ini jauh di bawah produktivitas kebun di Malaysia yang mencapai 24 ton per hektar.
Akan tetapi, tambahnya, petani akan sulit mengontrol volume hasil sawit dalam kebunnya sendiri, serta jumlah pendapatan yang semestinya mereka peroleh, karena pengelolaan kebun dilaksanakan perusahaan inti. Petani pun akan cenderung lebih rendah karena nilai jual sawit ditetapkan perusahaan.
”Nilai tawar petani plasma akan semakin rendah dalam pola (KKPA) ini,” ujarnya.
Petani sawit plasma di Desa Teluk Benanak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, Haryono, mengatakan, petani lebih memilih manajemen kebun sawit mereka melalui PIR. Melalui pola ini, petani dapat mengelola langsung kebun mereka, walaupun hasil penjualan sawit akan dipotong 30 persen untuk mengangsur kredit. Dengan pola KKPA, petani hanya memperoleh hasil 30 persen.
”Dengan lahan 2 hektar, kami hanya akan memperoleh hasil sekitar Rp 300.000 hingga Rp 500.000, karena habis dialokasikan untuk pembayaran kredit, biaya lingkungan, dan pengangkutan sawit,” tuturnya.
Haryono yang juga pengurus SPKS, mencontohkan kekhawatiran saat ini dirasakan petani di Kecamatan Sungai Bahar, Muaro Jambi. Sekitar 6.000 hektar kebun sawit plasma yang bermitra dengan PT Perkebunan Negara akan diremajakan dalam waktu setahun ke depan. Pola kemitraan yang semula PIR akan diganti menjadi KKPA.
”Melalui pola ini, petani selalu terikat dengan utang. Bisa-bisa habis 30 tahun, baru utangnya lunas,” kata Haryono.
Dari Jawa Tengah diberitakan, petani kesulitan mendapatkan kredit usaha tani (KUT) karena bank mensyaratkan adanya surat bebas KUT.(kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar