Senin, 11 April 2011

Integritas Ternak dan Pertanian



Pupuk kompos yang diproduksi Hasyim hingga saat ini masih tergolong kecil, berkisar tiga ton per bulan dengan merek Reksa. Sementara pemasarannya juga masih terbatas, selain lokal juga sebagian dipasarkan ke Aceh dengan harga jual Rp 1.000 per kg.

Produksi pupuk kompos itu masih bersumber dari kotoran padat sapi saja, sementara Hasyim juga sudah memproduksi pupuk cair organik dari ternak, baik sapi maupun domba. Yang tiap bulannya dapat memproduksi pupuk cair sebanyak 50 – 70 liter atau tergantung permintaan. Dan, tiap liternya pupuk cair organik itu dijualnya seharga Rp 10.000-an.

Namun, menurut Hasyim, permintaan akan urine sapi dan domba dalam bentuk segar artinya belum diolah sama sekali, cukup banyak. “Bisa mencapai ribuan liter untuk tiap kali pengambilan. Biasanya, urine segar tersebut dibeli oleh petani dari Kabupaten Karo seharga Rp 500 per liter,” katanya.

Dalam sehari domba yang dimiliki Hasyim sebanyak 48 ekor tersebut dapat menghasilkan urine sebanyak 10 – 15 liter. Inilah yang dikumpulkan Hasyim untuk selanjutnya diolah untuk pupuk cair organik dan sebagian lagi dijual dalam segar.

Mengenai proses pengolahan pupuk cair organik, menurut Hasyim tidak terlalu sulit bahkan bahan baku yang digunakan sangat mudah ditemukan di lingkungan sekitar. Sebut saja, bawang putih dan daun sirsak. Kedua bahan tersebut dihaluskan kemudian disaring dan dicampur dengan urine.

Namun, sebelumnya urine ternak tersebut telah dicampur dengan Kom A yang fungsinya sama dengan EM4. Kemudian dilakukan fermentasi sekitar satu minggu. Untuk kemudian, pupuk siap digunakan. “Jadi, produk ini tidak hanya berfungsi sebagai pupuk saja tapi juga sebagai pestisida nabati,” jelasnya.

Menanggapi pengolahan dan penggunaan pupuk kompos dari kotoran ternak yang dilakukan Hasyim, Kepala Dinas Pertanian Sumut, M Roem melalui Kabid Pengelolaan Lahan, Air (PLA) dan Sarana Adam Brayun Nasution, sangat mengapresiasinya. Bahkan menurut Adam, petani lain harus bisa memberdayakan potensi yang ada untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan.

Apalagi pemerintah pusat telah mencanangkan pertanian Go Organik. Sehingga untuk menunjang program tersebut banyak bantuan yang telah diberikan pemerintah kepada petani, seperti pengadaan alat pengolahan pupuk organik (APPO) dan unit pengolahan pupuk organik (UPPO). Khusus untuk UPPO, di dalamnya ada pengadaan ternak sapi sebanyak 33 ekor yang diberikan kepada kelompok tani.

Dengan harapan, petani dapat memproduksi sendiri pupuk kompos dari kotoran sapi tersebut. “Yang jelas, pupuk kompos yang mereka produksi untuk dipakai sendiri pada tanaman padinya atau komoditas lainnya dan sisanya kalau memang ada dan memungkinkan untuk dipasarkan mengapa tidak. Dengan begitu, ada peningkatan pendapatan petani,” jelas Adam kepada MedanBisnis.

Terciptanya sinergi atau integritas antara peternakan dan pertanian memang sangat diharapkan, seperti yang dilakukan Hasyim dan petani lainnya. “Hasil pertaniannya bagus dalam hal ini ada peningkatan produksi dan penurunan biaya produksi dari pengurangan pemakaian pupuk anorganik yang akhirnya pendapatan petani meningkat. Bukan itu saja, petani juga bisa menjual pupuk kompos yang diproduksinya sendiri serta menjadi peternak,” ucapnya.

Adam juga sangat menyayangkan minimnya kemampuan dan kemauan petani dalam menggunakan pupuk organik. Petani masih tetap menginginkan produk yang instan dalam bercocok tanam. Padahal, sebagaimana diketahui harga pupuk anorganik di luar dari subsidi sangat mahal. Dan, yang lebih parah lagi kata Adam, kondisi tanah pertanian secara umum sudah mengalami degradasi.

Tanah sudah gersang dan tidak gembur lagi. Sehingga untuk merangsang kesuburan tanah, petani harus mengunakan pupuk dalam jumlah yang lebih. “Kondisi ini bukan membantu tingkat kesuburan tanah melainkan sebaliknya makin memperparah. Biaya produksi juga makin tinggi.

Kecuali, petani menggunakan pupuk organik, maka lambat laun tingkat kesuburan tanah makin baik, produksi pertanian makin tinggi dan yang paling penting lagi pendapatan petani makin bertambah,” terangnya.

Begitupun, pihaknya akan tetap menyosialisasikan penggunaan pupuk organik tersebut sehingga petani benar-benar mengerti dan memahami pentingnya penggunaan pupuk organik dalam pertanian serta bagi kesehatan manusia.

Hasyim yang hanya memiliki ternak sapi satu ekor saja namun memiliki domba sebanyak 48 ekor itu tidak mau menyerah begitu saja. Tiap hari ia mengangkut sekitar 100-an kilogram kotoran sapi dari rumah-rumah tetangga yang memiliki ternak sapi. Kotoran sapi dalam bentuk padat itu kemudian dimasukkan ke dalam kolam khusus yang memang sudah dirancang sedemikian rupa.
Ada empat kolam yang disediakan dan masing-masing kolam memiliki ukuran dan kedalaman yang berbeda tergantung kegunaannya. Kolam pertama yang sebagai penampungan kotoran sapi dibuat berukuran 2,5 x 4 meter persegi, kolam kedua 3 x 1,5 meter persegi, kolam ketiga berukuran 60 x 60 cm2 dan kolam terakhir berukuran 1,5 x 1 m2.

“Jadi, kotoran-kotoran sapi yang saya angkut sebanyak 100 kg itu saya masukkan ke dalam kolam pertama hingga penuh. Untuk selanjutnya akan terjadi pemisahan kotoran dan air yang memang mengandung gas. Cairan yang mengandung gas ini akan mengalir ke dalam bak satunya.

Begitulah selanjutnya, yang akhirnya gas yang dikeluarkan akan dialirkan melalui pipa hingga ke dalam rumah atau tempat yang akan kita gunakan untuk pemanfaatannya,” papar Hasyim.

Dari 100 kg kotoran sapi yang diangkut itu, gas yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk memasak selama tujuh jam non stop. “Itu kalau masakan kita banyak. Tapi kalau untuk skala rumah tangga dua atau tiga jam saja sudah cukup dalam sehari. Dan, sisanya bisa digunakan untuk keperluan memasak besok harinya atau kapan saja kita perlu,” ucapnya.

Sedangkan untuk pengadaan sarana tersebut investasi yang dikeluarkan menurut Ketua Kelompok Tani Bangun Tani ini berkisar Rp 14 jutaan. Namun, untungnya sarana yang digunakan Hasyim untuk menampung gas kotoran sapi tersebut merupakan bantuan dari Dinas Peternakan Sumut tahun 2008 lalu.

Begitupun, Hasyim mengaku alangkah indahnya bila sarana tersebut bisa juga dimanfaatkan peternak lainnya. Karena menurut Hasyim dengan investasi yang lumayan besar, gas yang dialirkan bisa dibagi ke warga atau tetangga lainnya. Hanya saja, pengaturannya harus dirancang sedemikian rupa antara kolam penampung kotoran dengan kandang ternak. “Antara kandang ternak dengan bak penampungan harus berdekatan, sehingga system kerjanya bisa lebih efektif,” ujarnya.

Sayangnya, Hasyim sendiri tidak memiliki ternak sapi yang memadai. Karena idealnya, untuk menghasilkan sekitar 100 kg kotoran sapi paling tidak harus ada sapi dewasa sekitar lima ekor. Sementara Hasyim sendiri hanya memiliki satu ekor sapi. Dan, untuk menghasilkan gas ia harus mengangkut kotoran sapi milik tetangga.

Karena itu, untuk melengkapi biogas yang dihasilkannya, ia berharap Dinas Pertanian baik Kabupaten Langkat maupun Propinsi Sumut dapat memberikan bantuan UPPO atau unit pengolahan pupuk organik yang di dalamnya ada pengadaan ternak sapi.

Memang, kata dia, dirinya pernah mendapat bantuan dari Dinas Pertanian berupa pengadaan rumah kompos satu unit, hand tractor dan alat mesin pertanian lainnya. “Tahun 2009-2010, saya memperoleh bantuan tersebut. Tapi, kalau masih dibolehkan, saya berharap ada bantuan UPPO diberikan guna melengkapi biogas yang saya hasilkan. Itu juga kalau ada dan boleh,” katanya tertawa namun penuh harap.

Hasyim lebih jauh mengatakan, ampas atau sisa kotoran sapi yang telah terbebas dari kandungan gas tadi dapat langsung digunakan sebagai pupuk kompos. “Jadi, kita tidak perlu repot lagi mengolahnya seperti biasa. Karena dengan sendirinya, kotoran yang sudah habis kandungan gasnya bisa langsung dijadikan pupuk,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar