Maros. Meski hingga saat ini Provinsi Sulawesi Selatan masih surplus beras, kondisi di lapangan cukup mengkhawatirkan. Petani tak bisa menggantungkan hidup sepenuhnya dari tanaman padi. Bahkan, ada petani yang terpaksa harus menerima beras dari program beras untuk rakyat miskin. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa mengancam lumbung pangan Indonesia timur itu.
Sejumlah buruh tani dan petani pemilik lahan di Kabupaten Maros dan Kabupaten Takalar, Sabtu (23/4), mengatakan, mereka mampu memproduksi padi setahun dua hingga tiga kali. Akan tetapi, hasil panen dirasa tak bisa menopang hidup mereka lagi.
Saridah, buruh tani di Desa Minasabaji, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, mengatakan, dulu ia masih bisa mencukupi kebutuhan beras bagi keluarganya dari usahanya menjadi buruh tani. Akan tetapi, kini hasil panen tak bisa lagi mencukupi kebutuhannya. Bahkan, ia juga harus bergantung pada beras beras untuk rakyat miskin (raskin) karena hasil yang didapat sangat kurang.
”Harga-harga kebutuhan makin mahal. Saya harus menjual lebih banyak beras yang saya dapat dari menjadi buruh. Kalau tak ada uang untuk belanja, saya terpaksa menjual gabah untuk belanja,” kata Saidah. Ia juga terpaksa meminta bantuan uang dari kerabatnya ketika uang habis.
Sahabuding, warga Mangeloreng, Bantimurung, yang mengerjakan lahan milik seorang pengusaha mengatakan, ia bisa mendapat beras hingga 25 karung dalam setiap panen. Dari jumlah gabah sebanyak itu jika dikeringkan, ia akan dapat 18 karung. Dari jumlah itu ia harus membayar ke pengusaha itu sebanyak 10 karung karena ia berutang pupuk, sarana produksi pertanian lainnya, sewa traktor, dan sisanya untuk bagi hasil. Ia bisa mendapat delapan karung.
Keluhan yang sama disampaikan dua petani di Desa Galesong Baru, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. Mereka mengakui produksi beras tidak banyak terganggu karena mereka bisa mendapat pasokan air dari sungai terdekat. Akan tetapi, kebutuhan sehari-hari mengakibatkan hasil yang didapat tak banyak berarti.
Maryati, seorang buruh tani setempat, mengaku harus menjadi buruh bangunan saat panen sudah selesai. Hal ini dilakukan karena hasil panen belum bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka.
Salah satu pemilik lahan di Desa Galesong Kota, Rusdin, mengatakan, hasil panen selama ini digunakan untuk makan sehari-hari. Ia hanya tinggal menerima hasil dari buruh tani yang menggarap lahannya. Ia mengaku sampai sekarang bisa mendapatkan pasokan beras yang mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
Kepala Bidang Produksi Dinas Pertanian, Hortikultura, dan Tanaman Pangan Sulawesi Selatan Muhammad Aris mengatakan, surplus beras tahun 2010 mencapai 1,8 juta ton. Gabah kering giling (GKG) tahun lalu mencapai 4,34 juta ton dari lahan persawahan seluas 900.000 hektar di 24 kabupaten/kota di Sulsel. Tahun ini Dinas Pertanian Sulsel menargetkan produksi beras hingga 2,1 juta ton dari 5 juta ton GKG.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar