Senin, 11 April 2011

Program (Adaptasi) dengan Perubahan Iklim yang Tidak Pas

Perubahan iklim dan kecukupan pangan saat ini menjadi masalah krusial yang dihadapi negeri ini. Perubahan iklim menjadi sorotan dan menjadi bahan diskusi serta lokakarya di berbagai level pertemuan. Sementara pemerintah sibuk berdiskusi, di level rakyat, para petani dan nelayan harus berupaya sendiri untuk bisa beradaptasi dengan perubahan iklim yang telah menampakkan wajahnya.

”Pemerintah masih berkutat dengan definisi, tetapi sedikit kebijakan dan tindakan riil. Sementara dari hari ke hari petani, juga petambak dan nelayan terus menghadapi dampak perubahan iklim,” ujar Said Abdullah, yang lebih dikenal dengan nama Ayip dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), pekan lalu saat di Indramayu, Jawa Barat.

Pengamatan di atas yang diungkapkan Ayip tidak keliru. Kondisi seperti itu pula yang tertangkap di sejumlah daerah. Program-program adaptasi yang dibuat pemerintah ibarat kerja membasahi pasir panas. Setidaknya itulah yang terekam ketika Kompas mengikuti perjalanan ke daerah kantong-kantong beras, seperti Karawang, Indramayu, dan ke daerah pesisir di Brebes. Petani saat ini menghadapi ancaman gagal panen akibat semakin tidak menentunya awal musim hujan, ancaman intrusi air laut, dan kasus lama seperti serangan hama yang kini cenderung semakin ganas,

Pemerintah memang telah berupaya mendekatkan isu perubahan iklim kepada para petani dan nelayan serta membuat program adaptasi bagi mereka. Tapi Zaenuddin, petani di Desa Cantigi Kulon, Kabupaten Indramayu, mengatakan, ”Katanya hujan itu datang dari gunung, lha sekarang hujan datangnya dari laut. Yang dikatakan di sekolah lapang iklim itu tidak cocok.” Rupanya, yang sampai ke petani adalah hanya pengetahuan umum soal perubahan iklim dan ilmu yang didapat tidak cocok untuk diterapkan di daerahnya.

Di sisi lain, pranata mangsa yang selama turun-temurun dipegang petani sudah tidak tepat lagi. Akhirnya, apa yang diajarkan di sekolah lapang banyak yang tidak pas dengan kondisi setempat. Itulah yang diutarakan oleh pemerhati adaptasi iklim khususnya sosiologi pemanfaatan prakiraan, Raja P Siregar. Program adaptasi masih bersifat top down. Kemampuan petani untuk beradaptasi dipandang amat lemah (hanya) karena mereka berpendidikan rendah—80 persen petani berpendidikan maksimal SD (Kompas, 6/4).

Faktanya, setiap daerah memiliki karakter sosial-ekologisnya sendiri. Seperti dikemukakan Dedi Sucahyono dari Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Deputi Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di sela sekolah komunitas di Indramayu, pekan lalu, bahwa wilayah iklim bisa mencapai ratusan.

Masalah utama adalah bahwa pemerintah masih terus terjebak pada kata proyek atau program. Dan, ketika program diterjemahkan, terjemahannya selalu satu nada. Misalnya, petani harus menanam benih tertentu yang telah dipilih. Padahal, seperti kata Ayip, benih tertentu hanya cocok di daerah tertentu. ”Pada desa yang berbatasan saja bisa sangat berbeda hasilnya,” ujarnya.

Dan, Zaenuddin bersama anggota kelompoknya pun mulai mencoba sendiri menanam 15 varietas padi untuk mendapatkan varietas padi yang tahan di lahan sawah yang airnya agak asin. Upaya serupa dilakukan di desa tetangga dan sudah berhasil.

Dari semua catatan di atas, hal yang mesti diingat adalah negeri ini adalah negeri keberagaman. Bukan hanya dalam hal agama dan suku. Bahkan, kondisi fisik dan alamnya pun beragam. Maka, dalam konteks adaptasi pertanian menghadapi perubahan iklim, paradigma ”membangun dalam keberagaman” harus dipegang. Dan, nilai-nilai lokalitas: mulai dari sumber daya manusianya maupun sumber daya ekosistemnya harus dihargai dan dijadikan titik pijak. Yang dibutuhkan para petani sebenarnya hanya pendampingan, teman berpikir, dan fasilitator. Bukan ”guru” yang merasa tahu segalanya....(Brigitta Isworo Laksmi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar