PRODUKSI dan penggunaan pestisida yang tidak terkendali di Asia menurut para ilmuwan kini menimbulkan momok “badai-badai hama” yang melanda lahan-lahan pertanian di wilayah ini sehingga mengancam keselamatan pangan.
Meningkatnya produksi pestisida murah di China dan India, lemahnya regulasi dan tidak memadainya pendidikan petani dewasa ini menghancurkan ekosistem di sekitar sawah. Akibatnya, bermacam hama jadi berkembang dan semakin banyak.
Problema itu telah muncul dalam sedekade terakhir dan -- jika dibiarkan saja-- hama-hama dapat menghancurkan lahan pertania sangat luas di Asia, papar para ilmuwan yang ambil bagian dalam lokakarya di Singapura baru-baru ini.
“Kini muncul keprihatinan kian besar bahwa makin banyak kita menggunakan pestisida di lahan pertanian maka langkah itu justru membuat problema hama jadi lebih parah,” tegas ilmuwan Australia George Lukacs kepada AFP dalam sebuah wawancara. Karena mendapat tekanan untuk meningkatkan hasil agar bisa memenuhi permintaan yang tambah besar, para petani kurang terlatih cenderung terlalu mengandalkan zat-zat kimia.
“Kini terjadi ledakan-ledakanan besar hama atau apa yang mereka sebut di China sebagai ‘badai hama’ akibat penggunaan pestisida,” tegas Lukacs. Beras merupakan bahan pangan pokok di banyak daerah Asia, termasuk dua negara terpadat di dunia China dan India, sehingga menjadikan wilayah tadi rawan lonjakan harga pangan dan problema pasokan, papar ahli-ahli ekonomi.
Rekor
Badan pangan PBB mengemukakan harga pangan di dunia telah mencatat harga rekor tinggi dan memperingatkan kenaikan harga minyak disebabkan pergolakan di Timur Tengah dapat menyebabkan harga bahkan jadi lebih tinggi. Indeks Harga Pangan (FPI), yang memantau rata-rata perubahan harga bulanan berbagai bahan pangan pokok, naik jadi 236 poin dalam Pebruari dari 231 pada Pebruari, ungkap badan pangan PBB Food and Agriculture Organisation (FAO).
Itu merupakan level harga tertinggi sejak FAO mulai memantau harga-harga dalam 1990. Lukacs mengatakan pasokan beras di Asia jadi lebih rentan dibuat ketergantungan pada sejumlah kecil varietas. Itu artinya jika hama-hama tertentu mendapat pijakan pada suatu jenis tanaman maka hama tersebut dapat menyebar sangat cepat.
“Di sejumlah negara, mayoritas produksi padi didasarkan pada sekira dua atau tiga varietas padi, jadi sikap tersebut sesungguhnya meningkatkan risiko terhadap keamanan pangan internansional jika suatu penyakit besar sampai muncul,” ungkapnya. Seminar di Singapura itu dihadiri para ilmuwan dari semua daerah itu, termasuk Australia, India, Jepang, Malaysia, Pilipina, Singapura, Korea Selatan dan Vietnam.
Resistensi
Seminar tadi digelar sebagai bagian persiapan pertemuan Ramsar Convention di Bukarest tahun depan. Ramsar merupakan traktat antarpemerintah mengenai konservasi dan penggunaan arif atas daerah rawa-rawa di dunia -- termasuk lahan padi -- dan sumber dayanya.
Lukacs, anggota panitia seminar tersebut, menjelaskan bahwa di China dan beberapa daerah di Asia, penggunaan zat-zat kimia tanpa regulasi telah menyebabkan berbagai hama jadi memiliki kekebalan terhadap racun. Problema itu diperburuk aplikasi membabibuta yang telah menghancurkan ekosistem di sekitar sawah, termasuk predator seperti laba-laba dan capung yang biasanya menekan jumlah hama. “Tekanan predator sudah hilang dan berbagai hama tak merespon (terhadap pestisida) karena mereka memiliki resistensi sangat cepat,” papar Lukacs.
Tanggungjawab
Lukacs, ilmuwan riset terkemuka dari Australian Cenre for Tropical Freshwater Research di James Cook University, menjelaskan tanggungjawab terletak pada perusahaan pestisida, pemerintah dan komunitas lokal. Begitu pestisida didaftar pada pihak otorita nasional sebuah negara, tidak ada pemantauan tentang cara-cara penggunaannya, tegas pakar tadi. “Industri itu sangat tidak diregulasi. Setelah pendaftaran, penggunaannya bebas total,” tandas Lukacs, yang juga pakar pertanian untuk Panel Peninjauan Ilmiah dan Teknis Ramasar Convetion.
Lukacs dan para ilmuwan koleganya mengimbau kerjasama erat di antara para pembuat pestisida, pihak regulator pemerintah dan berbagai komunitas lokal untuk menemukan “berbagai praktik terbaik” dalam produksi dan penggunaan zat kimia.
Para pembuat pestisida mesti memiliki “pekerjaan pengurus” produk-produk mereka, sementara para pemerintah dan komunitas hendaknya bertanggungjawab atas regulasinya serta pelatihan dan pendidikan para petani, lanjut ilmuwan senior tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar