Di tengah ”tangisan” petani akibat meluasnya serangan hama penyakit dan gagal panen, PT Pupuk Sriwidjaja (Persero) berencana menstandardisasi pupuk majemuk atau nitrogen, fosfat, dan kalium (NPK).
Gebrakan baru induk perusahaan pupuk badan usaha milik negara (BUMN)—yang baru efektif sebagai holding Januari 2011—membuat petani dan kalangan pengusaha pupuk NPK blending (aduk) terenyak. Pasalnya, standardisasi pupuk majemuk bakal menghapus keberadaan pupuk NPK aduk dan menggantinya dengan NPK granula produksi PT Petrokimia Gresik bermerek Phonska.
Pupuk NPK lahir tahun 2000-an. Pupuk NPK diciptakan sebagai solusi dalam menekan penggunaan pupuk tunggal urea. Bukan rahasia lagi bahwa penggunaan urea oleh petani berlebihan. Untuk menekannya, PT Petrokimia Gresik mengeluarkan jenis pupuk baru bernama Phonska.
Agar penurunan penggunaan urea lebih nyata, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian tahun 2006 mengeluarkan rekomendasi pemupukan urea.
Seiring dengan itu, pada masa Deputi Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan dan Penerbitan Kementerian BUMN dijabat Agus Pakpahan, muncul kebijakan lain meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan pupuk urea.
Pilihannya meningkatkan penggunaan pupuk NPK (majemuk) yang disesuaikan dengan kebutuhan lokal dan dibuat dengan teknologi aduk. NPK aduk diproduksi PT Pupuk Kujang dan PT Pupuk Kaltim. Sebagian dikerjasamakan dengan pengusaha lokal.
Mengapa BUMN memilih NPK aduk? Pertama, karena pupuk NPK aduk teknologinya sederhana. Tiga jenis pupuk tunggal, yakni urea, fosfat, dan kalium, diaduk menjadi satu menggunakan mesin pengaduk sederhana. Komposisinya disesuaikan kebutuhan lokal.
Kedua, tidak perlu investasi besar karena teknologinya sederhana sehingga dapat mendorong tumbuhnya industri pupuk skala kecil di sentra-sentra produksi pangan. Sekadar gambaran, investasi satu unit pabrik pupuk NPK granula setara membangun pabrik NPK aduk di seluruh Indonesia.
Ketiga, karena teknologinya sederhana, mesin aduk bisa dibuat di dalam negeri. Ini dapat mendorong tumbuhnya industri pendukung. Hal itu berbeda dengan NPK granula yang mesinnya harus diimpor.
Yang juga tak kalah penting, menyebarnya industri pupuk NPK aduk di sentra-sentra produksi pangan memudahkan distribusi pupuk. Kawasan padi 100.000 hektar perlu satu unit pabrik pupuk NPK aduk. Kelangkaan pupuk akibat masalah distribusi bisa dihindari.
Silang pendapat boleh saja terjadi, tetapi di atas segalanya adalah kepentingan petani mengingat mereka konsumen. Sebagai konsumen, petani berhak memilih produk terbaik yang akan digunakan. Dengan standardisasi, hak petani untuk memilih sudah dirampas industri pupuk.
Apalagi kalau produk tersebut akan berdampak langsung pada penghasilan petani. Untuk menanam komoditas tanaman pangan seperti padi, jagung, dan kedelai, petani mengeluarkan biaya sendiri. Bukan dari industri pupuk.
Apakah kalau produksi gagal, industri pupuk yang bakal mengganti biaya produksi. Apakah kalau produktivitas turun, industri pupuk bakal menutupi defisit pendapatan petani?
Dalam situasi iklim tak bersahabat, pemerintah seharusnya bisa meringankan beban petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar