Luwuk. Buruknya infrastruktur di wilayah perbatasan Kabupaten Banggai-Morowali, Sulawesi Tengah (920 km Timur Palu), membuat petani kakao di wilayah ini selama bertahun-tahun bergantung pada pedagang pengumpul, bahkan tengkulak. Hal sama dialami petani di wilayah terpencil Kabupaten Poso, Sigi, Donggala, Buol, dan lainnya. Petani hanya bisa pasrah pada harga yang ditetapkan pengumpul, karena kesulitan memasarkan sendiri kakaonya.
Demikian dikatakan sejumlah petani kakao, baik warga asli maupun transmigran, yang ditemui di Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali dan Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, sepanjang Minggu-Senin (13-14/3). Kecamatan Bungku Utara adalah kecamatan terakhir di Morowali yang berbatasan dengan Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai. Ibu kota Morowali, Bungku dan ibu kota Banggai, Luwuk.
Rusmadi (40), transmigran asal Jawa Timur yang bertani kakao di Baturube, Kecamatan Bungku Utara, mengaku, buruknya jalan ke Bungku atau ke Luwuk, membuat dia pasrah menjual kakao pada pengumpul. ”Mau jual ke siapa lagi? Kalau membawa sendiri ke Luwuk, susah. Jalannya buruk, ongkos angkutnya juga mahal,” katanya.
Sirmadi (42), transmigran lainnya, juga terpaksa menjual ke pengumpul kendati selisih harga hingga Rp 7.000. Sebagai gambaran, bila harga kakao di Luwuk Rp 27.000 per kg kering, di Baturube dan wilayah terpencil lainnya di Sulawesi Tengah, Rp 18.000-Rp 20.000 per kg.
Baturube-Luwuk, berjarak sekitar 220 km. Pantauan sepanjang Minggu-Senin di wilayah ini menunjukkan sebagian jalan masih tanah dan pengerasan. Adapun yang beraspal juga dalam kondisi rusak, yakni berlubang dan tergerus di sisi kiri kanannya. Untuk jarak ini, waktu tempuhnya sekitar lima-enam jam dengan kendaraan roda empat.
Adapun Baturube-Bungku harus ditempuh dengan kapal motor melalui Teluk Tolo. (kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar