MALILI. Petani kakao di Sulawesi Selatan pada umumnya belum memerhatikan kualitas pascapanen yang tepat untuk menambah harga jual. Akibatnya, harga kakao di tingkat petani lebih rendah dari harga pasar karena kualitas rendah. Hal ini dimanfaatkan pedagang pengumpul dan tengkulak untuk menetapkan harga beli kakao.
Ishak (37), petani di Desa Tambangan, Mangkutana, Kabupaten Luwu Timur, Sulsel, Jumat (18/3), mengatakan, menjual biji kakao setelah dijemur dua hari. Akibatnya, biji kakao itu hanya laku dijual Rp 13.000-Rp 15.000 per kilogram (kg) di tangan pengepul dan tengkulak. Padahal, harga kakao bisa minimal Rp 20.000 per kg jika dijemur selama 5 hari-7 hari, sehingga kadar airnya tersisa tujuh persen.
”Kami tidak mau ambil risiko karena cuaca saat ini sulit diprediksi. Lebih baik kakao secepatnya dijual,” ujar Ishak yang punya 500 kg kakao dari 1 hektar lahannya saat panen bulan lalu.
Umisun (48), petani lainnya, menduga terjadi permainan harga yang dilakukan pengepul dan tengkulak. Meskipun telah menjemur biji kakao hingga seminggu hanya dihargai Rp 18.000 per kg. ”Setiap kali saya bertanya, pedagang selalu bilang harga sesuai dengan pasaran,” ujar Umisun.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia Sulsel, Sulaiman Husain, mengungkapkan, dalam tiga tahun terakhir harga di tingkat petani tidak pernah lebih dari Rp 20.000 per kg. ”Padahal, eksportir membeli biji kakao seharga Rp 27.000 per kg dari pedagang dan mengekspor dengan Rp 31.000 per kg,” ujarnya.
Di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Sulut, harga kakao kini Rp 19.000 per kg dari semula Rp 27.000 per kg. Harga itu ditentukan pengepul utama di Palu. ”Biasanya pengepul di daerah untung bersih Rp 1.000 per kg. Harga tergantung pengepul besar di Palu, bukan dari petani,” kata Rianto, petani lainnya.
Sementara, permintaan melati dari Tegal, Jateng, untuk diekspor turun sejak sebulan lalu. Akibatnya, sebagian besar produksi melati hanya untuk pasar lokal dan pabrik teh. Kebun melati di Tegal tersebar di wilayah pesisir, seperti Surodadi dan Kramat. Harga Rp 20.000 per kg dari semula Rp 25.000 per kg.
Mahfud (45), Ketua Kelompok Tani Sekar Arum Puspa Jaya di Sidoharjo, Tegal, mengaku ekspor dilakukan eksportir di Bandung atau Jakarta. Ekspor dalam bentuk ronce, polos, dan gundulan (dihilangkan tangkainya) tujuan Singapura, Malaysia, dan Thailand. (kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar