Magelang. Sejumlah produsen pupuk organik dan hayati di berbagai daerah terancam gulung tikar karena di pasaran terjadi disparitas harga antara pupuk organik bersubsidi dengan pupuk organik nonsubsidi. "Pupuk organik bersubsidi yang dikeluarkan Petrokimia sangat merugikan produsen pupuk sejenis yang tidak bersubsidi jumlahnya mencapai ratusan tersebar di berbagai daerah," kata Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Organik dan Hayati Wilayah Jawa Tengah, Mohammad Bisri, di Magelang, Kamis (24/3).
Ia mengatakan, 40 di antara sekitar 500 produsen pupuk organik, berada di Jawa Tengah dengan aset ratusan miliar rupiah. "Kami sulit berkembang, bahkan terancam gulung tikar karena sejak dua tahun terakhir di pasaran beredar pupuk organik bersubsidi yang harganya jauh di bawah harga pupuk sejenis yang dihasilkan para produsen," katanya.
Bisri menilai, subsidi yang diberikan pemerintah bertujuan baik, yakni peduli terhadap petani dan demi kepentingan masyarakat. Namun, persoalannya berbeda dengan pupuk urea yang hanya diproduksi satu pabrik yaitu PT Pusri, sedangkan pupuk organik diproduksi banyak produsen sehingga tidak mungkin mampu bersaing dengan Petrokimia yang menjual sesuai ketentuan pemerintah yaitu Rp700 per kilogram setelah menerima subsidi Rp800 per kilogram.
"Harga jual pupuk organik yang dikeluarkan ratusan produsen sekitar Rp1.500 per kilogram. Dari sisi kualitas barangkali bisa lebih bagus, tetapi kalau tataniaga seperti itu, apa bisa kami bersaing dengan Petrokimia," katanya.
Bisri berharap, pemerintah tidak diskriminatif, apalagi ada ketentuan dari distributor jika membeli pupuk urea harus membeli pupuk organik produk Petrokimia tersebut. "Para pengusaha pupuk organik minta agar pemerintah memperlakukan sama. Kalau yang memproduksi pupuk jenis ini hanya satu pabrik, berapa pun subsidi yang diberikan pemerintah tidak masalah," katanya.
Ia mengatakan, para produsen siap menerima order pemerintah untuk memenuhi kebutuhan secara nasional. Setiap tahun, produsen yang tergabung dalam asosiasi mampu memproduksi sekitar enam hingga delapan ton, sedangkan kebutuhan nasional sekitar sembilan hingga sepuluh ton.
"Namun, jika pemerintah tetap memberlakukan tidak adil seperti itu, ratusan produsen pupuk organik terancam gulug tikar. Padahal aset untuk satu produsen mencapai empat miliar rupiah dengan tenaga kerja rata-rata 40 sampai 50 orang," kata Bisri.
Dikatakan, untuk menyikapi nasib produsen di Jawa Tengah, pihaknya akan menghadap Gubernur Jawa Tengah guna mencari solusi kesulitan produsen pupuk organik dan hayati akibat perbedaan harga di pasar. "Kami berharap, gubernur bisa memberi jalan keluar yang terbaik," katanya. (ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar