Hidup sehat tidak selalu harus menjauhi rasa manis. Ada beberapa alternatif tanaman pengganti gula. Salah satunya adalah stevia. Daun dari keluarga rerumputan ini bisa menghasilkan rasa manis berkali lipat ketimbang tebu. Budidaya mudah.
Saat beberapa harga komoditas dunia naik, orang baru terpikir untuk mencari bahan alternatif. Begitu pula saat harga gula dunia melonjak, padahal di saat yang sama produksi tebu dalam negeri sedang merosot. Adakah alternatif lain?
Tentu ada. Salah satunya adalah stevia yang juga dikenal sebagai daun manis. Baik batang maupun daun stevia mengandung zat pemanis stevioside. Namun, daun stevia lebih sering dimanfaatkan lantaran konsentrasi zat pemanis paling banyak berada di bagian ini.
Hanya saja, karakter manis stevia berbeda dengan manis gula tebu dan kristal. Apabila digunakan dalam bentuk herbal, rasa manis yang ditimbulkan tidak mantap. “Manisnya mengambang dan terkecap pada lidah bagian belakang,” jelas Widhi Hartanto, pemilik Mos Corp, penjual bibit stevia.
Mereka yang tidak terbiasa mungkin akan berpendapat bahwa manis stevia kurang mantap. Padahal, dalam bentuk ekstrak, kemanisan stevia bisa sampai 300 kali kadar kemanisan gula tebu.
Apalagi, stevia tidak meninggalkan rasa getir di mulut setelah dikonsumsi, tidak seperti pemanis buatan berjenis aspartam. Stevia juga jauh lebih sehat lantaran tidak mengandung glukosa. Dengan begitu, kandungan kalorinya boleh dibilang tidak ada sama sekali.
Karena rasa manis stevia bukan berasal dari glukosa, zat ini tidak masuk proses metabolisme tubuh. Meski bukan termasuk obat herbal, penggunaan stevia sebagai pengganti gula dapat membantu mengendalikan kadar gula dalam darah.
Jenis stevia yang banyak ditemui di Indonesia adalah stevia rebaudiana bertoni dari Paraguay. Ada beberapa literatur yang menyebutkan bahwa tumbuhan berdaun manis ini sudah dikenal masyarakat Indonesia sejak tahun 1990-an.
Tapi, di daerah Karanganyar, Jawa Tengah, yang kini menjadi pusat pengembangan tanaman ini, stevia baru populer pada tahun 2002–2004. Dulu, banyak orang membudidayakan stevia lantaran ada permintaan besar dari luar negeri. Tapi, setelah kontrak habis, budidaya stevia juga ikut berhenti.
Meski begitu, permintaan dari dalam negeri tetap ada. Agus Suwarno, pemilik Atep Natural yang menjual bibit dan daun herbal stevia, bisa menjual tiga ton stevia setiap bulan ke beberapa pabrik seperti Sidomuncul dan Coca-Cola. “Oleh mereka, stevia dijadikan sebagai bahan campuran karena tingkat kemanisannya yang tinggi,” tuturnya.
Dari bisnis ini, Agus mengaku bisa meraup pendapatan bersih rata-rata sebesar Rp 9 juta setiap bulan. Selain untuk keperluan pabrik, ia juga memasok ke beberapa pembeli dari Malaysia dan Singapura.
Akhir-akhir ini popularitas stevia makin menanjak lantaran semakin banyak orang tahu bahwa tanaman ini bisa menjadi alternatif pengganti gula. Iklan produk gula rendah kalori bermerek Tropicana Slim ikut memperluas fakta ini.
Tapi, meski manfaatnya besar, budidaya tanaman ini tidaklah mudah. Untuk mendapatkan hasil optimal, stevia sebaiknya ditanam di dataran tinggi, sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Bisa saja stevia tumbuh di dataran rendah, tapi nutrisinya harus benar-benar terjaga. “Kadar kemanisan tanaman ini biasanya berkurang apabila ditanam di dataran rendah,” kata Agus.
Bak memelihara rumput
Cara paling cepat pembibitan stevia adalah dengan metode setek tancap. Untuk mendapatkan hasil yang lebih terjamin, beberapa penjual bibit memilih menjual dalam bentuk bonggol. Alasannya, bibit muda rawan mati saat di perjalanan.
Bibit bonggol dapat ditanam di tempat yang tidak langsung terkena matahari. Tujuannya, untuk memberikan kesempatan kepada tanaman tersebut beristirahat. “Supaya tidak stres setelah menjalani proses pengiriman,” kata Widhi.
Setelah bertunas dan tumbuh sekitar 15 sentimeter (cm), bonggol stevia baru bisa dipecah-pecah dan ditanam langsung di lahan. Tunas yang keluar menandakan bahwa bonggol masih hidup. Satu bonggol bisa menghasilkan 20 bibit baru.
Widhi menjual bibit seharga Rp 250.000 untuk satu paket yang berisi 10 bonggol stevia. Paket ini diperuntukan bagi pemain-pemain kecil yang tidak membutuhkan banyak bibit.
Tapi, bagi usaha agribisnis yang memerlukan bibit dalam jumlah besar, dia pasang perhitungan berbeda. Untuk menanam di areal seluas satu hektare dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm, dibutuhkan sekitar 160.000 titik tanam. Satu titik tanam terdiri atas tiga batang bibit setek hidup. Widhi mematok harga Rp 1.000 untuk setiap titik tanam. Artinya, menanam stevia di lahan seluas satu hektare butuh dana Rp 160 juta.
Proses perawatan stevia tidak sulit. Tumbuhan ini termasuk jenis perdu. Yang penting, jangan terlalu padat menanam lantaran setiap batang yang dipotong akan tumbuh tiga tunas baru dan makin lama tanaman semakin membesar.
Tanah yang ditumbuhi stevia harus gembur dengan pengairan secukupnya, tidak boleh sampai menggenang. Tanaman ini juga tidak cocok diberi pupuk kimia, harus menggunakan pupuk organik.
Di tingkat petani, harga satu kilogram (kg) daun dan batang stevia sekitar Rp 7.000. Tapi, jika membeli dalam partai kecil untuk konsumsi pribadi, harganya sekitar Rp 15.000 sampai Rp 25.000 per kg, ada juga yang menjual Rp 10.000 per dua ons.
Permintaan ekspor stevia lebih banyak pada bagian daun yang sudah dikeringkan. Nah, untuk mendapatkan hasil pengeringan terbaik, stevia sebaiknya tidak dijemur langsung di bawah sinar matahari. Idealnya, pengeringan dilakukan di ruang yang bisa mengalirkan udara panas dan kering. Dengan begitu, stevia bisa kering dalam sehari. Daun stevia yang kering itu lantas dirajang seperti tembakau.
Agus memperkirakan, suatu hari nanti, stevia bisa menggantikan gula tebu. “Proses tanamnya tak rumit, penggunaannya lebih ekonomis,” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar