Bangka Selatan. Program transmigrasi yang memanfaatkan lahan gambut di Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, ditinggalkan sebagian besar transmigran. Pemicunya, lahan yang disiapkan tak cocok untuk padi dan buruknya sistem irigasi.
Kegagalan bertani membuat sebagian transmigran memilih pergi kembali ke kampung asal. Hanya sebagian kecil yang bertahan di lokasi transmigrasi dan bekerja pada tambang timah ilegal. Sementara, sebagian perempuan membuat atap nipah.
”Saya sudah bertahun-tahun membuat atap nipah. Dulu kalau tahu dapat lahan seperti ini, mungkin kami tidak mau berangkat,” ujar Kasini, transmigran asal Purwokerto, Jawa Tengah.
Kepala Dusun II Desa Bangka Kota, Kecamatan Simpang Rimba, Sutarwin mengatakan, transmigran di desa itu ditempatkan secara bergelombang pada 1992 hingga 1996. ”Setiap desa disediakan untuk 100 keluarga,” ujarnya di Toboali, ibu kota Kabupaten Bangka Selatan, Selasa (29/3).
Total transmigran setempat sebanyak 300 keluarga. Mereka berasal dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali. Setiap keluarga memperoleh 0,75 hektar lahan sawah bekas rawa dan 1 hektar berupa hutan. Namun, akses ke lahan 1 hektar itu baru dibuka beberapa bulan terakhir. ”Tanahnya terlalu asam, tak bagus untuk padi. Sekarang lahan itu kami pinjamkan ke perkebunan sawit. Kami dapat ganti akses jalan dan bibit sawit untuk ditanam di lahan satu lagi,” kata Sutarwin.
Di Batu Betumpang, jaringan irigasi belum menunjang persawahan. Akibatnya, sawah tak dapat pengairan cukup. ”Banyak sawah ditinggalkan karena tak dapat air,” ujar Sujana, transmigran di Batu Betumpang.
Pemprov Kepulauan Bangka Belitung (Babel) berencana membuka 10.000 hektar sawah di Batu Betumpang. Sebagian sawah akan dikelola transmigran. Sisanya dibagikan kepada warga setempat.
”Pengadaan lahan sedang menunggu izin Kementerian Kehutanan karena sekitar 6.000 hektar ada di kawasan hutan. Kami telah mengusulkan perubahan peruntukan,” ujar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Babel Nazalyus.
Permukiman telantar
Di permukiman transmigran pada lahan eks program Pengembangan Lahan Gambut (LPG) di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, sebagian rumah juga ditelantarkan. Transmigran menjual rumah, lalu pulang ke daerah asal. Di Desa Petak Batuah, Kecamatan Dadahup, misalnya, sejumlah rumah tampak kosong, tertutup, dan tak terawat.
Kepala Desa Petak Batuah Setu Raharjo mengakui, sejumlah rumah transmigran di desanya dijual. Desa itu dihuni transmigran sejak 1997. Awalnya rumah-rumah ini ditempati 400 keluarga, kini tersisa 317 keluarga.
”Rumah yang ditinggalkan di- limpahkan kepada warga lain. Ya, kasarnya dijual dengan harga Rp 2 juta- Rp 3 juta per unit. Mereka pindah karena tak tahan tinggal di sini,” katanya.
Kepala Desa Manyahi, Kecamatan Mantangai, Suparno, mengatakan, desa itu ditempati sejak 1997 oleh 479 keluarga. Kini tersisa 242 keluarga yang bertahan.
Harga sayur yang turun tajam membuat para petani membiarkan komoditas itu membusuk di kebun. Sejumlah petani juga membuang sayur ke kanal LPG. Hama tikus yang mengganas ikut memicu sebagian transmigran menyerah dan pulang.
”Awalnya tanah juga tak bisa ditanami sayur. Kalau ditanam, sayur mati. Transmigran harus bekerja keras menggarap lahan yang terlalu asam itu,” katanya.
Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) membuka lebar daerahnya sebagai tujuan transmigrasi. Transmigran dibutuhkan untuk mengisi daerah pemekaran baru guna mempercepat perkembangan wilayah. ”Tahun 2011 ini rencananya akan datang 850 keluarga transmigran untuk ditempatkan di lima kabupaten,” ujar Kepala Seksi Penempatan dan Kemitraan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sultra Hendrawati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar