Padang. Harga beras di pasaran kemungkinan kembali merangkak naik menyusul ketidakpastian iklim global yang melanda nyaris seluruh negara di dunia. Direktur Utama Perum Bulog Soetarto Alimoeso, Rabu (13/4), di Kota Padang, mengatakan, kemungkinan itu akan bertambah besar jika Vietnam dan Thailand tidak mau lagi melakukan ekspor beras.
”Sejak Juli tahun lalu sampai sekarang, harga (beras) cenderung di atas HPP (harga pembelian pemerintah),” kata Soetarto dalam forum Koordinasi Badan Ketahanan Pangan Provinsi, Kabupaten/Kota di Sumbar, Kota Padang. HPP adalah instrumen yang ditetapkan pemerintah untuk menjamin kualitas dan cadangan gabah serta beras pemerintah lewat Perum Bulog.
Soetarto mengatakan, tahun ini perubahan iklim menjadi persoalan serius yang relatif mengganggu sisi ketersediaan pangan. Padahal, menurut Soetarto, antara bulan Oktober-Maret biasanya produksi bisa digenjot karena saat itulah musim penghujan. Karena itulah, Soetarto meminta agar pemerintah daerah mandiri memenuhi kebutuhan pangannya.
Daerah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) pun 95 persen kebutuhan berasnya (287.500 ton) datang dari luar NTT. NTT hanya mampu memproduksi 5 persen per tahun. Pangan lokal jadi penyangga kebutuhan utama di daerah itu.
Kepala Bidang Pelayanan Publik Divisi Regional Badan Urusan Logistik (Bulog) Nusa Tenggara Timur, Abdul Hamid Mahmud Djenal, di Kupang, Rabu (13/4), mengatakan, jika produksi pangan lokal yaitu umbi-umbian, jagung, dan kacang-kacangan sukses, kebutuhan akan beras dari luar turun jadi 250.000 ton. Tetapi jika gagal panen, dibutuhkan beras sekitar 300.000 ton dari luar. Ketersediaan beras lokal dari petani di NTT maksimal hanya 10.000 ton.
Sementara Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian Sumarjo Gatot Irianto mengatakan, pihaknya menjadikan Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis sebagai sentra padi organik.
Para petani di Kecamatan Sempu, Banyuwangi, Jatim, melaporkan pertanian organik terbukti meningkatkan produksi 2 ton per hektar dari angka sebelumnya 5 ton per hektar. Sebelumnya mereka butuh 3,5 kuintal urea. Sekarang hanya 2 kuintal, dan menghemat Rp 240.000 per hektar. ”Ini langka, karena di Banyuwangi hampir semua daerah mengalami penurunan produktivitas. Tapi panen kami justru tambah,” kata Tajum Riyadi, Ketua Kelompok Tani Pancaroba, Rabu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar