BANYAKNYA ragam makanan olahan dengan bahan utama jamur tiram (pleurotus ostreatuss) serta mudahnya pembudiayaan menjadi salah satu faktor maraknya usaha budidaya jamur berwarna putih ini di wilayah Malang Raya. Labanya pun bisa berlipat meski dibudidayakan dalam skala kecil.
Seperti yang dilakukan Masaul Jihadan (36) warga Jl Masjid, Kecamatan Singosari. Pria yang profesi aslinya sebagai tukang pangkas rambut di kawasan Pasar Burung Singosari ini, sejak lima tahun terakhir memutuskan nyambi menanam jamur tiram karena terbukti menghasilkan keuntungan cepat yang menggiurkan.
“Menamam jamur tiram itu tidak rumit, hasilnya cepat dan bisa ditinggal sehingga bisa beraktivitas atau bekerja yang lain,” kata Saul mengenai alasannya menerjuni usaha jamur tiram.
Saat ditemui di lahan jamur miliknya, Gubuk Jamur di Dusun Mluwo, Desa Gunung Rejo, Kecamatan Singosari, Rabu (9/2) lalu, Saul menuturkan, dari 4.000 lebih baglog (media penanaman jamur), ia bisa memanen sekitar 20 kg jamur tiram segar.
Dengan harga jual Rp 10.000 per kg, Saul setidaknya mengantongi uang Rp 200.000 per hari dari panenan 4.000 baglog.
Itu pun Saul tidak perlu mengeluarkan biaya bensin untuk mengantar jamur-jamur tersebut, karena setiap pagi sudah ada pembeli yang mengantre. Padahal, Saul saat ini setidaknya memiliki lebih dari 9.000 lebih baglog dari dua kumbung (rumah penyimpanan baglog jamur) berukuran 4 x 12 meter dan 4 x 25 meter.
Selama lima tahun menggeluti usaha jamur tiram, Saul memastikan belum pernah menemui jamur tiram miliknya tidak terserap pasar. Bahkan sejauh ini, pasokan untuk pasar di kawasan sekitar Singosari selalu kurang, meski sudah banyak yang membudidayakan jamur ini.
Bagi Saul, budidaya ini tidak sulit dan meyakini semua orang bisa melakukannya. “Tanaman ini minim perawatan dan minim hama. Kalaupun ada, sekadar menjaga suhu kumbung tetap ideal yakni 25-26 derajat Celcius dengan melakukan penyiraman, dan menghindari masuknya lalat atau klelet (jenis siput tanpa cangkang) ke kumbung. Artinya, tinggal menaruh baglog jamur akan tumbuh,” ucapnya.
Mengaku otodidak dan hanya bermodal nekat, Saul juga memproduksi baglog. Selain dipakai sendiri, ia jual ke petani-petani lain yang membutuhkan. Bagi Saul, membuat baglog sendiri artinya menekan biaya pembelian baglog serta menjaga kualitas media tanam.
Selain jamur tiram yang murah meriah, Saul juga bisa memproduksi jenis jamur lain yang memiliki harga premium di pasaran, seperti jamur jenis Lingzhi atau Reishi. Namun, untuk jenis jamur yang satu kilogramnya dijual dengan harga Rp 200.000 tersebut, Saul mengaku masih sulit menemukan pasar. Untuk itu, ia berharap ada campur tangan pemerintah yang bisa mencarikan pasar jamur Lingzhi bagi puluhan petani jamur sepertinya.
“Jamur Lingzhi bisa juga dimakan, tapi jarang ada yang beli makanan semahal itu. Jamur ini lebih digunakan untuk bahan farmasi.
Namun sejauh ini, kami, petani jamur kesulitan dan tidak tahu harus menjual ke mana jika memproduksi jamur Lingzhi,” papar Saul yang juga berpatner dengan saudaranya untuk memproduksi keripik jamur tiram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar