Bandar Lampung. Minat menanam jarak pagar turun drastis akibat tingginya biaya produksi dibandingkan keuntungan. Padahal, jarak pagar kini mulai dicari kembali oleh industri.
Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Masgandi, ditemui di sela-sela rapat koordinasi peningkatan produksi tanaman pangan, Selasa (8/3) di Bandar Lampung, mengatakan, selama beberapa tahun terakhir, tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) tidak lagi mendapat perhatian. ”Biaya pemeliharaan dan produksi (biji jarak) lebih mahal daripada hasil yang diperoleh. Petani banyak yang beralih ke komoditas lainnya,” tuturnya.
Akibat tidak seimbangnya biaya perawatan dengan hasil yang diperoleh, tanaman-tanaman bibit jarak pagar di Kebun Percobaan Natar tidak lagi mendapatkan perhatian khusus karena tidak ada biaya. Bahkan, berdasarkan pantauan, kebun itu terlihat tidak terawat.
Namun, sejak ada permintaan khusus dari PT Jedo Indonesia, dua bulan terakhir, tanaman ini direvitalisasi. PT Jedo Indonesia, produsen bahan bakar nabati, berani membeli biji jarak pagar Rp 1.500 per kilogram. Padahal, beberapa tahun lalu, harga biji jarak sangat jatuh, yaitu Rp 200 per kilogram, tidak lebih mahal daripada harga singkong Rp 600 per kilogram. Akibatnya, banyak petani yang awalnya menanam jarak beralih komoditas lain, seperti kakao dan singkong.
Maulana Taufik, Koordinator PT Jedo Indonesia Areal Lampung, mengungkapkan, di Lampung, kini tidak lagi mudah ditemui petani membudidayakan jarak pagar. Padahal, dahulu, Lampung merupakan salah satu daerah percontohan pengembangan jarak pagar.
”Saya keliling sana-sini di Lampung, biji jarak susah didapat. Petani-petani masih trauma menanam (jarak) karena dulu tidak ada yang beli. Akibatnya, mereka banyak ganti ke kakao dan singkong,” tuturnya.
Padahal, ungkapnya, PT Jedo Indonesia tengah mencari pasokan biji jarak pagar sebesar 15 ton per bulan. Saat ini baru terpenuhi 10 persen di antaranya. Apabila pasokan ini terpenuhi, perusahaan energi alternatif ini berencana mendirikan pabrik pengolahan minyak jarak di Lampung. Saat ini, pabrik terdekat berada di Malingping, Banten.
Pasar tak jelas
Selain di Lampung, tanaman jarak pagar di lahan seluas 2,5 hektar di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, dibongkar petani. Mereka menilai tanaman itu tidak menjanjikan karena harga buah jarak rendah dan pasarnya tidak jelas.
Kepala Bidang Kehutanan Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Kudus, Suharsanto, di Kudus, mengatakan, harga buah jarak kering antara Rp 700-Rp 1.000 per kilogram. Hal itu membuat petani meninggalkan jarak dan kembali menanam ketela pohon dan jagung.
Masih di Jawa Tengah, petani di Desa Tanjungharjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Susilo, mengatakan, sudah dua tahun ini tanaman jarak kurang lagi dikembangkan petani. Padahal, awalnya benih jarak banyak diberikan gratis ke petani. Tanaman jarak meski bukan tanaman hamparan, hanya sebagai tanaman sela, tetapi masa panennya ternyata lama.
Kepala Desa Tanggungharjo Sugiyono mengatakan, wilayah Kecamatan Ngaringan pernah ditetapkan sebagai sentra tanaman jarak pada 2007. Ketika tanaman ini berkembang luas, harga komoditas jagung juga tengah naik seiring dengan jagung sangat dibutuhkan para pengolah pabrik pakan.
Secara terpisah, Tumiran, dosen Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang juga selaku anggota Dewan Energi Nasional, menilai ketidaksiapan aparat pemerintah sebagai salah satu penyebab tidak optimalnya produksi BBN. Perencanaan pemerintah masih parsial dan sektoral. ”Perencanaan produksi BBN harus secara terintegrasi,” kata Tumiran.
Proses integrasi produksi BBN mencakup kesiapan teknologi dan bahan baku. Ditunjang pula mekanisme produksi yang mampu bersaing dengan bahan bakar konvensional. (kompas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar