Minggu, 27 Maret 2011

Kebijakan Pengentasan Kemiskinan yang Dimulai dari Desa

Oleh : Roganda Simanjuntak

Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa seringkali menjadi sorotan utama bagi para pengambil kebijakan. Sayangnya, banyak orang yang terjebak dengan tidak melihat akar permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di Pedesaan.

Dengan desa yang menjadi rumah 60 persen penduduk miskin dan sektor pertanian yang menampung 41 juta tenaga kerja justru dianaktirikan. Kondisi ini telah mengakibatkan semakin menipisnya insentif dari sektor pertanian yang akhirnya mendorong pada peningkatan angka pengangguran dan angka urbanisasi. Kemiskinan yang terjadi dipedesaan inilah merupakan muara dari tidak tersedianya akses terhadap alat-alat produksi baik itu berupa akses terhadap sumber daya alam, teknologi, dan juga masalah pasar.

Harus diakui bahwa selama ini desa selalu menjadi objek dari pembangunan. Sumber daya alam yang melimpah justru menjadi objek yang tak henti-hentinya dieksploitasi oleh pengusaha yang justru mendapat ijin dari penguasa. Demikian juga dengan kota yang selama ini juga berperan serta dalam pengerukan kekayaan alam di desa.

Sumber kehidupan masyarakat dirampas untuk kepentingan pertambangan, perkebunan, transportasi, dan berbagai infrastruktur lainnya yang semuanya memihak pemodal kuat. Sulit mencari contoh, misalnya, kegiatan pertambangan yang menyejahterakan masyarakat sekitar. Tidak mudah pula menunjukkan contoh penebangan hutan yang setelah hutannya habis, kemudian masyarakat sekitar lebih sejahtera. Tentunya hal tersebut disebabkan oleh ijin-ijin yang dengan mudah diperoleh dari pemerintah. Apalagi dipihak pemerintah selalu berpendapat bahwa investasi datang maka masyarakat sekitar akan dapat "tetesan" dari investasi yang hadir di desa. Tentunya dengan hitung-hitungan bahwa investasi tersebut akan menyerap lapangan pekerjaan baru.

Disisi lain pemerintah tidak pernah menghitung berapa banyak rakyat yang kehilangan pekerjaannya apabila investasi datang. Misalnya penggusuran petani di desa. Sehingga konflik agraria selalu menjamur di seluruh pelosok desa di negeri ini. Benar memang bahwa tercipta lapangan pekerjaan baru tetapi akan lebih banyak lagi yang kehilangan pekerjaannya.

Jangan pernah menyalahkan warga (petani) dari desa berlomba-lomba pergi ke kota untuk mencari pekerjaan baru. Desakan ekonomi akibat minimnya lapangan pekerjaan di pedesaan karena terpaksa harus kehilangan pekerjaan membuat mereka, yang tidak memiliki tingkat pendidikan dan keahlian kerja memadai nekat berangkat ke kota bahkan mengadu nasib di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Iming-iming gaji tinggi dan pengalaman ke luar negeri dari para calo yang rajin bergerilya ke pelosok desa mampu mengikat banyak perempuan dan laki-laki dari usia tua sampai muda untuk menjadi TKI.

Ketimpangan pembangunan antara desa dan kota membuat kelompok masyarakat desa semakin termarjinalisasi. Mereka yang tidak mampu mengakses pendidikan, pelayanan kesehatan, dan infrastruktur semakin jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat kota. Generasi muda semakin tak tertarik bekerja di sektor pertanian, apalagi perubahan ikllim yang akhir-akhir ini meningkatkan potensi gagal panen.

Kebijakan yang tidak Menjawab Akar Masalah

Tidak bisa disangkal bahwa pemerintah saat ini memiliki banyak program dalam pengentasan kemiskinan. Apalagi kebijakan pemerintah dibidang anggaran telah menaikkan anggaran dari APBN untuk mengurangi kemiskinan. Tidak tanggung-tanggung sejak tahun 2004 hingga tahun ini terjadi peningkatan jumlah anggaran yang signifikan. Ditahun 2009 misalnya, anggaran dari APBN untuk mengentaskan kemiskinan berjumlah Rp 66 trilliun. Kemudian anggaran di tahun 2010 berjumlah Rp 94 triliun (BPS, 2010).

Tetapi dengan angka yang cukup fantastis tersebut sehingga muncul pertanyaan. Apakah jumlah rakyat miskin drastis menurun? Tentunya sangat susah untuk menjawab bahwa angka kemiskinan berkurang dengan jumlah anggaran yang terbilang banyak tersebut.

Dengan anggaran yang cukup banyak tersebut justru penggunaannya hanya digunakan untuk membiayai program-program yang tidak menyentuh akar persoalan kemiskinan dan hak-hak dasar kelompok miskin. Tidak memiliki karakter penguatan masyarakat lokal dan tidak mengatasi masalah kemiskinan yang multidimensi. Tidak memiliki visi jangka panjang. Bagaimana tidak program-program yang ada masih bersifat karitatif yang sifatnya justru mematikan prakarsa masyarakat. Sebut saja Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras miskin (Raskin), fasilitas pembiayaan di desa-desa, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan kegiatan lainnya.

Saat ini pemerintah tengah mengatur Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang penetapan lahan pertanian pangan abadi yang didalamnya mengakomodir "kemitraan" antara petani dengan perusahaan agribisnis. Pada saat yang bersamaan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan dibiayai oleh Bank Dunia dan Asian Development Bank (ADB) tengah menyusun RUU pertanahan yang disinyalir akan membuka pasar tanah di Indonesia. Demikian juga dengan RUU Pengadaan tanah untuk pembangunan yang disinyalir bakal dengan mudah merampas tanah rakyat dengan dalih untuk kepentingan pembangunan.

Dalam konteks RUU desa, undang-undang ini juga diyakini tidak menjawab permasalahan desa. Undang-undang desa hanya berfokus pada masalah pemerintahan dan lembaga demokrasi desa yang substansinya pun tidak jauh berbeda dengan undang-undang sebelumnya kecuali pada bentuk lembaga demokrasi desa dan sistem penggajian perangkat desa saja.

Dalam pelaksanaan pemerintahan desa sebagian besar masyarakat desa memiliki pluralisme tersendiri meskipun sebagian besar bentuk kelembagaannya sudah mengikuti format resmi. Oleh karena pluralitas itulah maka peran undang-undang disini justru tidak diperlukan. Apalagi sejak rezim orde baru berkuasa ada penyeragaman dengan bentuk desa di seluruh nusantara. Padahal masing-masing daerah punya gaya tersendiri dalam bentuk pemerintahan sesuai dengan adat-istiadat yang berlaku di wilayahnya.

Ditetapkannya RUU desa yang memberikan legitimasi otonomi desa tanpa menjelaskan sampai dimana wewenang yang diberikan untuk pemerintahan desa justru akan membahayakan kedudukan desa itu sendiri. Hal ini justru malah akan memberikan celah yang lebih besar bagi kepentingan kapitalisme global untuk menyita kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik rakyat desa. Saat ini saja ketika terjadi otonomi daerah, desa-desa sudah banyak mengalami eksploitasi dari perusahaan industri karena adanya SDA dan tenaga kerja murah.

Reforma Agraria Salah Satu Strategi Jitu Mengurangi Kemiskinan

Ada beberapa kisah sucsess story dari negara-negara yang berhasil memulai pembangunan dari pedesaan. Seperti misalnya negeri China. Kunci keberhasilan China adalah pembangunan yang dimulai dari desa dan pertanian. Dalam hal ini, ketersediaan lahan yang cukup untuk petani adalah syaratnya. Jadi, 10 tahun pertama itu fokus kepada pembangunan pedesaan. Artinya, kalau kita melihat, ini nanti pasti akan menciptakan kelas menengah baru di desa. Jadi, ada seperangkat kebijakan ekonomi yang membuat mereka ini kemudian mempunyai kekuatan untuk tidak hanya sekedar keluar dari kemiskinan, tetapi generasi selanjutnya naik ke kelas menengah.

Demikian juga dengan negara Jepang. Kebijakan-kebijakan membangun desa oleh pemerintah beranggapan bahwa apabila desa sudah sejahtera pasti keinginan warga dari desa untuk pindah ke kota akan semakin berkurang.

Reforma agraria juga dapat mendorong pembangunan pedesaan. Hal tersebut terwujud karena terjadinya peningkatan produktivitas pertanian, perwujudan ketahanan dan kedaulatan pangan, serta memperkuat ekonomi. Juga merupakan mekanisme jitu penyelesaian tuntas sengketa/konflik agraria yang mengutamakan rakyat korban. Hanya dengan kesetiaan pada semangat kerakyatan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960-lah pelaksanaan reforma agraria tidak saja akan mengikis kemiskinan dan pengangguran, melainkan mencabut akar ketidakadilan sosial bagi rakyat jelata.

Oleh karena itu, pelaksanaan pembaruan agraria yang komprehensif dan berorientasi pada kaum miskin hendaknya jadi dasar dalam program pengentasan kemiskinan. Tanpa pembaruan agraria yang komprehensif dan memihak si kecil, niscaya kemiskinan dan pengangguran akan terus mendera rakyat kita, dan keadilan sosial serta kemakmuran bangsa pun entah kapan dicapai. ***

Penulis adalah Peneliti di Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang berdomisili di Parapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar