KISARAN. Wabah ulat bulu yang melanda tiga kecamatan merupakan terbesar di Kabupaten Asahan, namun hal itu sudah diantisipasi agar tidak meluas serta merusak tanaman penduduk.
Hal itu diungkapkan Kabag Humas Pemkab Asahan, Rahman Halim. Menurutnya, untuk mengantisipasi itu, pihaknya telah menurunkan Dinas Perkebunan dan Pertanian, dan laporan yang diterima ulat bulu itu telah dikendalikan dengan menyuntik tanaman sawit.
Menurutnya, ulat bulu itu disebut warga sekitar ulat api yang suka memakan daun sawit, namun baru kali ini populasinya terbesar. "Berdasarkan penelitian Dinas Perkebunan ulat itu sudah sudah ada sejak lama, namun tahun ini yang terbesar dengan memakan 21 ha tanah kebun sawit milik warga di Desa Silaumaraja, Kecamatan Setiajanji dan kini keberadaan ulat itu telah terkendali dan semoga tidak menyebar ke daerah lain," kata Halim.
Oleh sebab itu, lanjut Halim, pengawasan lapangan dari dua dinas itu, terus memantau perkembangan ulat bulu itu di perkebunan petani yang terserang wabah itu. Dan hingga saat ini penyuntikan pohon terus dilakukan agar populasi ulat bulu itu tidak meningkat pesat. "Kita terus pantau perkembangannya, dan hingga saat ini populasi ulat bulu masih bisa dikendalikan dengan baik," ungkap Halim.
Ulat spodoptera
Sedangkan untuk ulat bulu yang menyerang daun mangga dan lansat di Kecamatan Airbatu, Kadis Pertanian Kabupaten Asahan, Oktoni Rianto,melalui Kabid Tanaman Siti Aisyah didampingi Kasi Perlindungan Tanaman Aisyah, mengatakan jenis ulat itu tergolong dengan jenis ulat spodoptera
(gerombolan/tentara), yang menyerang dengan bergerombolan. Jenis ini biasanya menghabiskan daun tanaman dengan memakan waktu semalam. "Namun ulat itu juga telah diantisipasi dengan cepat dengan menebang pohon atau menyemprot daunnya dengan racun ulat," ungkap Siti.
Menurutnya populasi ulat bulu spodoptera tidak terlalu tinggi seperti ulat yang memakan daun sawit, ulat itu baru ditemukan di satu pohon saja. Perkembangan ulat bulu, kata Siti hanya memakan waktu 28 hari atau sekitar satu bulan, dengan bagian waktu sepekan (7 hari) di dalam telur, kemudian menetas menjadi ulat dan bertahan selam dua pekan, selanjutnya berubah menjadi kepompong sepekan, dan akhirnya berubah menjadi kupu-kupu. Peningkatan populasinya disebabkan pengaruh alam dan ekosistem, seperti berkurangnya predator pada mata rantai makanan.
"Oleh sebab itu, dengan kejadian ini, masyarakat dapat mengambil pelajaran, dan bisa menjaga ekosistem alam, agar rantai makanan binatang tidak terputus. Dan cara itu yang lebih efektif untuk menekan perkembangan ulat bulu tersebut," ungkap Siti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar